TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pengaturan Aborsi Dalam Peraturan Pemerintah Kesehatan Belum Jelas

Oleh: Farhan
Minggu, 04 Agustus 2024 | 12:09 WIB
Ikustrasi. Foto : Ist
Ikustrasi. Foto : Ist

JAKARTA - Ketentuan tentang aborsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan perlu diperjelas. Pasalnya, sejumlah kalangan memiliki perbedaan pandangan tentang batas waktu atau usia janin, yang boleh diaborsi.

Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Ari Kusuma Januarto mengatakan, PP Kesehatan telah mengatur sejumlah ketentuan yang mem­bolehkan aborsi. Di antaranya, urai dia, adanya kedaruratan me­dis, dan menjadi korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.

Namun, dia mendorong, perlunya diskusi antara para ahli dan pemerintah, untuk menentukan batas usia janin yang dapat diaborsi. Sebab, dalam PP Kesehatan, aborsi dapat dilakukan pada janin yang usianya di bawah 14 minggu.

“Jujur, pada usia janin 14 minggu, sebagai profesi kami agak bertanya-tanya. Sebab, pada usia tersebut janin sudah cukup besar, dan mempunyai risiko perdarahan pada si ibu,” ujar Ari dalam jumpa pers secara daring, Jumat (2/8/2024).

Lebih lanjut, dia menjelas­kan, janin pada usia 14 minggu sudah bernyawa. Menurut dia, aborsi pada usia kehamilan tersebut membuat risiko bagi ibu semakin besar, terlebih jika kehamilannya disebabkan oleh pemerkosaan.

“Resiko yang dimaksud, trau­ma psikologis, infeksi, hingga perdarahan. Jadi, penting untuk melibatkan organisasi profesi, untuk menyelamatkan nyawa para perempuan di Indonesia. Perlu ada keselarasan dalam menentukan batas usia janin yang diaborsi,” tuturnya.

Ari menambahkan, Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, mene­tapkan batas usia aborsi adalah enam minggu. Kemudian, sam­bung dia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005 menyatakan, batas usia aborsi adalah 40 hari.

“Kami dari organisasi profesi, siap diundang untuk menyelaraskan undang-undang dengan KUHP. Ini demi kepentingan masyarakat,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhammad Cholil Nafis men­gaku sepakat dengan aturan mengenai aborsi yang diatur dalam PP Kesehatan. “Kami (MUI) sepakat dengan PP 28, aborsi itu pada dasarnya dila­rang. Bukan dianjurkan dan bukan dibolehkan,” cetusnya.

Meski tidak dianjurkan dan dibolehkan, dia pun mengamini adanya beberapa kasus yang dapat dijadikan sebagai pengecualian. Misalnya, ujar Cholil, jika dokter menyatakan kandungan dapat berdampak pada kematian sang ibu, atau anak dalam kandungan tidak dalam keadaan hidup.

Dia pun menyoroti aturan aborsi bagi perempuan korban perkosaan. Menurut dia, harus ada ketentuan jika janin telah berusia lebih dari 40 hari, tidak boleh digugurkan.

Hamilnya juga harus dipastikan karena korban pemerkosaan, dengan keterangan ditunjukkan oleh ahli dan kesaksian,” imbuhnya.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Johanna Poerba menegaskan, jaminan aborsi aman tidak hanya perlu dilakukan dalam tataran penerbitan aturan, seperti PP Kesehatan. Pihaknya menyoroti Pasal 60 UU Kesehatan dan Pasal 1154 PP 28 Tahun 2024 yang menyatakan, pengaturan terkait layanan aborsi dan batas usia aborsi yang boleh dilakukan bagi semua kekerasan seksual, berlaku bersamaan dengan KUHP Baru, yakni pada Januari 2026.

“ICJR menyayangkan hal tersebut, karena adanya kebu­tuhan mendesak aborsi aman. Sebab, pada Januari-Maret 2024 saja terdapat 12 korban perkosaan yang mengalami kehamilan dan mayoritas adalah korban anak. Harusnya, aturan PP Kesehatan ini bisa cepat diberlakukan, untuk memberi jaminan kesehatan fisik dan mental bagi korban kekerasan seksual,” harapnya.

Dia menambahkan, Pasal 118 PP Kesehatan mensyaratkan, aborsi aman bagi korban ke­kerasan harus dibuktikan dengan adanya keterangan penyidik ten­tang dugaan kekerasan seksual. Ketentuan itu menempatkan penyidik sebagai satu-satunya pihak yang dapat memberikan keterangan dugaan kekerasan seksual.

“Padahal, Pasal 39 Undang-Undang TPKS, pelaporan ke­kerasan seksual dapat dilaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksa­na teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia dan Layanan Berbasis Masyarakat,” jelas Johanna.

Menurutnya, aborsi akan se­makin aman jika dilakukan pada usia kehamilan lebih awal. Sebab itu, pihaknya mendorong surat keterangan dugaan pemerkosaan atau kekerasan seksual dapat di­peroleh dengan cepat, dan tidak hanya dapat diterbitkan oleh pihak kepolisian.

“Batasan 14 minggu meru­juk pada panduan WHO, yang mendukung upaya aborsi aman. Harusnya penyusunan PP Kesehatan merujuk pada upaya mengembangkan metode aborsi aman dan tidak dibebani dengan kewajiban menyediakan per­lengkapan tertentu,” tandasnya.

Di media sosial X, netizen me­minta aturan soal aborsi dalam PP Kesehatan disosialisasikan lebih lanjut. Dengan begitu, tidak terjadi misinformasi dan salah persepsi soal aborsi.

Akun @quesehra33 menegas­kan, aturan hukum soal aborsi, harusnya tidak membuat aborsi lebih mudah dilakukan. “Jangan sampai, aborsi menjadi alasan untuk menormalisasi premarital sex. Aborsi tak boleh dilakukan atas dalih my body my choice, bukan kondisi janin yang mengancam ibu,” cuitnya.

Akun @Radenmay25 menilai, masyarakat mulai mendukung agar para korban perkosaan melakukan aborsi. Seolah-olah, para korban perkosaan sebai­knya aborsi saja.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo