Muncul Saran Agar Ada Aturan, Cegah Kotak Kosong
JAKARTA - Fenomena melawan kotak kosong dengan cara "memborong" dukungan atau rekomendasi partai politik dalam Pilkada, ramai dibahas.
Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), tren kotak kosong terus naik. Pada Pilkada 2015, ada tiga calon kepala daerah yang melawan kotak kosong. Saat Pilkada 2017, ada sembilan. Dalam Pilkada 2018, ada 16. Ketika Pilkada 2020, ada 25.
“Nah, pada 2024 trennya ada yang bilang, bisa dua kali lipatnya, mungkin 50-an daerah," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati dalam diskusi tentang Pilkada 2024 di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Menurut Khoirunnisa, awalnya kotak kosong ini dihadirkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan ruang bagi publik, sebagai bentuk protes hadirnya calon tunggal dalam kontestasi kepala daerah. "Ternyata, ini semacam dimanfaatkan gitu ya,” sesalnya.
Ia pun menolak keras fenomena kotak kosong tersebut. Kegelisahan yang sama juga dirasakan Ketua DPP PDIP Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok.
Menurut Ahok, fenomena kotak kosong merusak tatanan dan sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Untuk itu, ia menyarankan DPR dan Pemerintah agar mengubah aturan mengenai hal tersebut.
Hal tersebut disampaikan Ahok di kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, seusai acara pemberian surat rekomendasi kepada para bakal calon kepala daerah, Rabu (14/8/2024).
Anggota Komisi II DPR Aminurrokhman berpendapat, usul tentang perubahan undang-undang, khususnya untuk mengantisipasi terjadinya kotak kosong, perlu dikaji. Hal tersebut disampaikan Aminurrokhman, saat dihubungi, pada Kamis (15/8/2024).
Berikut ini pandangan Ahok, tentang fenomena kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Bagaimana pandangan Anda tentang kotak kosong dalam Pilkada?
Secara demokrasi, sebetulnya kita juga perlu berpikir ke depan. Pemerintah dan DPR harus memikirkan, bukan cuma memberikan batas minimum pencalonan.
Maksud Anda, harus ada batas maksimum dukungan partai terhadap calon ya?
Iya, mungkin ada batas maksimum, supaya rakyat punya pilihan yang banyak. Karena itu, perlu batas maksimum dukungan partai kepada calon dalam Pilkada.
Konkretnya, Undang-Undang harus membatasi dukungan itu ya?
Tentu harus ada batasan.
Batasan itu untuk menghindari calon memborong dukungan, ya?
Iya, sehingga tidak ada lagi cerita borong-memborong, atau ada partai yang takut. Kami juga ada kabupaten yang mengalami, bupati kerja dengan baik, tapi semua partai tidak mau tanding.
Kalau tidak mau tanding, kurang bagus untuk demokrasi ya?
Memang kurang bagus. Saya kira, ini bagian dari tugas kita bersama untuk memikirkan itu, supaya demokrasi kita semakin lama semakin baik. Intinya, rakyat punya pilihan yang banyak, gitu kan.
Apakah aturan ini berlaku di Pilkada atau di Pilpres juga?
Mungkin seperti pemilihan Presiden. Kalau partai tidak mencalonkan, akan ada sanksi, tidak bisa ikut Pemilu pada periode berikutnya.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 8 jam yang lalu