TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pendapatan Negara 2025 Ditargetkan 3.000 T

Laporan: AY
Kamis, 05 September 2024 | 09:06 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Pemerintah dan DPR sepakat menargetkan pendapatan negara pada 2025 sebesar Rp 3.005,13 triliun. Naik 0,27 persen dari yang diusulkan Pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 Rp 2.996,87 triliun. Mari kita aminkan bareng-bareng target tersebut bisa tercapai.

"Ini rekor baru, yaitu penerimaan menembus Rp 3.000 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR membahas penetapan postur Rancangan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2025 di Gedung DPR, Senayan, Rabu (4/9/2024).

Dalam rapat tersebut hadir juga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo.

Menurut Sri Mul, terdapat kenaikan 1,63 persen untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Rp 505,38 triliun menjadi Rp 513,64 triliun. Kenaikan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND) senilai Rp 4 triliun karena adanya proyeksi peningkatan kinerja BUMN, serta kenaikan PNBP kementerian/lembaga (K/L) pada Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Hukum dan HAM.

Sementara itu, kata Sri Mul, target penerimaan perpajakan tidak berubah, yaitu senilai Rp 2.490,9 triliun. Adapun target penerimaan perpajakan tersebut terdiri atas penerimaan pajak Rp 2.189,3 triliun, serta kepabeanan dan cukai Rp 301,6 triliun.

Sejalan dengan perubahan target pendapatan negara, Pemerintah dan DPR juga menyepakati kenaikan pagu belanja negara sebesar 0,22 persen dari Rp 3.613,06 triliun menjadi Rp 3.821,31 triliun. Kenaikan tersebut hanya berpengaruh pada belanja pemerintah pusat yang menjadi Rp 2.701,44 triliun. “Transfer ke daerah tidak berubah, yakni Rp 919,87 triliun,” ujarnya.

Sedangkan, untuk belanja K/L dalam pos belanja pemerintah pusat, belum mengalami perubahan, karena bakal menunggu beberapa pembahasan dari K/L dan arahan dari presiden terpilih.

Sri Mul menambahkan, perubahan pagu belanja negara tersebut akan mengikuti kenaikan target pendapatan negara. Karena itu, defisit dalam RAPBN 2025 tidak mengalami perubahan. "Postur RAPBN 2025 tetap terjaga di defisit Rp 616,19 triliun atau 2,53 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto),” urainya.

Sementara, Ketua Banggar DPR Said Abdullah menjelaskan, perubahan postur belanja negara tersebut berasal dari belanja pemerintah pusat yang naik dari Rp 2.693,10 triliun menjadi Rp 2.701,44 triliun. Terdiri dari perubahan belanja non K/L dari Rp 1.716,40 triliun menjadi Rp 1.724,65 triliun.

Kemudian, belanja non K/L terjadi perubahan pada belanja subsidi energi yang berkurang dari Rp 204,53 triliun menjadi Rp 203,41 triliun. Besaran nilai subsidi energi yang berubah disebabkan oleh asumsi kurs rupiah yang juga berubah dari Rp 16.100 menjadi Rp 16 ribu per dolar AS.

Sementara itu, kata Said, belanja kompensasi BBM dan listrik naik dari Rp 189,80 triliun menjadi Rp 190,92 triliun. "Jadi kompensasi BBM dan listrik mengalami kenaikan, tetapi untuk subsidi BBM dan listrik ada penurunan. Penurunan itu tetap dipakai untuk kompensasi," terang Said.

Selain itu, perubahan juga terjadi pada pos cadangan belanja negara, yang semula Rp 96,88 triliun menjadi Rp 103,49 triliun. Lalu cadangan anggaran pendidikan dari Rp 107,86 triliun menjadi Rp 109,51 triliun. Sementara cadangan Transfer ke Daerah (TKD) tetap, alias tak mengalami perubahan.

Said lalu menanyakan kepada anggotanya apakah usulan tersebut dapat diterima. "Dapat disetujui?” tanya Said. “Setuju,” jawab Anggota Banggar kompak.

Realistiskah target tersebut? Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, target pendapatan tersebut kurang realistis. Kenapa? Pertama, tantangan tahun depan berasal dari rendahnya harga komoditas, sehingga mempengaruhi penerimaan PPh migas dan PNBP dari Sumber Daya Alam (SDA).

Kedua, risiko geopolitik yang tinggi menyebabkan gangguan pada kinerja ekspor ke negara tradisional. "Ujungnya, penerimaan negara dari bea keluar, misalnya jadi lebih rendah," ulas Bhima, tadi malam.

Ketiga, kelas menengah sedang tertekan berbagai pajak dan pungutan, ditambah rencana kenaikan PPN 12 persen justru bisa menurunkan konsumsi rumah tangga. Alhasil, menganggu penerimaan pajak total. 

Keempat, sektor industri manufaktur yang melambat. Ini bisa dilihat dari PMI manufaktur di bawah level ekspansif.

Ia mengatakan, jika target penerimaan negara mau ambisius, maka Pemerintah harus lakukan tiga hal. Pertama, dorong inovasi perpajakan seperti pemberlakuan pajak karbon, pajak kekayaan (wealth tax), pajak produksi batubara, dan pajak ekologis.

Kedua, perbaiki insentif pajak, karena terlalu banyak berikan insentif pajak ke perusahaan smelter membuat rasio pajak rendah. Ketiga, Pemerintah perlu cari motor pertumbuhan ekonomi yang potensial.

"Seperti industri penunjang transisi energi, ekonomi restoratif dan ekonomi biru. Makin luas diversifikasi ekonominya makin besar potensi pajak barunya," terang Bhima.

Di dunia maya, netizen mengaminkan agar penerimaan negara berlimpah. "Mantap Bu Sri Mulyani. Semangat terus buat bangsa," doa @tamrin. "Sehat-sehat Bu Menteri! Kawan kepentingan rakyat terus ya bu," pinta @mcblushgift. "Terima kasih Ibu @smindrawati yang luar biasa. Sehat selalu," pungkas @ernaiskandar.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo