TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Tadarus Budaya: Sejarah Sosial Ulama Intelektual Nusa Tenggara dan Penciutan Intelektual Ulama

Oleh: Najamudin M. Lobang
Minggu, 08 September 2024 | 08:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Dalam proses persebaran Islam dan ilmu pengetahuan di Nusa Tenggara baik itu Nusa Tenggara Barat maupun Nusa Tenggara Timur, tidak terlepas dari berbagai dinamika kelam dalam perkembangan sejarah sosialnya. Terutama keterlibatan berbagai pihak bersama perannya mulai dari para ulama, pengusaha, penguasa hingga berbagai kalangan serta tokoh-tokoh tertentu yang hampir saja tenggelam dalam arus budaya dan sejarah peradaban dunia.

Di Nusa Tenggara Barat misalnya, terdapat sosok Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi sebagai guru sekaligus mentor ulung dari ulama-ulama di Nusantara serta memiliki sanad keilmuan sampai pada beberapa ulama terkenal seperti Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Wasi al-Jawi, Syaikh Abdul Hamid bin Ali al-Qudsi, Syaikh Ahmad Khathib bin Abdul Ghaffar As-Sambasi, dan seorang Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani yang kelak murid-muridnya adalah Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, TGH. Zainuddin Abdul Majid (Maulana Syaikh) pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok.

Di Nusa Tenggara Timur dapat diketahui adanya Cendana dan Minyak Paus yang kemudian menjadi bagian dari akar penjelajahan dunia. Sebab dalam sejarah setiap agama baik itu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Zoroaster dan lainnya membutuhkan Cendana sebagai media dalam beribadah. Bahkan khusus umat Islam sendiri pada wilayah bagian Arab hingga sekarang masih menggunakan media harum seperti Dupa, Cendana, dan bahan pengharum lainnya dengan keyakinan bahwa hal itu akan mendatangkan malaikat. Begitu juga dengan Minyak Paus yang digunakan untuk pelumas alat-alat industri sebelum minyak bumi banyak digunakan oleh manusia. Sedangkan dalam perburuan Cendana dan Minyak Paus tersebut, para ulama hadir memunculkan diri melalui hubungan antar pengusaha dan pedagang sekaligus menyiarkan tradisi intelektual Islam melalui jalur-jalur perniagaan. Hal tersebut ditandai dengan adanya aliansi lima kerajaan pantai yakni Solor Watang Lema yang persebarannya hampir di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur.

Dalam dugaan sementara, Nusantara khususnya di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang menjadi titik sentrum pertemuan dua golongan ulama sekaligus paling utama dalam penyebaran Islam semenjak runtuhnya Dinasti Abbasiyah bersama dengan berdirinya Turki Utsmani pada abad ke 12, karena terdapat berbagai titik persinggahan perjalanan di Kepulauan Nusa Tenggara yang itu kemudian dalam kaca mata politik dijadikan oleh para ulama cendikia sebagai wilayah untuk membangun, menyusun, dan menata basis golongannya masing-masing.

Golongan-golongan tersebut diantaranya adalah   pertama, diistilahkan saja dengan nama Islam Ortodoks yang kecenderungannya mengikuti kekuasaan dari kesultanan. Kemudian yang kedua yaitu Islam Sufisme atau penganut jalan sunyi sebagai Heterodoks untuk mengimbangi kekuasaan dari kesultanan itu sendiri. Hal tersebut hingga sekarang dapat dilihat dari perbedaan metode dalam penyiaran Islam, baik itu melalui gerakan kultural atau justru dengan basis struktural. Ortodoks cenderung pada pola struktur yang menjadikan ilmu syariat sebagai satu-satunya perangkat untuk mengatur kekacauan hidup. Sementara Sufism lebih fokus untuk meleburkan diri secara kultur melalui ilmu sufistik atau tasawuf yang mengarah pada cara setiap manusia memaknai hidupnya.

Masa lalu telah menunjukkan sebuah kenyataan Islam Nusantara oleh peneliti Kenneth William Morgan, bahwa ulama-ulama terdahulu di Nusantara pun tidak jarang bila saling bertentangan satu sama lain akibat dari perbedaan cara pandang dalam menyiarkan Islam. Bahkan terlihat memiliki kepentingan berupa basis golongan dari masing-masing ulama. Semisal dalam kasus ulama Walisongo yang sebenarnya juga memiliki hubungan tidak begitu akur, walaupun dianggap sebagai satu jaringan ulama besar saat itu.

Walaupun demikian, pertentangan pikiran dan kepentingan antara satu golongan ulama dengan golongan ulama lainnya telah melahirkan banyak karya dan memiliki sanad keilmuan yang jelas dan pasti hingga sekarang. Sekalipun ada juga yang tidak menampakkan diri atau justru karya-karyanya dibumihanguskan oleh ortodoks atau kekuasaan tertentu, namun pengaruh pikiran dan tindak sosialnya masih begitu kuat, masif, bahkan berakar hampir pada seluruh kalangan masyarakat. Puncaknya adalah para ulama Nusantara dapat melahirkan corak Islam tersendiri yang terlihat beda di mata dunia.

Akan tetapi dalam tradisi perkembangan zaman, terjadi keciutan intelektual oleh para ulama yang itu dengan jelas menunjukkan adanya satu kemunduran panjang sebagai akibat dari kurangnya keterhubungan sejarah sosial dan peran intelektual antar ulama. Di satu sisi, ilmu pengetahuan yang selama ini dipelajari justru dijadikan sebagai media untuk mempertahankan kekuasaan pada kalangan Ortodoks. Sedangkan dari kalangan Sufism, cenderung melakukan sakralisasi terhadap ilmu pengetahuan yang berakibat pada mistifikasi. Sehingga pada era sekarang, para ulama Islam justru banyak mengalami keterhambatan dibandingkan pada masa-masa kejayaan lalu.

Sebagimana yang disampaikan oleh Robert N. Bellah, bahwa Islam klasik adalah Islam paling modern. Hal ini memiliki latar belakang cukup panjang mengenai para ulama terdahulu yang dalam tradisi intelektualnya selalu kreatif ketika memodernisasi setiap ilmu pengetahuan, terutama dalam bentuk karya-karya tulis dan pengaruh-pengaruh sosialnya. Sebagian besar lainnya melalui kekuasaan yang dimiliki, namun hal tersebut justru menumpulkan intelektual dimana ulama saat ini tidak tertahan oleh godaan pemerintah sementara para intelektual hanya dijadikan sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.

Solusi yang sekiranya bisa ditawarkan menurut Nurcholish Madjid adalah bahwa modernisasi itu bukanlah arabisasi atau westernisasi, melainkan modernisasi adalah rasionalisasi.

Para ulama modern seharusnya merasionalisasikan lagi pikiran-pikrian kreatif ulama terdahulu terhadap perkembangan umat di setiap masa agar nalar yang selama ini diwariskan oleh para ulama tidak hanya dijadikan sebagai pajangan semata, melainkan selalu digunakan untuk memecahkan problem-problem dalam kehidupan.

Sedangkan menurut Prof. Abdul Wahid, beliau sepakat bahwa sejarah itu segala hal yang terus berulang secara abadi. Maka tumbuh dan matinya para ulama itu tidak terlepas dari sejarah sosial. Sementara itu sejarah sosial kita menunjukkan bahwa terjadi mistifikasi yang panjang sehingga kita harus merubahnya. Tentunya kita mesti hadir di antara segala hal berupa pengulangan-pengulangan yang abadi itu (sejarah sosial) untuk menghidupkan lagi Tradisi Kreativitas Intelektual.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo