TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Muhammadiyah Dan Sinergisitas Dakwah Kultural

Oleh: Baiturrahman
Sabtu, 07 September 2024 | 08:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Muhammadiyah nampaknya punya keresahan mendalam tentang dakwah kultural. Hal ini terlihat jelas dari tema besar yang diambil dalam Pengkajian Ramadhan 1445 H “Dakwah Kultural: Perluasan Basis Komunitas dan Akar Rumput Muhammadiyah” yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 18-20 Maret 2024 lalu. Tema tersebut, mencerminkan keseriusan Muhammadiyah untuk memperluas jaringan dakwahnya, tak hanya di perkotaan, tapi juga hingga ke akar rumput.

Pengkajian Ramadhan kali ini, Muhammadiyah tak hanya menghadirkan pemateri dari dalam, tapi juga dari luar Muhammadiyah. Salah satunya, Oki Setiana Dewi, pendakwah seleb yang cermahanya banyak digemari kalangan Milenial, terutama para muslimah saat ini.

Dalam presentasinya, Oki memaparkan tentang perlunya Muhammadiyah terjun ke masyarakat, memperluas dan memperkuat jaringan dakwahnya ke jamaah digital. Menurutnya, dengan memperkuat jaringan ini akan banyak masyarakat yang merasakan manfaat dari nilai-nilai dan ajaran-ajaran  Muhammadiyah. Singkatnya, Oki memuji dakwah Muhammadiyah yang selama ini dilakukan, sekaligus mengkritisi absennya dakwah Muhammadiyah di ruang digital.

Dia juga mengutip Ismail Fajrie Alatas dalam buku terbarunya “What Is Religious Authority?” tentang kerja-kerja artikulasi, yaitu kerja menarasikan Islam dengan melibatkan diri dalam kehidupan para jamaah; mengedukasi, membersamai, mengayomi, ngemong, dalam waktu yang cukup lama. Sehingga, nilai-nilai Islam terpenetrasi ke dalam masyarakat lokal dan menciptakan partikularitas Islam yang berbeda dengan Islam yang di Timur Tengah.

Dalam hal ini, sebetulnya, Muhammadiyah telah melakukan kerja-kerja artikulasi itu dengan membangun basis jamaahnya lewat amal usaha Muhammadiyah, ortom, PWM, PDM, PCM, hingga Ranting yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Terhitung, di usianya yang ke-111 tahun, Muhammadiyah telah memiliki 35 PWM, 475 PDM, 3.947 PCM, 30 PCIM, dan 14.670 Ranting. Sedangkan lembaga pendidikannya; 172 PTMA (83 universitas, 53 sekolah tinggi, dan 36 bentuk lainnya), 5.345 sekolah atau madrasah, dan 440 pesantren. Adapun dalam bidang kesehatannya, Muhammadiyah memiliki 112 rumah sakit dan 231 klinik, dan amal usaha lainnya.

Tentu saja, kita patut bangga dengan kemampuan Muhammadiyah dalam mengorganisir ribuan amal usaha tersebut. Robert W. Hafner, Antropolog asal Boston University AS, bahkan memuji Muhammadiyah sebagai “role model keberhasilan organisasi keagamaan di dunia”.

Namun, apakah banyaknya amal usaha Muhammadiyah itu terkoneksi dengan paham dan nilai-nilai ajaran Muhammadiyah? Kenyataannya tidak. Banyak pengamat yang justru melihat adanya tren salafisme di Muhammadiyah (Biyanto, Zuly Qodir, Anwar Abbas, Nur Cholish Huda). Padahal, Muhammadiyah adalah gerakan Salafisme-Moderat yang puritan, tetapi memiliki karakter moderat/wasathiyah (Azra: 2022, muhammadiyah.or.id).

Reformulasi Tajdid

Salah satu semangat yang selalu digaungkan Persyerikatan Muhammadiyah sebagai gerakan Reformis Islam adalah semangat “tajdid” atau pembaharuan. Dalam rumusan ini, Muhammadiyah memaknai Tajdid dalam dua pengertian; purifikasi dan dinamisasi. Yang pertama dalam persoalan pemurnian akidah, sedangkan yang kedua dalam persoalan muamalah atau sosial. Muhammadiyah menyadari, setiap gerak zaman yang selalu berubah, membutuhkan strategi kebudayaan yang berbeda-beda.

Namun, tidak dipungkiri, dalam proses sejarahnya, organisasi yang berdiri tahun 1912 M ini juga kerap mendapat respon negatif dari berbagai kalangan. Salah satunya, dalam persoalan keagamaan yang dinilai kurang adaptif dan responsif dengan perkembangan zaman. Gerakan dakwah keagamaan yang dilakukan Muhammadiyah cenderung fomalistik dan kaku. Hal ini, boleh jadi disebabkan produk Tarjih Muhammadiyah yang tidak terserap ke akar rumput, sehingga menyebabkan para da’I di persyerikatan kurang mampu memahami medan dakwah yang menjadi sasarannya.

Dalam perkara musik dan seni budaya misalnya, sebagian warga Muhammadiyah masih memandang hal itu sebagai kegiatan yang negatif. Tarjih Muhammadiyah sangat jelas akan kebolehan musik, tapi dilihat dari tiga prespektif; dia akan menjadi sunnah ketika menarik pada keutamaan, menjadi makruh ketika tidak mendatangkan manfaat apa-apa, dan menjadi haram hukumnya ketika mendatangkan maksiat (Suara Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama: 2013).

Maka, di sini lah letak masalahnya. Sebagian warga persyerikatan nampaknya cenderung menjustifikasi prespektif yang kedua dan ketiga.  Padahal, jika kita mau merujuk pada bukti historis bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengajarkan agama dengan alat musik (biola) misalnya, itu membuktikan bahwa organisasi yang dibangunnya, tidak pernah melarang orang berdakwah dengan seni dan budaya, termasuk musik. Karena hal itu bagian dari instrument kreatif bagaimana nilai-nilai ajaran Islam bisa terserap dengan baik di masyarakat.

Oleh karena itu, penting bagi Muhammadiyah untuk melakukan reformulasi tajdid, tidak hanya dalam wilayah teoritis, tapi juga wilayah praksis, sehingga nilai-nilai ajaran Muhammadiyah juga mampu menjangkar dan diserap oleh berbagai kalangan, baik yang tua maupun yang muda.

Sinergisitas MediaMu

Otokritik Oki agar Muhammadiyah mampu bertransformasi memperluas jaringannya ke jamaah digital memang perlu menjadi perhatian penting. Di era 4.0 bahkan menuju 5.0 ini, tingkat kecenderungan masyarakat, terutama Milenial dan Gen-Z untuk belajar agama lewat internet atau media sosial semakin tinggi. Riset PPIM tahun 2018 misalnya, menunjukkan 58 persen masyarakat Indonesia belajar agama dengan mengakses internet. Data ini kemungkinan bertambah, mengingat semakin masifnya pengguna internet di Indonesia.

Karena itu, salah satu tantangan besar Muhammadiyah saat ini, tentu saja bagaimana menjamah dan memperluas jaringan dakwahnya ke ruang digital. Dalam konteks ini, setidaknya, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan; pertama, Muhammadiyah perlu secara serius mengelola platform medianya seperti Youtube, Instagram, TikTok, agar dapat menjamah semua kalangan; kedua, para pendakwah Muhammadiyah, selain dibekali pengetahuan multidisipliner dan interdisipliner, perlu juga dibekali kemampuan mengelola medsos secara aplikatif, sehingga pesan-pesan Islam yang rahmah bisa tersampaikan dengan baik. Dan yang terakhir adalah sinergisitas Media Muhammadiyah (MediaMu). Kesamaan nilai dan ajaran menjadi modal dan kekuatan besar bagi persyerikatan untuk dapat menyebarkan percikan-percikan gagasan Islam Berkemajuan.

Karena itu, tentu tidak berlebihan jika saya mengutip maklumat Sekum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti dalam Pengkajian Ramadhan 1445 H itu bahwa organisasi yang tidak mampu bertransformasi diri, maka akan mengalami 3D; degradasi, artinya ketidakmampuan mempartahankan manhaj dan ideologi yang dipegangnya sehingga terdegradasi dari mainstream masyarakat; delusi, sering mayakini hal-hal aneh yang belum tentu terjadi (hasil survei misalnya); disrupsi, yaitu ketidakmampuan organisasi untuk melakukan inovasi-inovasi atau kebaharuan, baik dalam wilayah ide ataupun dalam bentuk kegiatan-kegiatannya.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Kokkang Ibunda
Jumat, 22 November 2024
Dahlan Iskan
Critical Parah
Rabu, 20 November 2024
Dahlan Iskan
Tafsir Iqra
Selasa, 19 November 2024
Dahlan Iskan
Medali Debat
Senin, 18 November 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo