TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Menyoal Validitas Kitab Kuning

Oleh: Supadilah Iskandar
Minggu, 22 September 2024 | 09:32 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Di dunia pesantren, seumumnya kita hanya mempelajari buku-buku agama, yang dalam pandangan umum disebut kitab kuning. Mungkin hanya pesantren-pesantren modern yang memasukkan ilmu-ilmu sosial-humaniora sebagai bagian dari kurikulum pondok. Padahal, ilmu-ilmu umum itu memiliki manfaat sebagai alat bantu untuk melengkapi pemahaman murid atas teks-teks harfiah keagamaan, termasuk teks-teks Alquran dan hadis-hadis Nabi.

Suatu hari Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasul, amal perbuatan apa yang akan dinilai paling baik di mata Allah?” Kemudian Rasulullah menjawab, “Beriman pada Allah dan konsisten di jalan-Nya.”

Sementara, ketika pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Abu Mas’ud, Rasulullah justru menjawab, “Sembahyang di awal waktu, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan berjuang di jalan Allah.”

Kedua hadis itu kuat dan sahih, karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi kenapa Rasul memberi jawaban kepada yang satu malah berbeda dengan yang lainnya?

Untuk membahas hal tersebut, kita mengenal dalam ilmu ushul fiqih suatu istilah, al-Ibrah bikhusus al-sabab la biumum al-lafzi. Artinya, sesuatu yang dimaksudkan untuk hal-hal bersifat spesifik, maka tidak berlaku bagi masyarakat umum. Hal ini pun akan berlaku sebaliknya, bahwa sesuatu yang berlaku untuk masyarakat umum, tidak mesti diterapkan bagi orang-orang tertentu.

Di sini cukup jelas, bahwa perbedaan jawaban yang diberikan Rasul, oleh karena Rasul menempatkan diri sesuai dengan karakteristik dan psikologi si penanya. Karena itu, perangkat-perangkat ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, juga sejarah dan ilmu-ilmu sosial-humaniora dan lain-lain, amat sangat membantu memahami teks-teks keagamaan, terutama kitab-kitab kuning yang mengacu pada teks-teks Alquran dan hadis Nabi

Dalam ushul fiqih pun kita mengenal istilah, al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman. Suatu hukum dapat berlaku berdasarkan ada atau tidaknya alasan hukum-hukum yang mendasarinya. Maka, akan nampak pentingnya ilmu sosial dan ilmu alam agar diajarkan di lingkungan pesantren, karena di situ akan terungkap dasar-dasar hukum rasional yang dapat menguatkan suatu dalil tertulis. Belum lagi, jika kita membahas metodologi hukum istislah dan istihsan, yang rasanya tak mungkin dapat dipahami dengan baik tanpa menggunakan perangkat ilmu-ilmu sosial dan ilmu alamiah dasar.

Kiai Sahal Mahfudz dalam hal ini pernah menyaranbkan (1980-an), yang kemudian menjadi pembahasan Munas Ulama di Lampung, tentang pentingnya bermazhab secara qauli dan manhaji. Beliau menekankan pentingnya ilmu-ilmu sosial, bahwa “teks-teks kitab kuning secara tekstual sudah tidak memadai untuk menjawab tantangan perkembangan zaman.”

Dengan demikian, tak begitu penting mempersoalkan pemisahan atau klasifikasi di dunia keilmnuan, seperti ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Sedangkan Imam al-Ghazali hanya membagi ilmu berdasarkan hukum mempelajarinya saja. Ada ilmu yang wajib diketahui secara individu (fardu ‘ain) dan ilmu yang cukup diketahui oleh sebagian umat Islam saja (fardu kifayah).

Di dunia akademik kita, ilmu dibagi menjadi dua kategori, yakni sosial-humaniora dan rumpun sains dan teknologi. Ilmu sosial di perguruan tinggi kita, dimaksudkan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk sosial dan aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungannya, serta mempelajari budaya dan manusia (humanisme). Sementara, ilmu-ilmu agama masuk ke dalam rumpun ilmu sosial-humaniora.

Sedangkan di dunia pesantren secara umum, ilmu yang dipelajari adalah ilmu keagamaan yang mengacu pada kitab-kitab kuning. Ilmu-ilmu sosial-humaniora masih sangat jarang, kecuali pesantren-pesantren modern yang menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab dan Inggris, seperti pesantren Al-Bayan yang pengasuhnya adalah alumni pesantren Daar el-Qolam, sementara pengasuh Daar el-Qolam dan pesantren-pesantren sejenisnya, seumumnya menamakan diri sebagai pesantren modern yang kiainya adalah alumnus-alumnus Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Arus Kuat
Jumat, 20 September 2024
Foto : Ist
Jangan Potong Anggaran Bansos
Sabtu, 14 September 2024
Prof. Dr. Muhadam Labolo
Arah Pembangunan Pemerintahan
Jumat, 13 September 2024
Dahlan Iskan
Machmud Algae
Kamis, 12 September 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo