TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Peneliti HIMNI dan BRIN Dorong Pemerintahan Baru Era Prabowo Terapkan Teknologi Nuklir

Laporan: Rachman Deniansyah
Rabu, 13 November 2024 | 19:35 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

SERPONG - Peneliti dari Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong pemerintahan baru era Prabowo Subianto untuk menerapkan teknologi nuklir guna mengembangkan sejumlah sektor, mulai dari energi, kesehatan, hingga pangan. 

Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum HIMNI, Susilo Widodo di sela-sela kegiatan International Conference on Nuclear Science, Technology, and Application (ICONSTA) yang berlangsung di kawasan Serpong, Tangsel, Rabu (13/11). 

Susilo menerangkan, ICONSTA merupakan salah satu upaya guna mempertahankan dan mengembangkan kapasitas serta kapabilitas sumber daya manusia (SDM) di bidang Nuklir.

"Diharapkan menjadi wahana bagi para pemangku kepentingan baik dari dalam maupun luar negeri dan pada akhirnya meningkatkan kemampuan SDM nuklir dalam menciptakan inovasi-inovasi unggul yang bermanfaat bagi bangsa dan masyarakat pada umumnya," ujar Susilo. 

Melalui kegiatan ini, kata Susilo, HIMNI bersama BRIN ingin sekaligus menyuarakan kepada masyarakat bahwa teknologi tenaga nuklir ini dapat dimanfaatkan di berbagai bidang.  

"Baik itu bidang energi, rekayasa, industri, kesehatan, pertanian, hingga lingkungan untuk memberi manfaat bagi masyarakat," kata Susilo. 

Hal itu pun sejalan, dengan misi Asta Cita milik Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.

Atas hal itu, HIMNI bersama BRIN mendorong pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo untuk menerapkan teknologi berbasis nuklir di berbagai bidang. 

"HIMNI akan merekomendasikan tiga sektor penting dan strategis kepada pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto, yakni sektor energi, pangan, dan kesehatan," ungkapnya. 

Pertama pada sektor energi, mereka merekomendasikan pemerintah untuk dapat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) secepatnya guna memenuhi kebutuhan energi dan listrik. 

"Seperti diketahui, berdasarkan target bauran energi yang ditetapkan Pemerintah dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2017, untuk memenuhi kebutuhan listrik sebesar 23% pada tahun 2025 seharusnya dipenuhi dari energi baru dan terbarukan. Namun telah terbukti bahwa hal ini hampir mustahil tercapai tanpa kontribusi PLTN sebagai energi baru. Dapat disimpulkan bahwa energi nuklir sudah harus menjadi solusi, dan bukan hanya sekadar opsi," tegasnya. 

Kemudian kedua pada sektor pangan, HIMNi merekomendasikan Pemerintah untuk menggunakan benih padi. Terutama benih unggul, yang dikembangkan BRIN untuk meningkatkan hasil panen padi dengan lahan sawah yang tersedia saat ini di Indonesia. 

"Langkah ini perlu dilakukan sebelum dilakukan perluasan lahan sawah baru di Papua yang berpotensi menimbulkan deforestasi, dan tentu saja membutuhkan biaya yang relatif mahal. Dengan menggunakan benih padi yang dikembangkan BRIN dan dengan sistem pertanian yang intensif, diharapkan dapat menghasilkan padi 8 -12 ton per hektare," paparnya. 

Terakhir, yakni pada bidang kesehatan. HIMNI mendukung upaya Pemerintah untuk mempercepat pemanfaatan peralatan radioterapi berbasis nuklir seperti LINAC, terapi Proton, dan BNCT untuk pengobatan kanker. 

"Serta pembukaan pusat-pusat kedokteran nuklir baru dengan prioritas utama di luar Pulau Jawa. Sebagai ilustrasi, untuk layanan pengobatan kanker, kita membutuhkan satu unit LINAC per satu juta penduduk. Jadi kita membutuhkan setidaknya 280 unit LINAC untuk seluruh negeri. Saat ini LINAC yang terpasang di Pusat-pusat Radioterapi baru sekitar 80-an unit," jelasnya.

Sementara lebih lanjut, Kepala BRIN, Syaiful Bakhri mengungkapkan, teknologi berbasis nuklir kini sudah banyak diterapkan di seluruh negara-negara maju.

Namun sebaliknya, di Tanah Air hal itu masih banyak ditakuti. Padahal sampai saat ini, BRIN sendiri telah menemukan sejumlah produk unggulan yang diciptakan melalui teknologi berbasis nuklir. 

"Nuklir itu bisa dimanfaatkan untuk aplikasi yang lain, termasuk juga untuk kesehatan. Kita berharap ada kontribusi nuklir di situ, seperti untuk mengatasi kanker. Untuk industri juga seperti itu, nuklir bisa sterilisasi," jelas Syaiful.  

Namun mirisnya, kata Syaiful, meski dalam dunia kesehatan kini nuklir sudah mulai dilirik. Namun seluruhnya impor. 

"Dalam kesehatan, itu sudah memang. Tapi malah kita impor. Ironis kan? 100 persen impor," ungkapnya. 

Padahal di sisi lain, Syaiful menyatakan bahwa Indonesia sudah punya kemampuan untuk memproduksi sendiri. 

"Mahal impor itu. Kita bisa, kita sudah punya kemampuan. Karena fasilitas BATAN itu dulu sudah pernah memproduksi itu. Sudah ada industri juga, Kimia Farma sudah terlibat saat itu," tegasnya. 

Sehingga saat ini, urgensinya adalah membuat industri nuklir di Tanah Air bisa tumbuh.

"Industri nuklir Indonesia sangat dibutuhkan. Ke depan, mari kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri," imbuhnya. 

Namun Ia mengakui, selama ini masih banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Paling utama, tantangannya persepsi masyarakat terkait pemahaman tentang teknologi berbasis nuklir itu sendiri.

"Tantangan yang pertama tentunya masih banyak persepsi negatif. Kemudian yang kedua, kita butuh national positions, ketegasan dari pemerintah. Kemudian ketiga tantangannya adalah sumber daya manusianya. Kemudian terakhir, industri kita belum tumbuh. Kemudian selanjutnya baru ada policy, kebijakan-kebijakan," paparnya. 

Senada dengannya, Dewan Pendiri HIMNI, Markus Wauran menegaskan, tantangan yang paling sulit dihadapi datang dari Bangsa sendiri. Terutama terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

"Tantangan utama pembangunan PLTN di Indonesia itu dari dalam negeri bukan luar. Sebab begini, ada suatu propaganda negatif yang berlangsung bertahun-tahun. Kalau ada kehadiran PLTN itu menjadi pesaing dari pada pengusaha batu bara, minyak gas. Itu ada kampanye seperti itu. Oleh karena itu terhambat terus," ungkap Markus. 

Padahal menurutnya jika menengok ke negara-negara maju seperti halnya Amerika, kedua hal itu bisa berjalan beriringan. 

"Justru bisa saling berhubungan simbiosis mutualisme. Jadi sebetulnya tinggal pemerintahnya saja mau atau tidak mendirikan PLTN. Karena itu bukan sudah cita-cita lagi ya, tapi sudah harus menjadi kenyataan," tandasnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo