Buruh Happy, Pengusaha Cemas
UMP Jakarta Rp 5.3 Juta
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta mengumumkan Upah Minimum Provinsi (UPM) tahun 2025 naik 6,5 persen menjadi Rp 5,3 juta per bulan. Kabar gembira ini membuat kaum buruh happy, sementara pengusaha cemas.
Pengumuman kenaikan UMP disampaikan Pj Gubernur Jakarta, Teguh Setyabudi. Dia mengatakan, penetapan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025.
“Nilai kenaikan sebesar 6,5 persen. Sehingga UMP DKI Jakarta tahun 2025 sebesar Rp 5.396.761," jelasnya, di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Nilai tersebut dihitung berdasarkan UMP Jakarta tahun 2024 sebesar Rp 5.067.381 per bulan. Dengan demikian, ada kenaikan sebesar Rp 329.380. Besaran kenaikan upah juga berlaku bagi pekerja atau buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun.
“Sudah saya tanda tangan keputusan gubernurnya. Besaran nilai UMP ini berlaku bagi pekerja atau buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun,” tegasnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi, Hari Nugroho mengatakan, pihaknya akan mengawasi pengusaha yang tidak mampu memenuhi kenaikan UMP Jakarta yang mulai berlaku Januari 2025.
Hari menegaskan, timnya bakal diterjunkan ke lapangan untuk memantau langsung pelaksanaan aturan tersebut. Dia menegaskan, pihaknya bakal memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak bisa membayar kenaikan upah.
“Sekarang sudah tidak ada penangguhan, sudah clear harus dijalankan. Kalau memang tidak dijalankan berarti menyalahi ketentuan tim pengawas kami yang akan bertindak,” ucap Hari di Balaikota, Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Meski begitu, Hari menekankan kalau upah minimum sektoral provinsi (UMSP) belum bisa ditentukan besarannya. Sebab, masih terjadi kealotan antara pengusaha dan serikat pekerja.
Disebutkan Hari, pihak pengusaha hanya mengajukan lima sektor. Di antaranya otomotif dan kimia; informasi dan komunikasi; perdagangan besar dan eceran; jasa keuangan; serta konstruksi dan real estate.
Sementara serikat pekerja inginnya ada 13 sektor. Yakni informasi dan komunikasi; kimia, energi, dan pertambangan; logam, elektronik, dan mesin; otomotif; asuransi dan perbankan; makan dan minum; farmasi dan kesehatan; tekstil, sandang, dan kulit; pariwisata; telekomunikasi; retail; listrikan; serta transportasi.
Dia menekankan, pandangan Serikat Pekerja maupun pengusaha kerap mengalami perbedaan mengenai nilai rujukan dan dasar kajiannya. “Untuk menyatukannya nggak segampang kalau kita punya rujukan karena memang kalau bicara UMSP itu terakhir tahun 2020,” tuturnya.
Meski begitu, Hari menyebut nominal UMSP pasti lebih tinggi dibandingkan UMP. “Contoh UMP tadi sepakat 5,3 sekian, berarti (UMSP) harus di atas itu,” pungkasnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat menyambut baik kenaikan UMP ini. Namun, dia merasa jumlahnya masih kurang jika dibanding nilai inflasi yang terus memengaruhi harga kebutuhan pokok.
"Setiap tahun rata-rata kenaikan upah hanya sekitar 3 persen, sementara harga pangan dan kebutuhan lainnya terus melonjak," katanya, Rabu (11/12/2024).
Sumirat menjelaskan, nilai awal yang diajukan buruh adalah 20 persen. Besaran itu dianggap ideal untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota besar seperti Jakarta. Namun, dia berharap, meski hanya memberi kenaikan 6,5 persen, Pemerintah dapat menstabilkan harga pangan dan kebutuhan pokok.
Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta, Diana Dewi mengaku khawatir dengan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen. Para pengusaha takut gulung tikar karena tidak mampu menaikkan gaji pegawainya.
“Kondisi ini akan membuat perusahaan cenderung akan mempailitkan usahanya sehingga dapat terjadi PHK massal,” nilai Dewi, Rabu (11/12/2024).
Dewi menyebut, hal itu bisa terjadi karena kenaikan UMP tidak dibarengi dengan penurunan harga-harga barang. Sebab, tahun depan Pemerintah juga menaikkan besaran PPN menjadi 12 persen.
Menurut Dewi, kenaikan gaji buruh yang tidak seimbang dengan harga barang tentu tak bisa membuat daya beli masyarakat terdongkrak. Pada akhirnya, membuat perputaran ekonomi melemah.
“Harusnya, kalau UMP naik, harga-harga barang bisa diturunkan, baru itu bisa mendongkrak daya beli masyarakat,” pungkasnya.
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu