DPR Bikin Aturan Bisa “Lengserkan” Pejabat
JAKARTA - Tatib DPR baru yang bisa “lengserkan” pejabat negara jadi sorotan. Banyak yang mengkritik kebijakan para wakil rakyat itu. Menjawab tudingan ini, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, Tatib baru dibuat bukan untuk cari masalah, tapi untuk perbaikan.
Dalam rapat paripurna ke-12 yang digelar pada Selasa (4/2/2025), anggota parlemen telah menyetujui revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) DPR.
Wakil Ketua Baleg Sturman Panjaitan menyebut, pada 3 Februari 2025, seluruh fraksi telah menyampaikan pandangan mini terhadap usulan atas rancangan perubahan peraturan Tatib tersebut. Antara lain soal Pasal 228A terkait kewenangan DPR untuk mengevaluasi pimpinan lembaga atau institusi yang dipilih lewat mekanisme fit and proper test.
Adapun Pasal 228A Ayat 1 berbunyi ‘dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR’.
Sedangkan Pasal 228A Ayat 2 menyatakan, ‘hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku’.
Menanggapi laporan itu, Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyerahkan persetujuan atas usulan revisi Tatib kepada anggota dewan yang hadir. “Apakah dapat disetujui?” tanya Adies. “Setuju,” jawab anggota legislatif dengan kompak.
Adanya revisi ini kemudian menimbulkan kontroversi karena lewat Pasal 228A, DPR bisa mengevaluasi seluruh pejabat negara dan melengserkannya di tengah jika dianggap sudah tidak kompeten. Mulai dari pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPK), hingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Menjawab tudingan ini, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan, Tatib DPR merupakan turunan dari Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3). Berdasarkan aturan DPR diberi kewenangan untuk menjalankan fit and proper test serta mengawasi lembaga-lembaga yang menjadi mitranya.
“Kemudian ditambahkan bahwa hasil fit and proper itu dapat dievaluasi berkala. Cuma itu saja,” ujar Dasco saat dihubungi Redaksi, Rabu (5/2/2025).
Ketua Harian Partai Gerindra ini menuturkan, beberapa tahun setelah fit and proper test, pihaknya sering kali menemukan adanya pejabat negara yang sudah tidak kompeten menjalankan tugasnya. Baik itu karena faktor usia maupun karena penyakit yang diderita.
Tapi karena pensiunnya masih lama dan fit and proper cuma sekali ya tetap berlanjut. Nah yang kaya gini-gini yang mesti kita benahi,” jelasnya.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban DPR, Dasco menilai, wajar jika kemudian dijalankan fungsi pengawasan lebih lanjut melalui mekanisme evaluasi berkala. Menurutnya, aturan ini semata-mata demi kebaikan lembaga itu sendiri.
“Jadi kita bukan bikin begitu untuk terus cari-cari masalah yang nggak perlu. Kan kita juga nggak kurang kerjaan, kerjaan kita udah banyak,” tandasnya.
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menanggapi aturan ini. Dia menilai, DPR telah melampaui batas jika diberi kewenangan untuk mengevaluasi pejabat publik. Bahkan bisa mengalihkan fokus DPR dari tugas utamanya yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.
“DPR sekarang sudah kebablasan dengan menafsirkan seakan fit and proper test itu variasi dari fungsi pengawasan,” ujar Jimly kepada Redaksi, Rabu (5/2/2025).
Mantan Ketua MK ini juga mengingatkan, keterlibatan DPR yang berlebihan dalam pemilihan pejabat justru menyebabkan politisasi lembaga negara yang seharusnya independen, seperti KPK dan MK.
Jimly khawatir jika kewenangan DPR diperluas, maka iklim demokrasi dan prinsip check and balance akan semakin lemah serta berdampak buruk pada kualitas negara hukum. Sebab, politik akan menjadi panglima di segala bidang.
Senada, Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengingatkan, kewenangan DPR untuk mencopot pejabat negara, terutama melalui peraturan internal seperti Tatib bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Feri berpendapat, DPR tidak seharusnya mencampuri urusan lembaga lain, apalagi mengganti pejabat negara tanpa dasar hukum yang jelas.
Menurut Feri, Tatib seharusnya punya pengaruh lebih banyak kepada urusan internal DPR. Jika kewenangannya justru di luar parlemen, maka ada sesuatu yang patut dipertanyakan.
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Opini | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu