KPK Harus Tiru Kejagung, Berantas Korupsi Bernilai Triliunan

JAKARTA - Dalam memberantas korupsi, KPK dinilai perlu meniru Kejaksaan Agung (Kejagung) yang fokus mengusut korupsi bernilai triliunan.
Beberapa tahun terakhir, terdapat perbedaan mencolok antara KPK dan Kejagung dalam penanganan kasus korupsi, terutama terkait nilai kerugian negara. Data menunjukkan, Kejagung berhasil menangani kasus-kasus korupsi dengan nilai kerugian negara yang jauh lebih besar dibandingkan KPK.
Salah satu contoh kasus korupsi terbaru yang ditangani Kejagung dengan nilai kerugian fantastis adalah dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Patra Niaga periode 2018-2023, dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun per tahun.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menjelaskan, sejak 2020 Kejagung tidak mau lagi fokus pada kasus suap, kasus proyek, atau perdagangan pengaruh seperti perizinan. Namun, beralih ke aset recovery.
"Semangatnya untuk mengembalikan kerugian negara dan perekonomian negara. Sehingga bisa menghajar Jiwasraya, Asabri, perkebunan, tambang nikel, tambang timah, yang terakhir ini Pertamina," jelas Boyamin kepada Redaksi, Jumat (28/2/2025).
Dengan semangat itu, Boyamin mengatakan, Kejagung mulai mengandalkan pedoman Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi tentang perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian menjadi wajar jika kasus yang didapat punya nilai kerugian fantastis.
Sebaliknya, Boyamin melihat saat ini KPK masih berkutat pada Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12, tentang suap dan gratifikasi. Dasar inilah yang menyebabkan KPK lebih banyak menangani perkara dari hasil kegiatan penangkapan atau dulu disebut operasi tangkap tangan.
"Istilah sederhananya, KPK itu menciptakan alat bukti karena menangkap lebih dulu. Kalau Kejagung mencari atau menemukan alat bukti. Dan itu memang perlu kerja keras dan otak yang cerdas dalam membongkar korupsi," ungkapnya.
Jika KPK tidak meniru Kejagung yang membongkar kasus korupsi lewat case building atau membangun dari nol, maka Boyamin tidak heran jika prestasi KPK tertinggal jauh dan lebih sering jadi "penonton".
Padahal, menurutnya, KPK bisa lebih hebat dari Kejagung karena kewenangan yang dimilikinya lebih canggih. Seperti izin penyadapan. "Tinggal keberanian pimpinan sekarang apakah berani nangkap yang besar-besar," sindirnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman juga mendukung penuh upaya KPK beralih fokus dari operasi tangkap tangan ke case building. Ia pun mengaku sudah tidak sabar melihat kinerja KPK ke depan dalam membongkar kasus kakap, seperti halnya Kejagung yang berhasil mengusut perkara Timah, Asabri, dan minyak mentah di PT Pertamina.
“KPK harus menunjukkan kinerja bahwa mereka bisa case building dengan mengungkap perkara-perkara besar yang strategis dan memengaruhi hajat hidup orang banyak,” tegas Zaenur saat dikontak Redaksi, Jumat (28/2/2025).
Meski begitu, Zaenur meminta KPK tidak lepas tangan dengan perkara suap yang banyak ditangani lewat kegiatan penangkapan. Dia menekankan, lembaga antirasuah tetap wajib melakukan penindakan jika ada laporan mengenai dugaan tindak pidana suap.
Tak menutup kemungkinan, kata Zaenur, di balik perkara suap itu justru KPK bisa membongkar korupsi dengan nilai yang jauh lebih besar. Asalkan KPK tidak tebang pilih atau menindaklanjuti laporan yang sudah matang saja. "Karena sudah menjadi tugas KPK, sesuai mandat dalam undang-undang untuk menindaklanjuti laporan yang masuk," tandasnya.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika sempat menyampaikan, lembaganya mulai meninggalkan kegiatan penangkapan dan memilih case building untuk membongkar kasus kakap. Tessa mengatakan, membongkar kasus korupsi dengan case building tidak mudah karena butuh waktu lebih lama karena perlu mencari alat bukti yang lebih kompleks. Berbeda dengan penanganan kasus suap yang terbilang cukup sederhana.
"Ada informasi, ada pemberi, ada penerima, ada barang bukti, langsung ditangkap, selesai," urai Tessa.
Tessa juga menekankan tidak ada persaingan antara KPK dengan Kejagung karena keduanya sama-sama bertugas untuk membersihkan Indonesia dari praktik korupsi. Ia pun menyampaikan bahwa lembaganya tak lagi sekedar menangkap koruptor dalam jumlah banyak.
Menurutnya, penanganan perkara ke depan akan fokus pada pengembalian keuangan negara dari kasus korupsi. Oleh karenanya, penindakan KPK di era Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan berpusat di sektor pengadaan barang dan jasa yang kerap bocor dalam jumlah fantastis.
Meski begitu, KPK tidak akan menutup mata jika ada laporan mengenai praktik suap di lapangan. Jika dibutuhkan, operasi senyap akan tetap jadi andalan. “Walau mungkin tangkap tangan tidak menjadi fokus, tetapi masih tetap bisa dilakukan,” pungkasnya.
Diketahui, sepanjang periode 2023 hingga 2025, Kejagung telah menangani sejumlah kasus korupsi besar dengan kerugian negara yang signifikan. Teranyar adalah dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina periode 2018-2023, dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun per tahun.
Sebelumnya, Kejagung juga menangani kasus korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah selama periode 2015–2022. Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 300 triliun.
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu