Indonesia Tak Boleh Gentar Hadapi Perang Tarif Dengan Amerika Serikat

JAKARTA - Senayan menilai, kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS) harus dijadikan momen bagi Indonesia untuk memperkuat kedaulatan nasional, bukan justru menimbulkan kepanikan. Indonesia tidak boleh gentar menghadapi tekanan dari negara mana pun, termasuk AS.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menegaskan, jangan sampai karena kebijakan satu negara, kita malah jadi ciut nyali.
“Justru ini saatnya kita menanamkan kembali semangat patriotik dan menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa ditakut-takuti,” kata Misbakhun dalam diskusi bertajuk 'Kebijakan Tarif Resiprokal AS, Apa Dampak Ekonomi dan Politik Bagi Indonesia dan Bagaimana Solusinya? di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/4/2025).
Misbakhun menegaskan, sebagai bangsa besar, Indonesia tentu saja selalu menghadapi berbagai hambatan, tantangan dan rintangan. Hal itu harus menjadi sarana bagi bangsa ini untuk belajar, menaikkan kelas dan meningkatkan kualitas pemikiran.
Menghadapi perang tarif AS, Indonesia tidak boleh jiper, melainkan harus pakai taktik dan strategi.
“Taktik dan strateginya ya seperti yang diputuskan oleh Bapak Presiden, mengirimkan tim negosiasi itu adalah cara yang terbaik untuk kita mendengarkan apa sih perkembangan yang berikutnya terjadi,” ujarnya.
Makanya menghadapi perang tarif AS, sambungnya, mesti mengacu kepada data. Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian mencatat, surplus perdagangan Indonesia dengan AS sebesar 17,9 miliar dolar AS.
Hanya saja, data ini berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perdagangan sebesar 14,6 miliar dolar AS. Sehingga ada selisih sekitar 3,3 miliar dolar AS.
Sementara, nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai 26,4 miliar dolar AS dengan nilai total Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 2 persen, tidak terlalu signifikan.
Jadi tidak ada alasan kuat untuk menganggap ini sebagai ancaman besar. Jangan sampai kita ikut-ikutan panik membicarakan krisis yang sebenarnya belum ada,” ujarnya.
Misbakhun menekankan pentingnya menjaga kedaulatan ekonomi digital, terutama dalam sistem pembayaran nasional. Dia menilai, dominasi sistem pembayaran global seperti SWIFT, Visa dan Mastercard membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia terlalu bergantung pada negara adidaya.
“Kita harus punya kedaulatan di sektor pembayaran digital. Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) adalah bentuk kemandirian. Kita tak bisa terus bergantung pada sistem asing yang hanya memperkuat hegemoninya,” tegas politisi senior Fraksi Golkar ini.
Dia pun menyambut baik langkah Presiden Prabowo Subianto dalam membuka opsi negosiasi dan menetapkan kebijakan perdagangan yang fleksibel. Menurutnya, fleksibilitas itu harus tetap sejalan dengan perlindungan terhadap industri nasional.
Kalau kita punya keunggulan, kita harus perkuat. Kalau belum siap, jangan dipaksakan. Yang penting, kepentingan nasional tetap menjadi prioritas dalam setiap negosiasi,” tambahnya.
Di tempat yang sama, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo mengingatkan, Indonesia perlu menyusun kebijakan yang matang dalam merespons kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh AS.
Apalagi, dinamika perdagangan global selalu berkaitan erat dengan politik dan keamanan, yang turut memengaruhi perekonomian Indonesia.
“Sejak masa VOC, perdagangan tak pernah terlepas dari politik dan keamanan. Sama halnya dengan situasi sekarang, di mana perdagangan menjadi bagian dari perang tarif yang digagas oleh Presiden Trump,” kata Dradjad.
Dia menekankan, Indonesia harus mempertimbangkan dengan cermat setiap langkah kebijakan dalam menghadapi tekanan dari AS, terutama dalam konteks defisit perdagangan yang berkisar antara 13 hingga 16 miliar dolar AS.
Diusulkan agar Indonesia mencari cara untuk menyeimbangkan defisit tersebut, salah satunya dengan mengalihkan impor dari negara lain ke AS, meski ini bukanlah pilihan yang ideal.
“Strategi yang bisa kita lakukan adalah mengalihkan impor dari negara lain ke Amerika, karena ini langkah terbaik yang dapat kita tempuh untuk menghindari potensi pelemahan rupiah yang dapat berdampak pada stabilitas ekonomi dan politik,” usulnya.
Tak hanya itu, pengurangan biaya produksi dalam negeri akan menjadi kunci agar produk Indonesia tetap kompetitif meskipun ada tarif impor yang tinggi. Salah satu caranya dengan memangkas biaya-biaya terkait regulasi dan transportasi.
Dradjad juga mengingatkan agar Indonesia berhati-hati dalam memisahkan kepentingan perdagangan AS dengan kepentingan nasional Indonesia. Pemerintah tidak boleh terjebak dalam kepentingan dagang Amerika.
“Mereka memang memiliki kepentingan besar di Indonesia, namun kita juga harus memastikan kebijakan yang kita ambil menguntungkan kedua belah pihak,” tegasnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 10 jam yang lalu