DPR Nilai Putusan Pemisahan Pemilu Nasional Dan Daerah Langgar Konstitusi

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah terus menuai perdebatan. DPR menilai lembaga yang dipimpin oleh Suhartoyo itu, melanggar konstitusi. Sementara MK menegaskan putusan tersebut untuk menyederhanakan Pemilu. MK vs DPR semakin panas.
Jumat (4/7/2025) siang, Ruang Rapat Komisi III DPR tampak lebih ramai dari biasanya. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) digelar khusus Komisi III DPR untuk membahas Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi III DPR Habiburokhman itu, menghadirkan sejumlah pakar. Mulai dari mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, advokat sekaligus politisi NasDem Taufik Basari, hingga akademisi Universitas Indonesia Valina Singka Subekti.
Dalam pemaparannya, Patrialis menilai, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 bertentangan dengan konstitusi. Ia menyebut, pemisahan Pemilu menjadi dua tahap dalam lima tahun melanggar Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang menyebut Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
“Pasal 22E ayat 1 itu jelas menyebut Pemilu lima tahun sekali, luber dan jurdil. Putusan MK memecah menjadi dua kali, itu sudah bertentangan,” kata Patrialis.
Ia juga menyinggung Pasal 18 ayat 3 dan Pasal 18B ayat 4 UUD 1945, yang mengatur DPRD dipilih melalui Pemilu dan kepala daerah dipilih secara demokratis. Menurutnya, MK justru mencampur aduk konsep ini dengan menjadikan Pilkada bagian dari Pemilu serentak tahap kedua, yang ia nilai tidak sesuai dengan semangat konstitusi.
Pemilihan kepala daerah tidak masuk dalam rezim Pemilu nasional, tapi MK memasukkannya dalam pemilu kedua. Ini inkonstitusional,” tegasnya.
Sejumlah anggota Komisi III DPR juga melontarkan kritik tajam. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mempertanyakan mengapa putusan MK saat ini bertolak belakang dengan putusan sebelumnya, yang mengukuhkan pemilu serentak pada 2019.
“Pemilu serentak ini hasil putusan MK 2019 bersifat final, putusan yang kemarin juga final. Jadi, nggak tahu nih yang final yang mana lagi," kata legislator Partai Gerindra ini.
Habib menyayangkan, minimnya partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan MK. Ia mengklaim, DPR justru lebih terbuka dalam menyusun undang-undang, seperti saat membahas RUU KUHAP yang melibatkan puluhan organisasi.
“Apakah MK mendengarkan publik? Kami saja libatkan 60 lebih organisasi,” ujarnya.
Senada dikatakan Anggota Komisi III DPR dari NasDem, Martin Daniel Tumbeleka. Dia bertanya apakah DPR bisa menolak melaksanakan putusan MK bila dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR dari PDIP Safaruddin bertanya apakah mungkin MK bisa bersidang kembali untuk membatalkan putusannya sendiri.
Sedangkan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, rapat Komisi III DPR dengan Patrialis cs bukan upaya melawan MK, melainkan sebagai wadah menyerap aspirasi publik dan pakar hukum. “Rapat ini bentuk fasilitasi. Bukan perlawanan terhadap MK,” tegasnya.
Meski begitu, Dasco mengakui, DPR belum menentukan langkah selanjutnya. Saat ini, DPR masih mengkaji implikasi putusan bersama Pemerintah dan lembaga terkait.
Ia juga membantah ada rencana mengganti atau mengevaluasi hakim MK. “Masa gara-gara putusan ini kita mau evaluasi hakim? Kurang kerjaan saja,” ujarnya santai.
Di luar parlemen, sejumlah tokoh memberi pandangan berbeda. Mantan Menko Polhukam sekaligus eks Ketua MK Mahfud MD mengakui, putusan MK terbaru perlu dikaji ulang secara mendalam. Sebab berpotensi menciptakan krisis konstitusional dan menghadirkan ketidakpastian hukum, terutama dalam tata kelola Pemerintahan Daerah. Salah satu titik rawannya adalah kekosongan jabatan legislatif di daerah.
Dia menegaskan pentingnya pengkajian ulang terhadap putusan MK tersebut, dengan melibatkan pendekatan ilmiah dan konstitusional menyeluruh. Mahfud melihat, putusan MK bukan sebagai bentuk penolakan mutlak, melainkan ajakan berdiskusi secara terbuka dan akademis demi kematangan sistem politik nasional.
Mahfud berharap, MK terbuka terhadap kritik yang konstruktif demi menjaga stabilitas demokrasi di Indonesia. "Kritik terhadap MK itu sudah banyak sejak dahulu. Jadi, saya kira bagus untuk perkembangan MK ke depan. Setiap kritik itu ditampung lalu dicarikan solusi ilmiahnya," ujar Mahfud MD di Universitas dr Soetomo Surabaya, Jawa Timur, Jumat (4/7/2025).
Sementara, mantan Ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie memberi pandangan berbeda. Dia memberi saran, pejabat publik yang dilantik dan disumpah, taat dan patuh dengan UUD. Dia yakin, meski pro dan kontra, putusan MK ini diambil bukan tujuan untuk pribadi atau pihak tertentu.
"Selalu membiasakan diri untuk hormat pada putusan pengadilan. Meski tak suka atau tak memuaskan kepentingan pribadi dan kelompok," ujar Jimly di akun X @JimlyAS, Kamis (3/7/2025).
Lalu apa tanggapan MK? Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan, pemisahan Pemilu nasional dan daerah adalah bagian dari desain keserentakan yang telah dikaji MK dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. “Pemisahan ini bertujuan menyederhanakan proses pemilu, meningkatkan kualitas demokrasi, dan mengurangi beban penyelenggara,” jelas Enny.
Ia menekankan, jadwal Pemilu lima tahunan tetap berlaku. Yang berubah hanyalah teknis pelaksanaan yang tidak lagi digabungkan seluruhnya dalam satu hari. “MK meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan constitutional engineering agar transisinya berjalan baik,” tandasnya.
Putusan MK ini keluar setelah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menggugat UU Pemilu dan UU Pilkada. Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan Pemilu nasional (Pilpres, DPR, DPD) dan Pemilu lokal (DPRD, kepala daerah) dipisah dengan jeda 2–2,5 tahun.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu