TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers
Menghemat Politik Identitas

Adat Bersendi Syara Sara Bersendi Kitabullah

Oleh: Prof KH Nasaruddin Umar
Editor: admin
Selasa, 04 Oktober 2022 | 09:10 WIB
Prof KH Nasaruddin Umar
Prof KH Nasaruddin Umar

CIPUTAT - Kristalisasi adat bersendi syara’ dan sara bersendi Kitabullah tentu memerlukan proses, waktu, metode, dan cara efektif. Sara’ (baca: Syari’ah) adalah tata nilai Islam yang diformalkan menjadi norma-norma hukum Islam, yang bisas disebut fikih.

Sara’ sudah dikenal luas semenjak Islam masuk di wilayah Nusantara dengan perkembangan akul­turasi dan enkulturasi yang amat cepat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai luhur kearifan local di wilayah Nusantara sedemikian dekat dengan nilai-nilai universal Islam.

Dalam masyarakat maritim, khususnya di wilayah Nusantara, mempunyai tiga tradisi luhur, yakni membe­baskan pantainya untuk disandari perahu asing sepanjang mereka bermaksud baik, memberi akses orang luar untuk mengambil air tawar di sungai untuk keperluan minum dan memasak, dan mengambil api untuk keperluan menanak makanan.

Selain itu tradisi luhur menghargai tamu dan menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan tanpa membe­dakan etnik, agama dan kepercayaan, sudah lama menjadi kebiasaan luhur bangsa ini.

Sedangkan Kitabullah terdiri atas dua kata, yaitu kitab dan Allah lalu dijadikan satu kata: Kitabullah, yang secara harfiah berarti kitabnya Allah. Kitab itu sendiri berasal dari bahasa Arab: Kataba-yaktubu-kitaban yang berarti tulisan (buku).

Kita juga bisa dimaknai sebagai puncak dari him­punan (al-Qur’an), karena kitab adalah kumpulan sejumlah huruf menjadii kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi ayat, ayat menjadi surah, dan kumpulan dari 114 surah dis­ebut al-Kitab atau al-Qur’an.

Dengan demikian, Kitabullah dalam konteks artikel ini adalah ketentuan-ketentuan Allah Swt yang tertuang di dalam Kitab Allah yang juga dikenal dengan Al-Qur’an.

Adat, Sara’, Kitabullah, dan masyarakat Nusantara em­pat istilah dalam satu eksistensi, yaitu sebuah masyarakat yang menjunjug tinggi adat-istiadatnya yang bersendi di atas semangat syara’ yang bersendi di atas Kitab Allah. Tentu saja antara satu dengan yang lain memiliki unsur distinksinya masing-masing, tetapi unsur persamaannya jauh lebih dominan.

Kitabullah memayungi syara’ dan syara’ memayungi adat, dan adat memayungi masyarakat Nusantara. Masyarakat Nusantara menjadi lokus adat yang bersendi sar’a dan sara’ bersendi Kitabullah, masing-masing saling memberi energy satu sama lain. Kristalisasi nilai-nilai keempat unsur tersebut melahirkan masyarakat Nusantara.

Sebagaimana telalah dijelaskan dalam dalam artikel ter­dahulu bahwa pijakan atau sendi adat ialah “nilai-nilai dasar syar’ah” yang bersifat universal, maka sudah barang tentu terbuka di dalamnya semua nilai-nilai universal lain me­nyatu dengannya, seperti nilai-nilai universal Hindu, Budha, Protestan, Katolik, Khonghucu, dan berbagai kepercayaan dan agama local lainnya.

Nusantara bagaikan mutiara yang memiliki banyak sudut, masing-masing sudutnya meman­carkan keunikan warna.

Dengan demikian, semua agama dan kepercayaan memiliki kapling menampilkan diri di dalam mutiara Nusantara.

Seperti halnya Islam Nusantara, maka agama dan kepercayaan lain juga bisa menampilkan klaim kenusantaraan di dalam komunitasnya, misalnya Hindu Nusantara, Budha Nusantara, Kristen Nusantara, Khonghucu Nusantara, dan lain-lain.

Nusantara memiliki energi untuk memberikan kekuatan kepada segenap agama, aliran, dan kepercayaan local yang ada di dalam wilayah Nusantara.

Islam Nusantara menganggap komunitas lain di luar muslim sebagai bagian dari dirinya sebagai warga bangsa.

Sungguhpun berbeda agama dan keyakinan tetapi mereka semua bagian yang tak terpisahkan sebagai komunitas Nusantara. Inilah tafsiran actual: Bhinneka tunggal Ika yang sering diartikan bercerai berai-berai secara geografis tetapi tetap satu spirit dan satu jiwa yaitu Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Tanah-Air, di bawah satu lambang garuda dengan satu bendera: Merah-Putih, dibingkai oleh NKRI dan dijiwai oleh Pancasila di bawah suatu format formulasi formal: UUD 1945. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit