Purbaya: Jangan Lihat Dari Nominalnya, Kondisi Utang Indonesia Tidak Membahayakan

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa merespons soal utang Indonesia yang sudah menembus Rp 9.138 triliun per Juni 2025. Menurutnya, kondisi utang Indonesia tidak membahayakan alias masih dalam batas normal. "Jangan lihat dari nominalnya," kata Purbaya.
Berdasarkan data Kemenkeu, total utang pemerintah mencapai Rp 9.138 triliun. Terdiri dari pinjaman Rp 1.157 triliun, dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 7.981 triliun. Jumlah itu setara dengan 39,86 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Utang tersebut lebih rendah dibanding per Mei 2025 yang mencapai Rp 9.177 triliun. Rinciannya, pinjaman Rp 1.148 triliun, dan SBN Rp 8.029 triliun.
Namun, jika dibandingkan Desember 2024, jumlah utang pemerintah naik Rp 325 miliar. Adapun rinciannya, pinjaman Rp 1.087 triliun dan SBN Rp 7.726 triliun.
“Kalau acuan utang bahaya besar apa nggak, itu bukan dilihat dari nominalnya saja, tapi dibandingkan dengan ekonomi nasionalnya,” ujar Purbaya saat Media Gathering di Bogor, Jumat (10/10).
Menurut Purbaya, posisi utang Indonesia masih jauh dari kategori mengkhawatirkan. Rasio utang terhadap PDB tercatat 39,86 persen. Artinya, masih jauh di bawah ambang batas 60 persen sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“39 persen dari PDB itu masih aman secara ukuran internasional,” tegas mantan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu.
Kenaikan utang tersebut, kata dia, masih dalam batas wajar dan sejalan dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan. Pemerintah, kata Purbaya, tetap berkomitmen menekan penerbitan utang sambil mengoptimalkan penerimaan negara.
“Kita akan coba kurangi penerbitan utang seoptimal mungkin. Kalaupun utang harus digunakan, jangan sampai ada kebocoran,” ujarnya.
Purbaya menilai, utang justru menjadi instrumen penggerak ekonomi jika dikelola dengan hati-hati. Pemerintah, lanjutnya, menggunakan utang untuk membiayai proyek-proyek produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan transformasi ekonomi.
“Jadi, jangan jadikan utang sebagai narasi negatif. Yang penting, penggunaannya tepat dan memberi efek pengganda bagi ekonomi,” katanya.
Untuk memperkuat pembiayaan, pemerintah baru saja menerbitkan surat utang global atau global bonds dalam dua mata uang—dolar AS dan Euro—dengan format SEC-registered. Dari penerbitan denominasi dolar AS, pemerintah mengantongi 1,85 miliar dolar AS atau sekitar Rp 30,6 triliun. Dari denominasi Euro, sebanyak 600 juta Euro atau sekitar Rp 11,5 triliun berhasil dihimpun.
Ada tiga seri surat utang yang diterbitkan. Pertama, RI0431, tenor 5,5 tahun, imbal hasil 4,35 persen (600 juta dolar AS). Kedua, RI0436, tenor 10,5 tahun, imbal hasil 4,95 persen (1,25 miliar dolar AS). Terakhir, RIEUR1033, tenor 8 tahun, imbal hasil 3,75 persen (600 juta Euro).
Namun, di sisi lain, Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa (cadev) turun dari 150,7 miliar dolar AS pada Agustus menjadi 148,7 miliar dolar AS pada September 2025.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menyebut, penurunan ini disebabkan pembayaran utang luar negeri serta langkah BI menjaga stabilitas rupiah. Meski begitu, posisi cadev masih kuat, setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor.
“Cadangan devisa tetap cukup untuk menopang ketahanan sektor eksternal dan menjaga stabilitas makroekonomi,” kata Ramdan.
Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komaruddin menilai, sejauh ini, rasio utang terhadap PDB masih terkendali dalam batas yang aman. Hal ini sesuai Undang-undang Keuangan Negara yang menetapkan batas maksimal sebesar 60 persen.
"Yang terpenting, utang ini digunakan secara produktif untuk mendukung keberlangsungan pembangunan yang memberikan manfaat bagi perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata Puteri kepada Redaksi, kemarin.
Politisi Golkar ini menilai, rasio utang Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Misalnya, Singapura (170 persen), Jepang (240 persen), Malaysia (69,8 persen), dan Thailand (61,9%).
Namun, Puteri menegaskan, DPR akan selalu ingatkan Pemerintah agar menjaga pembiayaan utang dalam batas aman, manageable, dan terukur. "Penerbitan SBN harus dipastikan dengan biaya yang efisien dan risiko yang terkendali, sekaligus menjaga integritas pasar," ujarnya.
Di sisi lain, Pemerintah juga perlu untuk terus mengoptimalkan penerimaan negara, terutama perpajakan. Serta, memastikan penyerapan belanja negara yang berkualitas (spending better).
"Dengan kebijakan fiskal yang hati-hati dan terukur, tentunya defisit APBN dapat tetap terjaga demi keberlanjutan fiskal negara dalam jangka menengah-panjang," tegasnya .
Direktur NEXT Indonesia Herry Gunawan mengamini pandangan Purbaya. Ia menegaskan, ukuran aman atau tidaknya utang bukan dari jumlahnya, tapi dari rasio terhadap PDB.
“Utang Rp 1 juta bisa berat bagi orang bergaji Rp 2 juta, tapi ringan bagi yang penghasilannya Rp 5 juta. Begitu juga negara. Makanya, ukuran paling adil itu rasio terhadap PDB,” ujarnya.
Namun, Herry mengingatkan agar dana hasil utang digunakan secara produktif. “Kalau hanya disimpan di rekening pemerintah di BI tanpa disalurkan ke sektor riil, itu justru rugi karena tetap ada bunga yang harus dibayar,” katanya.
Ia menilai langkah Purbaya menarik dana "nganggur" pemerintah dari BI ke perbankan adalah strategi tepat. Dengan begitu, dana bisa mengalir sebagai kredit dan menggerakkan ekonomi.
“Kalau dana pinjaman memberi efek pengganda lebih besar dari bunga, itu artinya pemerintah untung,” terang Herry.
Selain itu, serapan anggaran juga harus maksimal agar utang tidak menjadi beban. “Kalau anggaran cuma mengendap, itu sama saja membayar bunga tanpa manfaat,” tambahnya.
Herry menilai tantangan terbesar Purbaya ada di peningkatan penerimaan negara. Mengingat pemerintah telah memastikan tak ada kenaikan pajak dan tak akan menerbitkan pajak baru hingga 2026.
“Maka, yang perlu diburu adalah tunggakan pajak, terutama dari pengusaha besar,” katanya mengingatkan.
Sementara itu, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, nominal utang yang aman belum tentu bebas risiko. Kuncinya ada pada efektivitas penggunaannya.
“Kalau dipakai membiayai sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan transformasi ekonomi, utang bisa berdampak positif jangka panjang. Tapi kalau untuk belanja rutin, manfaatnya terbatas,” ujarnya.
Menurut Yusuf, ukuran keberhasilan bukan sekadar besaran utang, melainkan seberapa besar utang mampu menciptakan nilai tambah ekonomi. Ia pun berpesan agar pemerintah menjaga orientasi produktivitas dan transparansi dalam pengelolaan pinjaman.
“Manajemen risiko fiskal harus diperkuat agar keberlanjutan APBN tetap terjaga,” tutup Yusuf.
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu