TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

Indeks

Dewan Pers

Ledakan di Sekolah, Alarm “Kemarau Kawan”

Oleh: DR. Devie Rahmawati
Editor: Redaksi
Sabtu, 08 November 2025 | 13:26 WIB
DR. Devie Rahmawati. Foto : Dok. Pribadi
DR. Devie Rahmawati. Foto : Dok. Pribadi

JAKARTA - Di saat penutupan kegiatan Dialog Peradaban 2025, sebuah kolaborasi 38 hari dari Gusdurian, PYC, dan Soka Gakkai Indonesia, menegaskan persahabatan sebagai jalan damai, lantas, kita malah dikejutkan oleh kabar ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading yang melukai 61 orang. Pada saat yang sama, keterangan saksi yang dimuat media menyebut, dugaan pelaku adalah siswa yang kerap dirundung dan ingin membalas. Kita wajib berhati dingin: fakta korban sudah jelas, tetapi soal motif masih diproses. Namun pesan moralnya telak, bila ruang-ruang tumbuh anak muda diwarnai cemas, takut, dan saling curiga, benih damai sulit menemukan tanah suburnya.  

 

Gejala ini bukan berdiri sendiri di sekolah. Di tempat kerja, transisi “kembali ke kantor” justru membuka jendela lain: hampir 4 dari 10 pekerja Gen Z mengaku mengalami bullying setelah kembali ke kantor; bahkan lebih banyak lagi melaporkan perilaku “menyeramkan/tidak pantas”. Artinya, luka keakraban menyebrang dari kelas ke ruang rapat. Kita menyebutnya kemarau kawan, ketika lingkar persahabatan semakin tipis, kepercayaan menurun, dan defisit kehangatan. 

 

Jika akar masalahnya sedalam itu, resepnya tak bisa sekadar imbauan sopan santun. Bukti ilmiah menunjukkan, intervensi anti-bullying yang dikerjakan konsisten memang menurunkan kejadian pelaku sekitar 18–20 persen dan korban 15–16 persen. Ini bukan obat mujarab semalam, tetapi ia bekerja ketika sekolah dan komunitas menegakkan budaya saling jaga, respons cepat, dan pemulihan yang manusiawi, persis lawan dari spiral balas dendam. Dengan kata lain, anemia kepercayaan dapat dipulihkan bila kita berani, jujur, dan teratur merawatnya.

 

 

Terhubung, Tak Terikat

Riset populer lintas media sepanjang 2023–2025, menggambarkan paradoks khas Gen Z: paling terkoneksi secara digital, namun paling kesepian. Laporan news.com.au menyorot kesulitan Gen Z membuat dan menjaga pertemanan sehingga mengganggu kerja dan keseharian; artikel BeFriend (2025) menegaskan tingginya rasa sepi meski notifikasi ramai; beberapa ulasan kesehatan mental menyebut Gen Z “tampak muda, tapi merasa tua” karena tekanan informasi dan kecemasan kronis. Inilah Sindrom Paradok Keramaian dalam Kesunyian: Sibuk Scroll, Tipis Sapa. Istilah “friendship recession” ramai dipakai untuk menggambarkan susutnya sahabat dekat; substansinya jelas yaitu keakraban menipis dan kepercayaan menurun. Paparan ringkas Silou Health (Agustus 2025) merekap gejala bahwa banyak anak muda merasa kesepian reguler dan lingkar pertemanan makin kecil. 

 

Defisit Persahabatan & Anemia Kepercayaan

 

Di level batin, banyak anak muda menggambarkan cemas yang menahun: rasa “tegang terus-menerus”, di kota yang tak pernah benar-benar diam. Sebagian refleksi menyebut bahwa, kecemasan itu diam-diam adalah rindu akan damai yang lebih dalam, rindu untuk diakui, didengar, dan disambut tanpa sinis. Membaca kegelisahan itu bukan untuk menggurui, melainkan untuk menata ulang arsitektur sosial kita, yang lebih sedikit pertunjukan, namun, lebih banyak perjumpaan yang jujur. Kemarau Kawan tak akan usai jika kita hanya menambah notifikasi; ia butuh ruang ketiga, yang hidup, menghadirkan ritme obrolan pelan, serta kebijakan sekolah, kampus dan kantor, yang memihak keselamatan sosial, bukan sekadar target formal. 

 

Rindu Damai, Namun Sulit Berkawan

 

Dimensi jiwa ini tak bisa diabaikan. Esai “Anxiety and Gen Z: Longing for Deep Peace” menafsirkan kecemasan sebagai kerinduan akan damai yang lebih dalam, sebuah undangan untuk kembali terhubung secara jujur dan bertahap. Ini nyambung dengan jiwa dalam Dialog Peradaban 2025, yang menekankan bahwa damai lahir dari kepercayaan yang ditenun di lingkar paling dekat. 

 

Dua Kompas Nilai: Gus Dur & Ikeda

 

Gus Dur mengingatkan kita akan etika dasar membangun kepercayaan: “Yang harus kita lakukan adalah keberanian, terbuka dan jujur”. Kejujuran yang diucapkan dari hati melahirkan kepercayaan; kepercayaan menyiapkan tanah subur bagi persahabatan. Seirama dengan Gus Dur, Daisaku Ikeda menekankan bahwa damai “dimulai dengan membangun lingkar kepercayaan dan persahabatan di tempat kita berada”. Kalimat ini menolak damai sebagai slogan; ia menuntut praktik harian. Maka narasinya perlu kita balik. Tragedi SMAN 72 bukan alasan untuk memperlebar curiga, ia adalah cermin untuk mempercepat perawatan ekosistem persahabatan. 

 

Pulihkan dengan Cara yang Nyata

 

Mulai dari sekolah: “Jam Sahabat” 60 menit tiap pekan. Bukan teori rumit, cukup latihan mendengar tanpa memotong, berbeda pendapat tanpa memutus; lalu cara minta maaf dan memperbaiki jika terjadi salah paham. Pasca-SMAN 72, jalur pemulihan harus jelas: aman fisik, aman psikis, aman sosial. Kelas harus kembali menjadi ruang tumbuh, bukan sumber trauma.

 

Lanjut ke kota: hidupkan ruang ketiga. Perpustakaan warga, taman, makerspace, klub seni dan olahraga lintas sekolah, serta komunitas minat mingguan. Pemerintah kota cukup memberi bantuan kecil tapi sering, sewa ruang, alat sederhana, camilan, fasilitator. Ini bukan menambah seremoni; ini menambal defisit pertemanan. Ketika ruang ketiga hidup, obrolan pindah dari layar ke tatap muka, saling kenal tumbuh, kehangatan sosial pelan-pelan pulih.

 

Masuk ke kantor: Kantor yang hangat, bukan cuma rapat. Kerja boleh hybrid, tapi hubungan harus terasa manusiawi. Jadwalkan hari kumpul yang benar-benar untuk menyapa, makan siang bareng, atau gim ringan yang mencairkan suasana. Jalankan teman belajar beda angkatan, senior berbagi trik, junior menyumbang ide segar. Hidupkan komunitas hobi, dari bulutangkis hingga klub baca, agar obrolan pindah dari chat ke tawa yang nyata. Targetnya sederhana: setiap orang punya sahabat beneran di kantor, bukan sekadar nama di grup.

 

Di ruang online: geser ke tatap muka yang aman. Pasang rem pengingat yang baik, setelah beberapa kali chat, muncul ajakan ketemu di tempat aman seperti perpustakaan atau taman kota. Sediakan jeda setelah scroll tanpa henti, dan fitur “jodohkan teman se-minat” agar percakapan pindah dari layar ke dunia nyata.

 

Di lingkungan: bangun Gerakan Tetangga Hangat. Adakan “Sesi Sapa” 90 menit tiap pekan, tanpa jualan, tanpa politik. Agendanya sederhana: sapa, dengar dan bantu. Targetnya jelas: kehangatan sosial kembali terasa; neraca hati warga kembali hijau.

 

Menyemai Damai dari Lingkar Kecil

 

Dialog Peradaban 2025 memberi kita arah, sementara peristiwa di SMAN 72 memberi kita urgensi. Kalau kita ingin damai yang tahan lama, kita harus mematikan Arsitektur Anti-Bersahabat yang membuat orang sibuk melihat tetapi jarang menemui. Mari mengalirkan kembali keberanian, keterbukaan, dan kejujuran ke kehidupan sehari-hari (Gus Dur), serta menumbuhkan lingkar kepercayaan dan persahabatan di tempat kita berdiri (Ikeda).

 

Mulailah dari yang paling kecil: cara menyapa, cara mendengar, cara memulihkan. Karena di bawah segala kebijakan dan kampanye, damai selalu lahir dari dua orang yang berani jujur, lalu menumbuhkan lingkar yang saling percaya. Dan ketika Kemarau Kawan akhirnya berakhir, kota ini tak hanya selamat dari ledakan; ia selamat dari kebisuan yang pelan-pelan memecah kita. Karena pada akhirnya, Rindu Damai hanya akan sembuh bila kita berani berkawan.

 

DR. Devie Rahmawati

Associate Professor Vokasi UI

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit