Saatnya Membangun Kesadaran Ekologis
RUANG-ruang hijau kini berubah fungsi. Tak perlu jauh ke hutan lindung yang kini diperkosa korporasi, ruang hijau di sekitar kita pun terkadang diubah semena-mena menjadi tempat parkir dan garasi. Seakan perkakas mati jauh lebih penting dari ruang hidup flora dan fauna.
Pohon ditebang dengan alasan kebutuhan manusia. Kertas misalnya. Padahal kemajuan teknologi informasi telah mengurangi jutaan ton kertas. Surat berganti email. Sertifikat tanah berganti dokumen digital. Transaksi keuangan, jurnal, laporan ilmiah, layanan publik memasuki era paperless.
Dengan semakin rendahnya ketergantungan manusia pada kekayaan hutan, kita tak butuh proyek reboisasi akibat deforestasi sistemik. Keberlimpahan sumber daya lingkungan justru menopang harapan hidup semua mahluk, tak terkecuali manusia sebagai penentu dirantai puncak.
Di sekeliling kita pohon besar sebagai selimut erosi tak jarang dipangkas hanya karena mengganggu kenyamanan. Padahal menanti tumbuh bisa butuh puluhan tahun. Semisal Pohon Trembesi, Ketapang, Angsana, Mahoni, Kiara Payung dan Tabebuya yang tumbuh di samping jalan punya multi fungsi.
Pohon-pohon itu tak sembarang ditanam pemerintah. Selain estetik, ia punya kemampuan menyerap polusi, peneduh, penahan angin dan erosi. Petaka banjir yang menewaskan kurang lebih 1.061 jiwa di Sumatra disebabkan hilangnya akar tunjang yang berfungsi menahan laju erosi.
Di Jepang, merusak lingkungan sama artinya bunuh diri massal. Kita beruntung hari ini, tapi tidak nanti. Meninggalkan hutan gundul maknanya mengubur anak cucu hidup-hidup. Menipisnya air dan udara bersih sebagai sumber daya vital menjadi ancaman bagi masa depan generasi.
Sebuah pohon tempat puluhan bahkan ratusan makhluk bertumpu bagi kelangsungan hidup. Manusia adalah jaminan langsung atas keberlanjutan semua itu. Kelalaian merawat lingkungan berakibat fatal dan sulit diperbaharui. Bisa jadi kiamat dimulai dari deforestasi yang kini jadi isu global.
Dampak evolutif munculnya berbagai persoalan ikutan yang dulu tak pernah ada. Alam butuh cara untuk memulihkan keseimbangan akibat kerusakan yang dikreasi manusia. Recovery butuh waktu dan kesadaran kolektif, bukan saja perhatian pemerintah lewat ragam apresiasi.
Kalpataru, apresiasi atas keberhasilan menjaga lingkungan di level nasional. Adipura untuk tanggung jawab lingkungan di level kabupaten/kota. Demikian pula Adiwiyata untuk institusi pendidikan, selain Nirwasita Tantra untuk daerah yang sukses meletakkan kebijakan lingkungan berkelanjutan.
Negara-negara menyadari arti penting lingkungan bagi keberlanjutan hidup. Ia menjadi kesadaran yang mesti diurus lintas negara. Masalahnya, pemerintah terlalu sering menjadi tersangka atas kerusakan lingkungan. Illegal logging sedikit contoh simbiosis antara penguasa dan pengusaha yang selalu menjadi kecurigaan publik.
Relasi subkultur kekuasaan dan subkultur ekonomi seringkali menimbulkan gangguan sistemik, terencana, dan masif pada ekosistem. Sistem kebijakan tampak legal, direncanakan menjadi kawasan strategis di hampir semua wilayah dalam bentuk real estate yang menyulap sawah sebagai penyokong perut menjadi perumahan elit.
Saatnya kesadaran lingkungan dibangun lewat pendekatan etik dan spiritualitas. Kita tak bisa lagi menyandarkan pada kesadaran hukum yang kian tumpul. Seorang kakek mencuri lima ekor Burung Cendet dituntut dua tahun penjara, sementara perambah hutan hektaran hidup mewah di mana-mana.
Akal sehat mesti bertanggung jawab atas dampak lingkungan sepanjang waktu. Akal mesti diterangi lentera agar mengurangi kalkulasi profit materi ke keuntungan jangka panjang, kualitas lingkungan bagi semua makhluk. Supaya benderang, akal mesti dipandu oleh spirit ekoteologi dari kurikulum pendidikan.
Pendekatan spiritual dibangun lewat kesadaran religi agar perasaan bersalah merusak lingkungan bukan semata karena konsekuensi hukum positif, tapi lebih sebagai tanggung jawab moral pada Tuhan dan lingkungan. Kesadaran inklusif itu termasuk semut yang bahkan pernah diinjak Nabi Sulaiman di suatu masa.
Kesadaran kolektif menjadi modal mengantisipasi, bukan lagi menanggulangi. Kesadaran menjadi modal bagi upaya menyuburkan kembali hutan seperti Rusia, China, Amerika, Kanada, dan Brazil. Kita bisa saling berbagi sebagaimana kontribusi Indonesia pada Hutan Brazil sebanyak 16,8 triliun.
Kita pun sama, tak sedikit negara lain turut berkontribusi lewat Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dalam bentuk hibah dan pinjaman. Kita perlu membangun kesadaran keadilan ekologis. Tentang pentingnya lingkungan dibanding sekedar orientasi pembangunan ekonomi eksploitatif.
Kesadaran tentang masa depan lintas generasi. Kesadaran soal kepada siapa bumi beserta isinya akan dititip lanjut dan nikmati, apakah cukup untuk sekelompok oligarki atau seluruh lapisan masyarakat sebagaimana amanah founding fathers and mothers, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.(*)
Penulis merupakan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
SEA Games 2025 | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu



