Pengguna Angkutan Umum Turun, Pemotor Naik Tajam
JAKARTA - Pembangunan transportasi publik yang gencar dilakukan Pemerintah di Ibu Kota ternyata belum mampu menarik minat masyarakat untuk beralih menggunakan angkutan umum. Sebaliknya, jumlahnya malah menyusut.
Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Ismail mengatakan, untuk mengurangi kemacetan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan kebijakan Ganjil-Genap. Namun, upaya ini belum efektif sehingga akan diterapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar.
Dia membeberkan, jumlah perjalanan meningkat tajam. Pada tahun 2010 sebanyak 45 juta perjalanan per hari. Kemudian, pada 2018 meningkat menjadi 88 juta perjalanan per hari.
Kemudian, pengguna angkutan umum merosot tajam. Pada 2002, penggunaan mobil pribadi di Jakarta sebesar 14,7 persen dan sepeda motor hanya 27,5 persen. Kala itu, mayoritas masyarakat memilih angkutan umum sebagai moda transportasi, yakni 52,7 persen.
Namun, delapan tahun kemudian, terjadi pergeseran yang cukup signifikan. Masyarakat yang tadinya menggunakan angkutan umum beralih ke sepeda motor.
“Pengguna sepeda motor 61,2 persen,” jelas Ismail, di Jakarta, kemarin.
Politisi PKS ini menyebut, pengguna sepeda motor terus meningkat. Pada 2018, jumlahnya mencapai 68,3 persen. Sedangkan pengguna angkutan umum terus menyusut.
“Penguna angkutan umum hanya sekitar 6,9 persen,” katanya.
Menurut Ismail, kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan, seperti aturan Ganjil-Genap, kurang ampuh. Malah menimbulkan efek tak terduga.
“Karena, ternyata orang tidak bergeser ke transportasi publik. Tapi memilih ke sepeda motor,” kata Ismail.
Pilihan tersebut, lanjut Ismail, cukup logis. Sebab selain tidak terkena aturan Ganjil-Genap, sepeda motor lebih efektif dan efisien. Dengan modal Rp 500 ribu untuk uang muka (DP), warga bisa membeli motor.
"Dengan menggunakan sepeda motor, mereka bisa lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Tanpa harus mengikuti rute angkutan publik,” ujarnya.
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mengamini naik sepeda motor lebih cepat dan simpel. Sebab, naik transportasi umum masih memakan banyak waktu.
Dia mencontohkan, ketika dirinya hendak ke Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Trubus harus naik-turun dan berganti moda transportasi. Dari rumah, dia naik angkot untuk mencapai Terminal Pulogebang.
“Kemudian saya harus naik Transjakarta turun di Harmoni. Dari Harmoni saya harus turun di kampus Trisakti,” jelasnya.
Selain cukup merepotkan, lanjut dia, banyak waktu yang terbuang. Belum lagi, antrean panjang dan waktu tunggu bus yang lama.
“Jadi harus dibenahi dulu. Seringkali memakai transportasi umum memakan waktunya lebih dari 50 menit,” ujarnya.
Karena itu, menurut Trubus, transportasi umum harus ditata dan dibenahi terlebih dahulu sebelum menerapkan jalan berbayar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat, dalam lima tahun terakhir jumlah sepeda motor di Jakarta terus mengalami peningkatan. Rinciannya, 2017 ada 14.137.126 unit, 2018 ada 15.037.359 unit, 2019 menjadi 15.868.191 unit, 2020 naik menjadi 16.141.380 unit dan 2021 bertambah jadi 16.519.197 unit.
Begitu juga dengan data Electronic Registration Identification (ERI) Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Pada 2022, data ERI Korlantas Polri menyebut, populasi sepeda motor di tanah air mencapai 126.350.426 unit.
Dari angka tersebut, Jawa Tengah menjadi daerah dengan populasi sepeda motor terbanyak. Hingga September 2022, populasi sepeda motor di Jawa Tengah mencapai 17.637.791 unit.
Posisi kedua, Jawa Timur. Wilayah ini tercatat memiliki populasi sepeda motor sebanyak 17.544.577 unit. Jakarta berada di urutan ketiga, dengan populasi sepeda motor mencapai 17.169.643 unit. rm.id
Nasional | 8 jam yang lalu
Pos Tangerang | 19 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 7 jam yang lalu