TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Membaca Ulang Al-Qur’an (6)

Teomorfisme Al-Qur’an (1)

Oleh: Prof. KH. Nazaruddin Umar
Selasa, 28 Maret 2023 | 14:31 WIB
Prof. KH. Nazaruddin Umar
Prof. KH. Nazaruddin Umar

CIPUTAT - Al-Qur’an turun dari langit ke bumi guna memungut manusia yang jatuh ke bumi untuk dikembalikan ke langit. Pembumian Al-Qur’an harus mampu melangitkan manusia.

Jika pembumiannya tidak mampu mengangkat kembali martabat kemanusiaan, maka proses pembumian itu harus ditinjau kembali.

Humanisasi nilai-nilai Al-Qur’an tidak otomatis bahkan tidak boleh diartikan antropocentrisasi Al-Qur’an, yang pada saatnya akan mencabut kesakralan nilai-nilai Al-Qur’an.

Pembumian Al-Qur’an harus dimaknai dalam bentuk pendekatan antropomorfis, yang memandang manusia sebagai makhluk biologis pada satu sisi, dan di sisi lain sebagai makhluk spiritual.

Bukan dalam bentuk pendekatan antroposentris yang membiologi-mutlakkan manusia atau teosentris, sebuah bentuk pendekatan yang serba Tuhan, yang pada saatnya melahirkan pemikiran dehumanisasi manusia.

Antroposentrisme tidak sejalan dengan Islam. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan manusia bukan murni sebagai makhluk biologis sebagaimana halnya hewan dan tumbuh-tumbuhan, melainkan memiliki unsur spiritual dalam bentuk ruh, sebagaimana dikatakan: 

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Q.S. al-Hijr/15:29).

Dalam ayat lain dipertegas lagi: Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". (Q.S. Shad/38:72).

Dengan demikian, manusia tidak bisa disebut makhluk yang lebih terkesan antroposentris, namun tidak benar juga disebut makhluk teosentris.

Penulis setuju dengan istilah S.H. Nasr yang menyebut manusia sebagai makhluk teomorfis. Menurut Nasr, satu-satunya makhluk Tuhan yang teomorfis ialah manusia.

Teomorfisme manusia tentu saja menjadi keutamaan manusia di antara seluruh makhluk. Namun, dibalik keutamaan ini manusia juga memiliki tantangan yang luar biasa.

Manusialah satu-satunya makhluk yang mau dan memiliki kemampuan mengemban amanah besar, ketika seluruh makhluk lainnya menolaknya, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh”. (Q.S. al-Ahdzab/33:72).

Salah satu bentuk teomorfisme manusia ialah di dalam diririnya tergabung dua kekuatan besar, yaitu kekuatan maskulin (quwwah jalaliyah) dan kekuatan feminine (quwwah jamaliyyah), sebuah kombinasi yang tidak dimiliki makhluk lain.

Kombinasi inilah yang memberi kemungkinan sekaligus kemampuan manusia untuk memikul kapasitas sebagai khalifah bumi (khalaif al-ardh).

Namun, menurut S.H.Nasr kombinasi ini juga menjadikan manusia sebagai makhluk eksistensialisme, yakni makhluk yang bisa turun-naik martabatnya di sisi Allah SWT.

Manusia bisa menjadi makhluk termulia (ahsan taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), tetapi manusia juga bisa menjadi makhluk paling hina (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5, Q.S. al-A‘raf/7:179).

Makhluk lain tidak terkecuali malaikat tidak mungkin berdosa karena tidak memiliki quwwah jalaliyyah. Mereka hanya memiliki quwwah jamaliyyah.

Malaikat dan makhluk lainnya hanya bisa merepresentasikan aspek perbedaan dan ketakterbandingan (tanzih) Tuhan, tetapi tidak bisa merepresentasikan aspek keserupaan dan keterbandingan (tasybih)-Nya.

Dengan kombinasi kedua kekuatan yang dimiliki, manusia mampu mencapai maqam "sintesa ketuhanan" (al-jam'yyat al-ilahiyyah). Manusia mampu menampilkan sifat-sifat jalaliyyah disamping sifat-sifat jamaliyyah Tuhan.

Tidak heran jika manusia mampu mencapai ma'rifah tingkat lebih tinggi, yaitu maqam Qaba Qausain, dan selanjutnya ke maqam Adna, sebagaimana diilustrasikan dalam ayat: 

Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi), lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan, hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya, maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (Q.S. Al-Najm/53:7-14).

Manusia sesungguhnya dalam fitrahnya sudah memahami dan sekaligus menyadari sepenuhnya setiap akibat atau kenyataan apapun yang menimpa dirinya merupakan konsekwensi dirinya sebagai makhluk yang menjadi locus/madhhar Allah SWT.

Tidak mungkin manusia secara kolektif bersih dari dosa seperti halnya malaikat. Manusia sengaja diciptakan sebagai locus/madhhar sejumlah Nama Indah Tuhan (al-Asma’ al-Husna’).

Sebagai contoh, Allah SWT mempunyai nama Maha Pencipta (al-Khaliq) dan Maha Pemberi (al-Wahhab). Sulit kita bayangkan Allah SWT Maha Pencipta dan Maha Pemberi tanpa ada makhluk dan obyek yang akan menerima pemberian.

Demikian pula Allah Maha Penerima Taubat (al-Tawwab), Maha Pengampun (al-Gafur), dan Maha Pemaaf (al-'Afuw). Sulit dimengerti asma' yang demikian tanpa ada makhluk pendosa.

Mungkin dari sisi ini Rasulullah pernah menjelaskan dalam hadisnya:

"Seandainya semua manusia tidak ada lagi yang berdosa maka Allah SWT  pasti akan menciptakan makhluk lain yang berdosa”.

Tanpa makhluknya yang berdosa berarti Tuhan Maha Mengampun, Maha Penerima taubat, dan Maha Pemaaf hanya akan menjadi wacana tanpa bukti, sementara Allah SWT Maha Sempurna dengan segala nama dan sifat-Nya.

Tidak heran jika manusia mampu mencapai ma'rifah tingkat lebih tinggi, yaitu maqam Qaba Qausain, dan selanjutnya ke maqam Adna, sebagaimana diilustrasikan dalam ayat:

Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi), lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan, hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya, maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (Q.S. Al-Najm/53:7-14).

Manusia sesungguhnya dalam fitrahnya sudah memahami dan sekaligus menyadari sepenuhnya setiap akibat atau kenyataan apapun yang menimpa dirinya merupakan konsekwensi dirinya sebagai makhluk yang menjadi locus/madhhar Allah SWT.

Tidak mungkin manusia secara kolektif bersih dari dosa seperti halnya malaikat. Manusia sengaja diciptakan sebagai locus/madhhar sejumlah Nama Indah Tuhan (al-Asma’ al-Husna’).

Sebagai contoh, Allah SWT mempunyai nama Maha Pencipta (al-Khaliq) dan Maha Pemberi (al-Wahhab). Sulit kita bayangkan Allah SWT Maha Pencipta dan Maha Pemberi tanpa ada makhluk dan obyek yang akan menerima pemberian.

Demikian pula Allah Maha Penerima Taubat (al-Tawwab), Maha Pengampun (al-Gafur), dan Maha Pemaaf (al-'Afuw). Sulit dimengerti asma' yang demikian tanpa ada makhluk pendosa. Mungkin dari sisi ini Rasulullah pernah menjelaskan dalam hadisnya:

“Seandainya semua manusia tidak ada lagi yang berdosa maka Allah SWT  pasti akan menciptakan makhluk lain yang berdosa”.

Tanpa makhluknya yang berdosa berarti Tuhan Maha Mengampun, Maha Penerima taubat, dan Maha Pemaaf hanya akan menjadi wacana tanpa bukti, sementara Allah SWT Maha Sempurna dengan segala nama dan sifat-Nya.

Perlu ditegaskan, bahwa meskipun manusia ditakdirkan untuk berdosa, tapi tidak bisa dijadikan alasan pembenaran dosa.

Memang Allah SWT al-Gafur, al-Tawwab, dan al-'Afuw, tetapi Allah SWT juga Maha Pembalas (al-Muntaqim) dan Maha Adil (al-'Adl). Siapa tahu bukan diri kita yang didatangi Tuhan bukan sebagai al-Tawwab, al-Gafur, dan al-'Afuw, maka malapetaka bagi kita.

Jika kita sudah telanjur berdosa, maka Allah SWT berhak membuka pintu maaf bagi yang dikehendakinya. Siapa yang dikehendaki untuk dimaafkan dan tidak dimaafkan, hanya Allah SWT yang Maha Tahu.

Karena itu, manusia tidak boleh bermain-main dengan dosa dan harus menjauhi dosa jika ingin selamat dunia dan akhirat.

Kekhususan dan keistimewaan manusia membuat manual khusus tata cara menjalani kehidupan sebagai makhluk teomorfis.

Manual itu terhimpun rapi di dalam Kitab Suci Al-Qur’an ditambah dengan penjelasannya berupa perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad Saw, atau bahkan menganugrahkan hambanya sebuah inspirasi cerdas dalam bentuk ilham (Devine Knowledge). (Bersambung)

Komentar:
Berita Lainnya
Foto : Ist
Ekonomi Global Diterjang Badai
Sabtu, 20 April 2024
Dahlan Iskan
Nilai 70
Jumat, 19 April 2024
Dahlan Iskan
Nilai Nol
Kamis, 18 April 2024
Dahlan Iskan
Perang Bukan
Rabu, 17 April 2024
Dahlan Iskan
Drone Khandaq
Selasa, 16 April 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo