TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pengurusan Surat Kematian Di Medan

Keterlaluan, Direktur KPK Jadi Sasaran Pungli Lurah

Laporan: AY
Kamis, 30 Maret 2023 | 13:07 WIB
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief. (Ist)
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief. (Ist)

JAKARTA - Aksi pungutan liar atau pungli Lurah di Kota Medan sungguh keterlaluan. Tak pandang bulu. Bahkan berani meminta uang kepada Pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief mengaku pernah mengalami pungli saat urus surat kematian sang ibu. Amir men­gaku ditodong Rp 20 ribu ketika mengurus surat di kelurahan di Kota Medan, Sumatera Utara.

Amir menuturkan hal tersebut dalam acara Sosialisasi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang, Senin 27 Maret 2023. Amir mengaku kejadian itu terjadi pada tahun 2021

“Tahun lalu, saya pulang kampung ke Medan. Tahun 2021 ibu saya meninggal di Medan, pulang kampung lah saya. Hari ketiga setelah pemakaman, saya mau urus surat keterangan kematian ke lurah. Lurah (di) Kota Medan,” ujar Amir mengawali cerita.

Amir datang ke kantor Kelurahan sekitar pukul 11.00 WIB. Suasana di kantor tersebut ternyata sepi. Menurut Amir, saat itu hanya ada petugas keamanan dan petugas bagian pengetikan.

Amir menuturkan, petugas pengetikan sempat bertanya tu­juan datang ke Kelurahan. Amir pun menyampaikan hajatnya mendatangi kantor tersebut.

Oleh petugas pengetikan, Amir disarankan meminta tanda tangan lurah secara langsung ketika lurah tiba. Amir meminta sang adik untuk menjalankan saran dari petugas pengetikan.

“Ibu tadi yang tukang ketik ngomong ke saya, ‘Bang, kalau mau urus surat kayak gini minta tanda tangan jangan kami yang urus, Abang sendiri yang minta’. Suratnya cuma satu lembar. Saya masuk ke ruangan, saya panggil adik saya.

‘Dah kamu aja yang masuk, deh, tunggu aja lurahnya bentar lagi datang’,” tutur Amir.

Amir menunggu lama hingga akhirnya sang lurah tiba di kan­tor sekitar pukul 15.00 WIB. Saat datang, sang lurah pun sempat mempertanyakan kedatangan Amir dan adiknya

“Saya keluar, saya lihat dari pintu datanglah ibu-ibu, ibu lurah. Dia lihat saya, bilang, ‘ada mau urus apa, Bang?’ Adik saya jelasin ‘saya mau urus surat kematian’. Cepat saja tuh tanda tangan, lima menit jadi tanda tangan. Adik saya lalu beranjak dari kursi, baru setengahberanjak bu lurah langsung teriak

‘Kok gitu saja, Bang?’,” kata Amir.

Amir tak mengetahui maksud lurah berkata. Amir sempat ber­tanya kepada petugas pengetikan soal maksud dari pernyataan lu­rah ‘kok gitu saja Bang’. Petugas pengetikan menyarankan agar menaruh uang ke laci meja kerja sang lurah.

Amir pun lantas bertanya langsung kepada ibu lurah.

"Saya tanya ‘berapa?’, ‘Rp 20 ribu’ (jawabnya),” kata Amir

“Mengurus surat keterangan kematian bayar Rp 20 ribu, tahun 2021, 76 tahun Indonesia merdeka, kita masih menga­lami itu. Saya sendiri yang mengalami. Salah orang kali,” Amir miris.

Dia menduga ada beberapa pe­nyebab lurah itu masih melaku­kan pungli. Padahal, menurut Amir, gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kota Medan tiga terbe­sar di Indonesia.

“Pertama, sebabnya, bisa jadi karena anggaran nggak mencukupi, manajemen anggaran buruk, terlalu banyak kegiatan yang enggak banyak anggaran,” kata Amir.

Dugaan kedua, sedang kejar setoran untuk mengembalikan modal. Amir yang pernah men­jadi penyelidik kerap menemui kasus serupa.

“Saya dulu penyelidik, men­gapa ada pegawai negeri terima uang Rp 20 ribu setiap pelayan­an, karena dia harus balik modal, karena duduk di jabatan itu dia harus bayar, dan itu terbukti di beberapa Pemda, di beberapa kepala daerah ternyata begitu dia dapat jabatan, memanfaatkan kewenangan untuk kepentingan sendiri,” paparnya.

Dia mencontohkan beberapa kasus yang ditangani KPK. Pungli jabatan di pemerintahan hingga saat ini masih ada.

“Beberapa bupati di Jateng, di Jatim, yang kita tangkap tahun lalu, memulung dari guru-guru yang mau jadi kepala sekolah negeri. Guru yang mau jadi kepala sekolah negeri bayar Rp 60 juta, dari mana (duitnya)? Akhirnya apa? (Menerima) gratifikasi dari orang tua murid dan dana BOS,” urai Amir.

“Kemudian, yang kita tangkap dokter yang mau jadi kepala Puskesmas bayar Rp 125 juta, mau jadi Kadis PUPRyang basah bayarnya sampai Rp 500 juta, yang bayar kontrak­tor, akhirnya dari gratifikasi,” pungkas Amir.

Menyikapi hal ini, Wali Kota Medan Muhammad Afif Bobby Nasution sudah menekankan jajarannya agar tidak melaku­kan pungli.

“Pokoknya, jangankanDirektur KPK, seluruh masyarakat Kota Medan, nggak boleh dipungli,” tegas menantu Presiden Jokowi itu. rm.id

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo