Ini Kata Jubir Kemenkeu Yustinus Prastowo, Soal Pengalaman Tak Enak Soimah Dengan Petugas Pajak

YOGYAKARTA - Juru Bicara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yustinus Prastowo menyampaikan tanggapan atas curhat artis Soimah Pancawati via kanal YouTube Blakasuta, kepada seniman Butet Kertaradjasa dan Kepala Suku Mojok Puthut EA, mengenai pengalaman tak menyenangkan saat berurusan dengan petugas pajak.
Prastowo menilai, ekspresi Soimah saat curhat, sangat lugas. Soimah tampak emosional ketika bicara pajak.
"Kesan saya, ada pengalaman tak mengenakkan yang membekas. Saya bisa memahami. Dia, seperti pengakuannya, hanya seniman yang berusaha bekerja keras, lalu meraup penghasilan miliaran. Apa yang salah? Tentu tak ada!" tutur Prastowo melalui akun Facebook pribadinya, Sabtu (8/4).
Menurutnya, Soimah atau siapa pun, pantas marah jika memang diperlakukan tak baik. Karena Undang-Undang meletakkan hubungan setara antara petugas pajak dan wajib pajak, sebagai pilar penting sistem perpajakan Indonesia.
Sejujurnya, Prastowo mengaku dihantui rasa bersalah dan gelisah mendengar curhatan ini. Dia khawatir, persediaan pengampunan dari publik kian menipis.
Prastowo ketar-ketir, pelanggaran atau penyimpangan macam mana lagi, yang akan terungkap.
Namun, sebelum meminta maaf secara tergesa, Prastowo memilih mundur sejenak, tenang meneliti, menggali, dan merekonstruksi.
Saya geledah ingatan para pejabat dan pegawai yang pernah terlibat, bertugas di KPP Pratama Bantul. Saya ikut membongkar arsip, catatan, korespondensi, dan berbagai tindakan. Saya coba teliti dan telaten, satu per satu diurai, lalu dibangun kembali konstruksi kasusnya," beber Prastowo.
Berikut poin-poin keluhan Soimah melalui kanal YouTube Blakasuta, beserta penjelasan Prastowo yang disampaikan lewat akun Facebook, Sabtu (8/4):
1. Soimah curhat pengalaman tak mengenakkan, saat membeli rumah seharga Rp 430 juta dengan cara mencicil langsung kepada penjualnya.
Begitu lunas, Soimah pun pergi ke notaris. Tapi, nggak deal dari sisi perpajakan.
"Menurut pajak, rumah di situ harganya Rp 650 juta. Jadi, dikiranya saya menurunkan harga. Padahal, deal-dealan nya ada. Notanya ada. Soimah dibilang nggak mungkin beli rumah harga Rp 430 juta. Memang ada ukurannya, Soimah harus beli rumah miliaran rupiah?"ungkap Soimah.
Tanggapan Prastowo:
Mengikuti kesaksiannya di Notaris, patut diduga yang berinteraksi adalah petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah (Pemda), yang berurusan dengan balik nama dan pajak-pajak terkait Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), ang merupakan domain Pemda.
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) biasanya hanya memvalidasi. Jika pun ada kegiatan lapangan, itu adalah kegiatan rutin untuk memastikan, nilai yang dipakai telah sesuai dengan ketentuan. Harga pasar yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
"Tentu, ini perlu dikonfirmasi ke pengalaman Soimah sendiri. Jika ada yang gebrak meja, jangan-jangan ini pemilik Soto Gebrak Madura yang kita sangka sedang marah, padahal ramah," ujar Prastowo.
2. Soimah mengaku kerap dituding sengaja menghindari petugas pajak, karena selalu tidak ada di rumah Yogyakarta. Faktanya, Soimah kerja di Jakarta. Jadi, jarang di Yogyakarta.
"Jadi posisi saya sering di Jakarta, alamat KTP kan di tempat mertua saya, selalu didatangi, bapak selalu dapat surat, bapak kan kepikiran, nggak ngerti apa-apa. Datang orang pajak ke tempat kakak saya, kakaknya Mas Koko (suaminya), bawa debt collector, dua. Gebrak meja. Itu di rumah kakak saya," beber Soimah.
"Saya dibilang nggak mau menemui. Kakak saya dianggap menyembunyikan saya. Padahal, saya kan di Jakarta, kerja. Tiap hari, saya kan live di TV. Kelihatan," sambungnya.
Tanggapan Prastowo:
"Kenapa membawa debt collector? Bagian ini saya belum paham betul, berusaha mengunyah," ucap Prastowo.
Dia menjelaskan, menurut UU, Kantor Pajak sudah punya debt collector, yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Mereka bekerja dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas: ada utang pajak yang tertunggak.
"Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tak ada utang pajak, lalu buat apa didatangi sambil membawa debt collector?" papar Prastowo.
Bagi JSPN, tak sulit menagih tunggakan pajak tanpa harus marah-marah. Dia bisa menerbitkan Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, memblokir rekening, lalu melelang aset atau memindahkan saldo rekening ke kas negara.
"Kesaksian semua petugas pajak yang berinteraksi, mereka tak pernah bertemu Soimah. Hanya keluarga atau penjaga rumah," ucap Prastowo.
"Terakhir dengan konsultan pajak. Patut diduga, ini bersumber dari cerita pihak lain, yang merasa gentar dan gemetar. Lagi-lagi, saya berprasangka baik dan sangat ingin mendudukkan ini, dalam bingkai pencarian kebenaran yang semestinya," lanjutnya.
Soimah cerita pengalamannya saat bangun pendopo. Dia bilang, pendopo belum jadi, orang pajak sudah keliling.
"Dari jam 10 pagi sampai 5 sore, orang pajak ngukur pendopo. Jendela, tiang diukur. Direkam, difoto. Nah foto2 mereka juga saya simpan. Masih ada wajah-wajah yang ngukurin," urai Soimah.
"Waktu itu saya lagi di Jakarta, dapat laporan. Iki wong pajak opo tukang? Ngukur-ngukur. Akhirnya pendopo saya di-appraisal hampir Rp 50 miliar. Padahal, saya aja belum tahu pembangunannya bakal habis berapa. Wong belum rampung," imbuhnya.
Tanggapan Prastowo:
Petugas masuk rumah melakukan pengukuran pendopo dan mengecek detail bangunan adalah kegiatan normal, yang didasarkan pada surat tugas yang jelas.
"Memang, membangun rumah tanpa kontraktor dengan luas di atas 200 m2 terutang PPN 2 persen dari total pengeluaran," jelas Prastowo.
Dia bilang, UU mengatur ini justru untuk memenuhi rasa keadilan, dengan konstruksi yang terutang PPN.
Petugas pajak bahkan melibatkan penilai profesional, agar tak semena-mena. Maka, kerjanya pun detail dan lama, tak asal-asalan.
Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp 4,7 M, bukan Rp 50 M seperti diklaim Soimah. Dalam laporannya sendiri, Soimah menyatakan pendopo itu nilainya Rp 5 M.
Penting dicatat, kesimpulan dan rekomendasi petugas pajak tersebut bahkan belum dilakukan tindak lanjut. Artinya, PPN terutang 2 persen dari Rp 4,7 M itu sama sekali belum ditagihkan," terang Prastowo.
3. Soimah cerita, Maret lalu, dia diingatkan untuk segera melaporkan SPT Pajak, dengan bahasa yang kurang sopan.
"Bahasanya nggak manusiawi, kayak ngoyak-ngoyak maling. Ya sebentarlah, saya kan lagi di Yogya. Nota-notanya sebagian di Jakarta. Sabar. Bandaku (harta saya, Red) jelas. Nggak ada yang ditutupi," ucap Soimah.
Tanggapan Prastowo:
"Saya pun sudah mendengarkan rekaman percakapan Soimah dan juga chat WA dengan petugas pajak. Duh…saya malah kagum dengan kesabaran dan kesantunan pegawai KPP Bantul ini," tutur Prastowo.
Meski punya kewenangan, kata Prastowo, petugas pajak tak sembarangan menggunakannya. Mereka hanya mengingatkan, bahkan menawarkan bantuan, jika Soimah kesulitan.
"Ternyata, itu dianggap memperlakukan seperti maling, bajingan, atau koruptor. Hingga detik ini, pun meski Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan teguran resmi, melainkan persuasi," paparnya.
4. Soimah menyampaikan uneg-uneg terkait pelaporan pajak, yang membuatnya repot mengumpulkan nota. Karena apa-apa pakai nota.
Tanggapan Prastowo:
"Itu ada Undang-Undang dan aturannya. Tapi, saya menjadi tak bijak. Saya hanya ingin bilang, Soimah mesti bersyukur penghasilannya cukup tinggi, sehingga menurut UU Pajak, sudah harus menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung pajak," cetus Prastowo.
Menurutnya, yang tahu semua ini ya Soimah. Berapa uang yang didapat, berapa biaya dikeluarkan. Rumit dan ribet?
"Iya juga sih. Tapi itulah konsekuensi aturan dan administrasi agar adil," kata Prastowo, yang juga mantan pengamat perpajakan.
Karena UU tak bisa membedakan orang per orang, maka dibuat standar yang dijalankan jutaan orang wajib pajak.
Mungkin ada benarnya kata seorang pakar, "pajak itu hal tak mengenakkan yang harus ada supaya negara tetap berdiri tegak". Begitu kata Prastowo.
Untuk itulah, disediakan standar akuntansi, aplikasi pembukuan, jasa akuntasi, jasa konsultan dan lainnya.
"Memang tak mudah, tapi bisa dipelajari. Kantor Pajak pun menyediakan bimbingan dan konsultasi, selain jasa praktisi yang profesional dan terjangkau," ujar Prastowo, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang pernah didaulat menjadi pegawai berprestasi di masa Dirjen Pajak M Tjiptardjo.
Kembali ke Soimah. Prastowo sebetulnya sudah berniat mencari dan bicara dengan Soimah sejak sebulan lalu, ketika Tik Toknya menyebar.
"Ucapannya sangat nyelekit, menusuk jantung kesabaran. Lagi-lagi saya tak tersinggung, tapi justru ingin berdialog hati ke hati. Sayang sulit sekali menjangkaunya," ungkap pria kelahiran Gunung Kidul 4 April 1970.
Dia pun mencoba bertanya ke Romo Sindhunata, budayawan yang tinggal di Jogja dan mentor Soimah. Kebetulan, Prastowo bersahabat dan cukup dekat dengan Romo Sindhu. Hasilnya nihil, karena Romo Sindhu ternyata sudah lama tak berinteraksi dengan Soimah.
"Hingga saya bertanya pada kolega, termasuk salah satu petinggi di Emtek, yang membawahi Indosiar. Akhirnya ada podcast Blakasuta ini. Sebuah dialog yang amat kaya, otentik, renyah," ujarnya.
Prastowo mengaku tak ingin mendebat Soimah. Karena menurutnya, luka batin itu hanya bisa dibasuh oleh Soimah sendiri. Ketika sanggup berdamai dengan realitas yang kadang tak hitam putih. Layaknya dunia seni.
Di mata Prastowo, Soimah adalah seniman yang sudah matang bertumbuh kembang dalam falsafah Jawa.
Barangkali ini sekelumit pengejawantahan seloka ‘jer basuki mawa bea’, atau ‘ana rega ana rupa’.
"Pemerintah tentu berterima kasih kepada para pembayar pajak, termasuk Soimah. Berkat kontribusi Anda, kita bisa membangun dan melakukan banyak hal baik. Saya pun ingin berempati pada petugas pajak, khususnya di KPP Bantul," ujar Prastowo.
Dia bilang, terlepas soal target, Bantul bukanlah Jakarta Pusat yang penuh bangunan mentereng dan orang super tajir.
Teman-teman di sana, berusaha menjalankan tugas, yang setelah saya telisik, sesuai aturan dan kepatutan.
"Bisa saja ada oknum petugas yang bertindak tak pantas, meski dari rangkaian kesaksian, ingatan, dan catatan – tak ada alasan untuk harus melakukan tindakan itu," tutur Prastowo.
"Pak Slamet Sutantyo, Plt Kakanwil Pajak Yogyakarta, tak segan meminta maaf jika ada kesalahan seperti itu," imbuhnya.
Prastowo mengaku sudah menghubungi seniman Butet Kertaredjasa, yang menyediakan diri menjadi penengah yang baik.
Kata dia, Butet sudah mengajak pihak KPP dan Soimah duduk bareng, ngobrol hati ke hati. Tak perlu masing-masing merasa yang (paling) benar. Tapi ngobrol enak, sambil gojekan, mengenang interaksi masa lalu, sambil mengungkapkan harapan buat ke depan.
Sambung rasa yang lebih manusiawi, seperti kata Soimah.
"Menurut teman di KPP, sejak 2015 itu, mereka bahkan belum pernah berhasil bertatap muka dengan Soimah. Duh, tentu akan jadi momen yang mengharukan, jika seniman serba bisa kebanggan kita ini sudi ngobrol hati ke hati. Pasti para pegawai berebut selfie. Betapa dahsyat dampaknya. Wawuh! Soimah Gugat yang berujung pada solusi menang-menang," papar Prastowo.
Kantor Pajak perlu terus andhap asor, rendah hati dalam menjalan tugas. Sebaliknya, wajib pajak pun perlu memahami, saat ini pemerintah sudah banyak melakukan perubahan. Sehingga, tak beralasan untuk menghindari.
Kepanjangan pajak itu: pasti aman jika ada komunikasi! Witing tresna jalaran saka kulina (awal mula cinta adalah perjumpaan). Jika perjumpaan itu dapat segera dilakukan, tentu amat baik.
Pada akhirnya ini soal rasa. Syukur-syukur di bulan penuh berkah ini. Ditutup buka bersama di rumah Mas Butet. Gayeng regeng. Sluman slumun slamet. Bahkan kalau berkesempatan, saya pun sangat ingin bergabung. Lalu dipungkasi tawa renyah, dan Mas Butet menutupnya dengan slogan khasnya: uasuwoookkk!!!" pungkas Prastowo. rm.id
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu