Riwayat Tumbal Dan Pengorbanan
DALAM ritual pengorbanan, terutama pengorbanan hewan dan manusia, darah diyakini sebagai inti kekuatan hidup yang disucikan. Melalui darah yang dialirkan, maka ruh Tuhan dianggap hidup, dan karenanya ruh manusia dan alam semesta juga hidup. Dengan mengalirkan darah, seakan-akan manusia memberi atau “menyuap” Tuhan dan Dewa, agar mereka tidak marah dan murka. Berbagai kajian sejarah dan antropologi mencatat bahwa segala bentuk ritual kurban di masa lalu berkaitan dengan kesuburan, penyucian diri, dan penebusan dosa.
Kurban persembahan harus disesuaikan dengan selera dewata, serta tujuan dari pelaku ritual. Dewa tertentu hanya cocok dengan tradisi kurban tertentu. Secara antropologis, ritual kurban merupakan bentuk persembahan manusia kepada sesuatu yang dianggap sakral dan adikodrati. Ia dianggap memiliki kekuatan dahsyat yang berada di luar nalar dan pikiran manusia. Melalui kurban, manusia berharap mendapat perlindungan dan keselamatan dari Dzat yang maha dahsyat tersebut.
Para antropolog menunjukkan beberapa ritual yang mengorbankan manusia (human sacrified). Misalnya di Irak, di daerah Qan’an terdapat upacara persembahan kepada Dewa Baal, yang menuntut pengorbanan seorang anak bayi. Menurut keyakinan masyarakat setempat, jika Dewa Baal marah, maka akan meminta pengorbanan banyak nyawa bayi. Daripada banyak nyawa yang jadi korban, lebih baik mengorbankan satu bayi untuk meredam kemarahan sang Dewa. Di Meksiko, Suku Aztec yang memuja matahari, mempersembahkan jantung dan darah manusia yang masih segar kepada Dewa Matahari. Di pusat ibukota Aztec (Tenochtitlan), jika kemarau panjang, biasanya diprsembahkan seorang anak remaja sebagai tumbal bagi Tlaloc (Dewa Hujan), agar segera menurunkan hujan.
Pada tradisi masyarakat Yunani Kuno, binatang berwarna hitam dipersembahkan bagi para Dewa yang menjaga Dunia Kegelapan. Kuda-kuda yang berlari cepat disembelih untuk dipersembahkan pada Dewa Matahari, Helios. Babi yang sedang hamil dipersembahkan kepada Demeter selaku Dewa Bumi. Dalam tradisi Mesir kuno, gadis cantik dikorbankan dan dibuang di Sungai Nil sebagai persembahan untuk Dewi Nil, sebab jika dia murka maka bencana alam dan banjir akan segera datang. Juga pada masyarakat Viking di Eropa Timur, persembahan untuk Dewa Perang, justru dikorbankan seorang tokoh agama kepada Odion (Dewa Perang) agar mendapat kemenangan dalam mempertahankan negeri.
Itulah beragam catatan sejarah tentang ritual korban yang seluruhnya dipersembahkan untuk Dewa dan Tuhan yang diyakini. Dengan kata lain, Dewa dan Tuhan mereka, harus diperlakukan sebagai monster serakah yang kelaparan, serta menuntut kepuasan dengan menenggak darah kurban persembahan. Mereka dilukiskan sebagai raksasa pemarah yang selalu mengancam kehidupan manusia. Amarahnya harus diredam melalui kurban dan persembahan. Bahkan, tidak jarang Sang Dewa berwatak kejam dengan meminta darah dari anak laki-laki terbaik, atau justru perawan yang sama sekali tak pernah terjamah oleh seorang laki-laki.
Transformasi kurban
Persembahan hewan kurban di hari Idul Adha, telah merevolusi konsep ritual kurban (tumbal) yang telah berjalan berabad-abad di tengah masyarakat tradisional. Ketika Nabi Ibrahim, Bapak Tauhid bagi umat Yahudi, Nasrani, dan Islam, hendak mengorbankan putera tercintanya Ismail, Allah memerintahkan agar menggantinya dengan seekor domba gemuk.
Dalam sejarah Islam, kita mengenal riwayat Abdullah, ayah Nabi Muhammad yang nyaris dikorbankan oleh ayahnya Abdul Muthallib, karena ia pernah bernazar untuk mempersembahkan putera bungsunya untuk Sang Maha Kuasa. Polemik berkecamuk dalam pikiran Abdul Muthallib, hingga para saudara-kerabatnya mengusulkan agar mengganti pengorbanan anaknya dengan menyembelih seratus ekor unta.
Bentuk kurban yang mengalami transformasi di era kenabian Ibrahim hingga Muhammad, tidak menghilangkan ruh dan spirit pengorbanan sama sekali, melainkan hanya mengubah format ritual dan benda yang dikorbankan. Kurban manusia sebagai tumbal telah ditiadakan, kemudian berganti dengan hewan, makanan maupun hasil-hasil pertanian dan perkebunan.
Dalam teks-teks Alquran, secara tersirat tradisi kurban dikisahkan sejak zaman Nabi Adam, ketika ia memerintahkan kedua puteranya (Qabil dan Habil) agar mempersembahkan kurban dari sesuatu yang terbaik, yang mereka cintai. “Ceritakanlah (Muhammad) tentang kisah kedua putra Adam, ketika mereka mempersembahkan kurban, maka amalan yang satu diterima (Habil), sedangkan amalan yang lainnya tak diterima (Qabil). Lalu, Qabil mendengki dan mengancam akan membunuh Habil, kemudian Habil menjawab, ‘Jika kau akan membunuhku, aku tak akan membalas untuk membunuhmu, karena aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Maidah: 27-28).
Beberapa abad kemudian, perintah kurban itu mengejawantah dalam mimpi Nabi Ibrahim, yang diperintahkan Allah agar melaksanakan kurban. Perintah kurban itu memiliki esensi sama, yakni menuntut sesuatu yang paling dicintai untuk dikorbankan. Lalu, apakah atau siapakah yang paling dicintai oleh Ibrahim? Tak lain dan tak bukan, adalah anak kandungnya sendiri dari istrinya Siti Hajar, yakni Ismail.
Ibrahim mengabarkan pada Ismail tentang perintah Allah dalam mimpinya, lalu Ismail dengan pasrah menyanggupinya. Pada detik-detik terakhir pengorbanan itu, Allah justru memerintahkan Ibrahim agar mengganti anak yang dicintainya itu, dengan sembelihan seekor domba yang gemuk.
Dalam ajaran Islam, hewan kurban yang disembelih dan darahnya dialirkan ke tanah, dagingnya bukan untuk dibuang secara sia-sia (mubazir), juga bukan untuk sajian yang dinikmati Allah, melainkan untuk dinikmati manusia sebagai hamba-Nya. Allah tidak mengunyah daging domba, juga tak pernah haus hingga membutuhkan darah hewan yang disembelih. Keimanan dan ketakwaan dalam ibadah kurban tidak diwujudkan dengan memberi daging dan darah kepada Allah. Yang diperintahkan bagi hamba-Nya hanyalah berbakti, serta berbagi untuk orang-orang tak mampu, baik keluarga, saudara-kerabat hingga fakir-miskin.
Berbagi dengan mereka yang tersingkirkan, yang menikmati setusuk sate adalah sebuah kemewahan, di saat segelintir orang mampu menggelar pesta glamor yang menghabiskan dana milyaran. Dalam surah al-Hajj ayat 37, Allah berfirman: “Daging dan darah korban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah kualitas ketakwaanmu.”
Terkait dengan itu, Gus Dur pernah menandaskan bahwa “Tuhan tak perlu dibela”. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Tuhan tak perlu diberi makan karena Dia tak pernah kelaparan. Tuhan tak perlu disiapkan hidangan minuman darah, karena Dia tak pernah haus darah. Yang butuh bantuan makanan dan minuman adalah mereka yang membutuhkan. Untuk itu, sungguh naïf mereka yang berteriak-teriak membela Tuhan, namun perilakunya justru mengorbankan manusia dan kemanusiaan.
Warna-warni kurban
Kisah Nabi Ibrahim dengan putera tercintanya, kemudian menjadi cermin bagi ritual kurban yang dijalankan umat Islam hingga saat ini. Dalam konteks masyarakat Islam Nusantara, ritual kurban yang berasal dari ajaran agama (dorongan spiritual), akhirnya melahirkan berbagai bentuk tradisi yang menyertai pelaksanaan kurban Idul Adha, misalnya tradisi Meugang di Aceh, Apitan di Semarang, Gamelan Sekaten di Surakarta, Grebeg Gunungan di Yogyakarta, Manten Sepu di Pasuruan, Toron dan Nyalasi di Madura, Ngejot di Bali, Accera Kolompoang di Gowa, Kaul Negeri dan Abdau di Maluku Tengah dan seterusnya.
Semua tradisi yang dilakukan itu merupakan bentuk akulturasi budaya yang berfungsi untuk mengaktualisasi nilai-nilai ajaran Islam. Adanya berbagai bentuk tradisi itu membuktikan bahwa kurban, di samping sebagai ajaran agama (ritual) tetapi juga merupakan instrumen untuk menjalin kekerabatan dan solidaritas sosial.
Jadi pada prinsipnya, Islam telah mentransformasi konsep kurban (tumbal) yang diniatkan sebagai ketundukan dan kepasrahan pada Allah, Tuhan semesta alam. Transformasi ini meliputi bentuk kurban yang diutamakan atau obyek yang dipersembahkan. Maka, terjadinya transformasi ritual ini sejalan dengan perkembangan peradaban manusia.
Semakin sempurna suatu sistem keyakinan, maka akan semakin beradab perikehidupan umat manusia. Untuk itu, melalui ajaran Islam, bentuk-bentuk kurban yang tidak manusiawi di masa lalu, kini telah diatur secara lebih beradab dan lebih berperikemanusiaan.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 21 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Ekonomi Bisnis | 2 hari yang lalu