Bayar Klaim Nasabah Eks Jiwasraya Rp 8,66 T
IFG Life Pulihkan Public Trust Terhadap Asuransi
JAKARTA - Pembayaran klaim nasabah eks-Jiwasraya oleh PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) diyakini akan memberikan dampak positif. Salah satunya, dapat memulihkan kepercayaan publik (public trust) terhadap industri asuransi.
Per Juli 2023, IFG Life, perusahaan asuransi jiwa di bawah naungan Holding BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Asuransi, Penjaminan dan Investasi, telah membayar klaim senilai Rp 8,66 triliun kepada para nasabahnya.
Angka ini bertambah 2,73 persen dibandingkan realisasi pembayaran klaim per Juni 2023, yang tercatat mencapai Rp 8,43 triliun.
IFG Life menargetkan, tahun ini bisa menyelesaikan seluruh pembayaran klaim kepada nasabah eks-Jiwasraya.
Menurut Analis Senior Bidang Perasuransian serta Arbiter Badan Mediasi & Arbitrase Asuransi Indonesia Irvan Rahardjo, penyelesaian klaim seluruh nasabah eks-Jiwasraya memang harus diselesaikan secepatnya. Dia meyakini, penyelesaian masalah klaim ini bisa menimbulkan kembali kepercayaan nasabah terhadap asuransi.
“Khususnya (menunjukkan) komitmen Pemerintah terhadap penyelesaian kasus tersebut,” kata Irvan kepada Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Grup) kemarin.
Selain itu, hal tersebut bisa menjadi langkah baik bagi IFG Life khususnya dalam meningkatkan usahanya kepada nasabah.
Irfan melihat, IFG Life mampu mewujudkan perusahaan asuransi yang kuat, menguntungkan dan berkelanjutan.
Dalam menjalankan bisnis perusahaan, lanjut Irvan, IFG Life perlu menerapkan sejumlah standardisasi. Selain menawarkan produk asuransi yang mampu menjawab kebutuhan pasar, IFG Life harus berorientasi pada penerbitan produk dengan manfaat yang realistis, serta berkelanjutan.
Lebih jauh ia menekankan, permasalahan utama bisnis asuransi adalah Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola usaha asuransi.
Artinya, pembenahan usaha asuransi harus didahului oleh niat baik para pelaku usahanya, meski peran pengawasan lembaga resmi semacam OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tentu tak bisa dikesampingkan.
Sebagaimana diketahui, beberapa tahun terakhir masyarakat dikejutkan oleh kasus yang menimpa industri asuransi di Indonesia. Sebut saja kasus Bakrie Life, Bumiputera, Jiwasraya, ASABRI, Kresna Life, dan kasus terakhir yang menimpa Wana Artha Life.
Dalam kasus ini, Irfan menilai kesalahan terjadi dari internal perusahaan industri alias oknum. Pasalnya selama ini, imbuh Irvan, OJK telah melaksanakan tugasnya sebagai pengawas sesuai amanat undang-undang. Ditambah lagi ada pengawasan dari organ perusahaan dan instansi Pemerintah yang dilalukan secara berlapis.
“Namun masih juga terjadi perusahaan asuransi yang gagal bayar,” ujar Irvan.
Karena itu dia menekan, pentingnya perbaikan sikap mental para pelaku bisnis asuransi. Mulai dari agen hingga level direksi harus menjadi lebih baik. Irvan bilang, setidaknya ada enam pilar transformasi.
Pertama, top line to bottom line. Selama ini bisnis asuransi banyak diukur dari perolehan premi asuransi, yang berhasil dibukukan sebagai penjualan (top line oriented). Namun seharusnya juga memasukkan perolehan laba (bottom line oriented).
Kedua, cash flow underwriting to prudent actuarial underwriting. Dorongan kompetisi yang ketat di pasar asuransi membuat perusahaan asuransi kerap abai pada proses akseptasi underwriting penilaian risiko, yang didasarkan statistik aktuarial.
Ketiga, overseas placement to domestic placement. Adanya Undang-Undang Perasuransian yang mengatur obyek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia.
Dan penutupan obyek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah dalam negeri.
Keempat, adanya price competition to service competition. Bisnis asuransi di dalam negeri perlu lebih mengedepankan persaingan dalam hal pelayanan dibandingkan persaingan harga.
Ini yang menjadi masalah, persaingan dalam pelayanan kerap diabaikan dengan banyaknya pengaduan nasabah asuransi. Baik karena klaim yang tidak dibayar maupun kebutuhan pelayanan lain,” ucapnya.
Kelima, proteksi ketimbang investasi perusahaan asuransi sebaiknya kembali fokus pada fungsi utama, yakni sebagai lembaga keuangan yang menawarkan proteksi. Perusahaan asuransi disarankan untuk mulai mengurangi penjualan Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI), seperti unit link.
Keenam, adanya sinergi menguntungkan dengan bank. Karena sektor perbankan telah jauh berpengalaman melalui berbagai krisis perbankan sejak 1998 dan 2008.
“Sehingga bank menjadi ukuran dan panutan dalam menjalankan tata kelola yang baik,” imbau Irvan.
Menyoal ini, Direktur Utama IFG Life Harjanto Tanuwidjaja menegaskan komitmennya kepada para nasabah.
“Pembayaran klaim ini menjadi bukti komitmen IFG Life untuk memberikan benefit terbaik. Dan pemenuhan janji kami kepada nasabah,” ujar Harjanto di Jakarta, Minggu (20/8).
Ia berharap, dengan klaim yang dibayarkan ini, para nasabah merasa puas dan senang karena telah mempercayai IFG Life sebagai perusahaan untuk memproteksi diri mereka maupun keluarga.
Harjanto menjelaskan, IFG Life mengeluarkan produk-produk proteksinya dengan berpijak pada studi perseroan terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat, yang berdasarkan pada ketakutan atau kekhawatiran terhadap potensi-potensi risiko di masa depan.
Menurut dia, kebutuhan mendasar yang terkait dengan potensi risiko di masa depan hanya ada tiga hal. Yakni kecelakaan, sakit, dan kematian. Berdasarkan hal itu, banyak turunan kebutuhan lainnya namun tetap terkait dengan tiga hal di atas.
“Kami berusaha menjawab itu dengan memberikan produk-produk yang sesuai, dan terutama juga, terjangkau,” tuturnya
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 11 jam yang lalu
Olahraga | 13 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 15 jam yang lalu