Pidato di Depan Jinping, Modi, Silva, Jokowi Memukau
AFRIKA SELATAN - Presiden Jokowi menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15, di Johannesburg, Afrika Selatan, kemarin. Dalam KTT yang beranggotakan Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS) itu, Jokowi diberi kesempatan menyampaikan pidato. Di hadapan Presiden China Xi Jinping, Presiden India Narendra Modi, dan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Jokowi tampil memukau.
Afrika Selatan negara terakhir yang dikunjungi Jokowi, dalam kunjungan ke Afrika, sejak Minggu (20/8). Sebelumnya, mantan Gubernur DKI Jakarta ini, mengunjungi Kenya, Tanzania, dan Mozambik.
Di tiga negara itu, agenda Jokowi lebih kepada upaya meningkatkan hubungan bilateral. Namun, di Afrika Selatan, agenda utama Jokowi adalah menghadiri KTT BRICS, kelompok negara yang dibentuk Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan pada 2010.
Kehadiran Jokowi di BRICS sebagai observer. Namun, Jokowi diberi kesempatan berpidato dalam sesi BRICS-Africa Outreach and BRICS Plus Dialogue. Di hadapan Jinping, Modi, dan Da Silva, Jokowi berbicara lugas, baik yang berkaitan dengan kondisi geopolitik maupun kondisi Indonesia.
"Yang Mulia, dunia saat ini seakan bergerak tanpa nahkoda. Seakan bergerak tanpa kompas yang jelas. Perang dan konflik telah menyebabkan tragedi kemanusiaan. Krisis pangan telah mengakibatkan puluhan juta orang jatuh miskin," ucap Jokowi.
Mantan Wali Kota Solo itu kemudian bicara ancaman perubahan iklim yang mengintai umat manusia. Jokowi menegaskan, pandemi telah mengajarkan bahwa krisis global tidak akan selesai jika negara-negara bekerja sendiri-sendiri. Perlu kolaborasi dan solidaritas untuk mengatasinya.
"Kehadiran saya hari ini bukan hanya sebagai pemimpin Indonesia, tapi sebagai sesama pemimpin The Global South yang mewakili 85 persen populasi dunia yang menginginkan win-win formula," pesannya.
Sama seperti di tiga negara sebelumnya, di Forum BRICS, Jokowi juga membawa “Spirit Bandung” hasil Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, yang masih sangat relevan sampai saat ini. Yakni, solidaritas, soliditas, dan kerja sama antar negara berkembang perlu terus diperkuat.
Sebelum masuk dalam poin kerja sama, Jokowi menyinggung mengenai hal mendasar yang harus disepakati bersama. Setiap negara harus konsisten menghormati hukum internasional dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Jokowi memandang, tatanan ekonomi dunia saat ini sangat tidak adil. Gap pembangunan semakin lebar, rakyat miskin dan kelaparan semakin bertambah. Menurutnya, situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan.
"Negara berkembang harus bersatu untuk memperjuangkan hak-haknya. Diskriminasi perdagangan harus kita tolak. Hilirisasi industri tidak boleh dihalangi," tegasnya.
Jokowi berpesan agar semua negara menyuarakan kerja sama yang setara dan inklusif. "BRICS dapat menjadi bagian terdepan untuk memperjuangkan keadilan pembangunan dan mereformasi tata kelola dunia yang lebih adil," ucapnya.
Bertemu Perdana Menteri Kongo
Selain menghadiri KTT BRICS, Jokowi juga menggelar pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Kongo Jean-Michel Sama Lukonde di Sandton Convention Centre, Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam pertemuan ini, Jokowi didampingi Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Binsar Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Duta Besar RI untuk Afrika Selatan Saud Purwanto Krisnawan.
Pada kesempatan itu, Jokowi memandang, Indonesia dan Kongo memiliki peluang peningkatan kerja sama dalam mengembangkan nilai ekonomi hutan dan upaya mengatasi perubahan iklim. "Indonesia dan Kongo adalah pemilik hutan tropis terbesar di dunia, kerja sama kedua negara penting untuk kembangkan nilai ekonomi hutan dan berkontribusi atasi perubahan iklim. Saya harap kita dapat lebih tingkatkan kerja sama," ucapnya.
Indonesia siap berbagi pengalaman dalam hal konservasi gambut hingga pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu, Jokowi berharap kerja sama antara Indonesia dan Kongo dalam hal tersebut dapat ditingkatkan.
Dalam pertemuan, kedua pemimpin juga membahas mengenai pengembangan hilirisasi industri. Jokowi menilai hal tersebut penting dikarenakan Kongo dan Indonesia merupakan negara penghasil kobalt terbesar pertama dan kedua di dunia. "Indonesia siap berbagi pengalaman dan keahlian terkait ekosistem hilirisasi dan akan dorong BUMN Indonesia terlibat dalam eksplorasi dan investasi," imbuhnya.
Selain itu, ia mengajak PM Lukonde untuk mendorong terwujudnya sejumlah kerja sama beberapa BUMN Indonesia dengan Kongo. “Mari kita dorong realisasi kerja sama ini. Untuk tawaran kerja sama pengelolaan blok minyak di perbatasan dengan Angola, saya akan tugaskan pihak terkait untuk tindaklanjuti,” pungkasnya.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Opini | 2 hari yang lalu