Bukan Besarnya Koalisi Partai
Kemenangan Pilpres 2024 Ditentukan Suara Milenial

JAKARTA - Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Oesman Sapta Odang meragukan banyaknya partai politik pendukung menjamin kemenangan di Pemilihan Presiden (Pilpres). Tapi suara kaum milenial.
Diketahui, koalisi gerbong Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto kini kedatangan Partai Golkar dan PAN. “Itu koalisi boleh gemuk, tetapi, yang kurus saja bisa menang kok,” kata OSO, sapaan karibnya, di Kantor DPP Hanura di Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil dua kali menang di Pilpres. Padahal, badannya kurus dan kecil. “Selain badan, koalisi Pak Jokowi di periode pertama itu kurus, enggak gemuk kan? Tapi bisa menang. Itu contoh,” ujarnya.
Penentu kemenangan, lanjut OSO, adalah generasi milenial. Karena kini persentasenya mencapai 67 persen. “Siapa yang pegang anak muda, itulah dia yang kuat,” ucapnya.
Diketahui, Prabowo telah mendapatkan dukungan dari empat parpol parlemen dan satu non parlemen, di antaranya Partai Gerindra, Golkar, PAN, PKB, dan PBB. Menyusul partai baru yakni Gelora Indonesia.
Sementara gerbong Capres Ganjar Pranowo didukung dua parpol parlemen dan dua partai non parlemen, yakni PDI Perjuangan (PDIP), PPP, Hanura, dan Perindo.
Senada, Ketua DPP PDIP, Eriko Sotarduga justru mensyukuri jika Ganjar seolah dikeroyok koalisi gemuk. “Kami sangat mensyukuri kalau dikatakan saat ini PDI Perjuangan itu dalam tanda kutip dikeroyok,” katanya.
Sebab, Banteng sudah berkali-kali mengalami nasib serupa. Misalnya, saat Ganjar maju sebagai Calon Gubernur di Jawa Tengah di periode pertamanya. Pada 2012-2013, survei Ganjar tak sampai 6 persen. Sedangkan lawannya, Bibit Waluyo hampir 60 persen.
“Kalau berdasarkan statistik sudah hampir tidak mungkin. Nah itu bisa dibalikkan dengan modal yang sangat terbatas. Sama juga saat Presiden Jokowi maju di Pilpres 2014. Ini semua bukan kebetulan belaka,” yakinnya.
Ditegaskan, justru semakin dikeroyok, PDIP kian semangat. “Banteng ketaton, semakin dikeroyok semakin semangat,” ujarnya.
Sedangkan Ketua DPP Golkar, Dave Laksono menilai, kemenangan dalam Pilpres memang tak ditentukan besarnya koalisi. Pernah ada koalisi besar menang kontestasi. Pernah pula ada koalisi ramping yang menang pertarungan. Misalnya saat koalisi pendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pemilu 2009 atau menuju periode ke-2 menjadi Presiden.
“Contoh koalisi besar menang, waktu periode ke-2, Koalisi Pak SBY cukup besar, dan menang mutlak. Jadi semua kembali kepada kinerja mesin partai dan koalisi,” kata Dave dalam pesannya, kemarin.
Sekadar informasi, SBY berpasangan dengan Boediono menang dalam Pemilu 2009 dengan perolehan suara 60,80 persen. Kala itu, SBY dan Boediono diusung Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB.
SBY mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto yang diusung PDIP dan Gerindra, serta M Jusuf Kalla-Wiranto yang diusung Partai Golkar dan Hanura.
Artinya, Dave menyebut penentu kemenangan ramping kurusnya anggota koalisi. Melainkan, kerja dan strategi pemenangan. “Tentunya Golkar selalu canggih strateginya dan jadi penentu koalisi,” tegasnya.
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 16 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu