Jangan Pesimis Hadapi Krisis, Ekonomi Kita Tahan Banting
JAKARTA - Kantor Staf Presiden (KSP) meminta semua pihak tidak terlalu khawatir dengan ancaman resesi, yang saat ini sedang menghantui banyak negara. Sebab, ekonomi Indonesia terbukti tahan banting. Sudah teruji saat menghadapi krisis karena pandemi dua tahun belakangan, ekonomi Indonesia tetap bisa bangkit.
Saat ini, ekonomi dunia sedang diselimuti suasana suram. Sebulan terakhir, berbagai lembaga keuangan dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan PBB, mengeluarkan laporan yang bisa bikin pembacanya menghela napas panjang. Laporan itu pada intinya menceritakan kalau ekonomi dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dampak pandemi yang belum usai ditambah lagi perang Rusia-Ukraina, telah memicu perlambatan ekonomi global. Sejumlah negara diprediksi terkena resesi, bahkan mengalami kebangkrutan.
Dari berbagai laporan itu, Indonesia termasuk negara yang jarang disebut akan mengalami resesi. Ini tentu sedikit banyak melegakan. Soalnya, dampak gejolak ekonomi global ini menghantam hampir ke semua negara, termasuk negara-negara dengan ekonomi besar. Dalam laporan Nomura Holdings Inc misalnya, Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia diperkirakan mengalami resesi paling lambat dalam waktu dekat 12 bulan ke depan. Laporan Visual Capitalist lebih mengkhawatirkan. Ada 25 negara yang terancam bangkrut karena utang yang menggunung.
Meski jarang disebut, Indonesia tidak semestinya menurunkan kewaspadaan. Soalnya, menurut laporan Bloomberg, Indonesia masih berpotensi masuk ke jurang resesi bersama 14 negara lain di Asia seperti China, Jepang, hingga Korea Selatan. Berdasarkan laporan tersebut, potensi Indonesia masuk ke resesi ada di angka 3 persen.
Menanggapi kondisi ekonomi global yang bergejolak, Tenaga Ahli KSP Edy Priyono mengatakan, tak perlu khawatir. Kata dia, ekonomi Indonesia sudah teruji tahan banting saat menghadapi masa pandemi. Strategi Presiden Jokowi dengan menyeimbangkan gas dan rem berhasil membawa ekonomi Indonesia pulih dan tumbuh. Tercatat, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2022, sebesar 5,01 persen.
"Strategi gas dan rem hasilnya sangat baik. Tidak hanya pada penanganan pandemi, tapi juga pemulihan ekonominya,” kata Edy Priyono, di Gedung Bina Graha Jakarta, kemarin.
Kata dia, Pemerintah saat ini melakukan berbagai usaha agar ekonomi tidak oleng. Misalnya, dengan mengendalikan inflasi. Memang, saat ini inflasi relatif tinggi dari biasanya, yakni mencapai 4,35 persen. Namun, jika dibandingkan dengan banyak negara lain, angka tersebut relatif sangat baik. Selain itu, Pemerintah pun berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan harga pangan dan energi. Caranya, dengan menambah anggaran subsidi dan kompensasi untuk energi, baik BBM, listrik, dan LPG.
"Karena kita tahu kenaikan harga BBM dan gas bersubsidi bisa memicu kenaikan harga berbagai barang dan jasa yang berimplikasi pada angka inflasi yang lebih tinggi lagi,” jelas Edy.
Tak lupa, Pemerintah juga konsisten melaksanakan program perlindungan sosial untuk menjaga daya beli kelompok kurang mampu. Tiga jurus itu, kata dia, membuat ekonomi Indonesia tumbuh. Angka kemiskinan dan pengangguran pun berkurang.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan sangat yakin, potensi Indonesia untuk mengalami resesi relatif kecil dibanding negara lain. Hal itu karena situasi ekonomi domestik yang relatif baik. Misalnya, inflasi masih terjaga di angka 4,2 persen, pertumbuhan ekonomi 5,01 persen, dan rasio utang terhadap PDB yang sebesar 42 persen.
"Sementara, beberapa negara rasio utang terhadap PDB sudah mencapai 100 persen," kata Airlangga.
Indikator lain yang memperlihatkan ekonomi baik adalah neraca perdagangan yang surplus selama 26 bulan dan cadangan devisa di angka 135 miliar dolar AS.Menteri Keuangan Sri Mulyani juga yakin Indonesia tidak akan terperosok ke dalam resesi.
Namun begitu, bukan berarti tidak ada hal buruk yang bisa menimpa ekonomi kita. Karena itu, Sri Mul menegaskan, pihaknya tak akan lengah menghadapi dinamika eksternal.
"Semua akan kita lihat. Policy-nya agar guncangan luar itu tidak memengaruhi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengaku mengkhawatirkan beberapa hal, seperti dampak kenaikan harga pangan dan energi. Kenaikan dua komoditas itu bisa berpotensi menggerus daya beli masyarakat.
Selain itu, Sri Mulyani juga mengkhawatirkan kebijakan moneter Amerika Serikat untuk meredam inflasi. Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menilai, Bank Sentral AS akan lebih agresif dalam menaikan suku bunga. Dampaknya adalah capital outflow alias dolar pulang kampung.
"Maka, kita harus memastikan neraca pembayaran kita kuat," ucapnya.
Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede menyebut, ekonomi Indonesia memang cukup baik dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Namun, ia minta Pemerintah mewaspadai tingginya inflasi. Kata dia, inflasi tinggi dapat memengaruhi daya beli masyarakat. Padahal, ini adalah komponen terbesar dalam pertumbuhan ekonomi.
Hal senada disampaikan Direktur Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah. Ia memprediksi, inflasi di Indonesia akan terjaga di kisaran 4,5 persen sampai 5,5 persen secara tahunan, selama pemerintah tidak menaikkan harga pertalite, gas elpiji 3 kg, dan listrik 900 VA.
"Kalau subsidinya dikurangi, inflasi akan lebih tinggi di atas 6 persen," kata Piter, kemarin.
Dia melihat, sejauh ini Pemerintah sudah berupaya menjaga inflasi dengan mempertahankan subsidi untuk komoditas energi yang harganya sudah naik di tingkat global, meskipun kebijakan tersebut meningkatkan beban APBN.
"Bank Indonesia juga menahan inflasi dengan melakukan pengetatan likuiditas yaitu dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM), walaupun masih menahan suku bunga acuan," katanya.
Sementara, ekonom senior Indef Prof Didik J Rachbini mengingatkan agar Pemerintah jangan lengah. Kata dia, risiko krisis ekonomi dan resesi tetap mengintai, meski kondisi Indonesia berbeda dengan Sri Lanka.
"Potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan, jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, rakyat akan protes keras," kata Didik.
Rektor Universitas Paramadina tersebut mengatakan, kondisi fundamental Sri Lanka dan Indonesia memang tidak sama. Karena itu, tak bisa menarik kesimpulan Indonesia akan mengalami krisis seperti Sri Lanka. Namun, jika melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat seperti sekarang, potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. (rm.id)
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu