Bisnis, Politik Dan Mahkota
SERPONG - Bagaimana sebaiknya hubungan bisnis, kekuasaan dan politik? Sebaiknya jaga jarak. Apalagi di negara yang cenderung “semuanya bisa diatur”.
Di daerah misalnya, hubungan ini sangat terasa. Pilkada “ditentukan” pebisnis. Para pemilik modal. Usai pilkada, potensi “perselingkuhan” antara politik, bisnis dan kekuasaan, sangat terasa.
Kondisi ini tentu saja tidak sehat. Beberapa kepala daerah sangat pandai menghitung untung-rugi. Dampaknya, proyek-proyek pemerintah dinggap sebagai lahan basah. Tidak sedikit yang kemudian terjerat kasus hukum. Terjaring KPK.
Akibatnya, politisi dan jabatan politik tidak lagi sakral. Kehilangan marwah. “Kalau mau kaya, jangan jadi politisi”, kata Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama mengingatkan, dua tahun.
Tapi, awal 2000-an, ada juga pernyataan sebaliknya. “Kalau mau kaya, jadilah politisi”. Pernyataan legendaris ini disampaikan Mochamad Basuki, yang pernah menjabat Ketua DPRD Jatim.
Saat itu, anggota Fraksi PDI-P ini pernah tersangkut kasus korupsi. PDI-P memecatnya. Dia kemudian pindah ke Gerindra. Jadi anggota DPRD lagi. Kena OTT KPK lagi. Kasusnya sama, korupsi.
Walau sudah 20 tahun, pernyataan “kalau mau kaya jadilah politisi”, tampaknya masih relevan. Tak jauh berubah, meski rezim datang silih berganti.
Sekarang, bahkan yang secara ekonomi sangat kuat pun kian tertarik masuk politik. Apakah politik dan kekuasaan sudah menjadi sarana penunjang yang dahsyat untuk kelancaran bisnis? Kalau ada, seberapa dalam pengaruh itu. Apakah hubungan ini sudah dalam taraf yang membahayakan?
Pertanyaan-pertanyaan ini mesti dijawab. Misalnya, untuk melihat beberapa kasus agraria yang terjadi di daerah, sekarang. Atau, untuk mencari jalan keluar yang tepat atas kasus korupsi yang menimpa para kepala daerah.
Hubungan antara politik dan bisnis ini pernah menjadi obyek penelitian LIPI (sekarang BRIN). Penelitian tersebut mengungkap, sebanyak 55 persen anggota DPR 2019-2024 merupakan pengusaha.
Mereka tersebar di berbagai sektor. Posisinya macam-macam. Mulai dari pemilik, Dirut, komisaris dan jabatan penting lainnya.
Penelitian bertajuk “Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia” yang disampaikan tahun 2020 itu menyebutkan, total pebisnis di parlemen meningkat jadi 318 orang. Artinya, dari 10 anggota DPR, 5-6 orang diantaranya adalah pebisnis.
Sebenarnya, ada prinsip bijak, mereka yang masuk politik sebaiknya yang “sudah selesai dengan dirinya sendiri”. Bukan lagi mencari uang untuk menambah pundi-pundi pribadi. Levelnya sudah “pandito”. Matang dan bijak, luar dalam.
Kita berharap, prinsip itu masih dipegang teguh. Kapan pun, dimanapun, oleh siapa pun. Karena, jabatan politik bukan untuk mencari keuntungan bisnis. Tapi, mutlak untuk kepentingan rakyat.
Jabatan politik bukan alat yang bisa semau-maunya dipakai untuk “berburu di kebun binatang” dengan memainkan proyek-proyek pemerintah. Jangan juga berbisnis dengan rakyat, apalagi mengorbankan rakyat. Jangan pula, UU dipakai atau diakali untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Karena itulah, bangsa ini butuh keteladanan dan ketegasan, bagaimana memisahkan bisnis dan kekuasaan. Karena, kalau bisnis sudah bicara, “semua bisa diatur”. Termasuk hak-hak rakyat. Jangan sampai itu terjadi dan meluas. Rakyat adalah mahkota kekuasaan.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 9 jam yang lalu