Hary Tanoe Cemaskan Koalisi Gemuk
JAKARTA - Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) mengomentari koalisi gemuk pendukung Prabowo Subianto. Menurutnya, banyaknya parpol yang tergabung dalam koalisi, bukan jaminan bakal menang. Dia justru cemas, kebanyakan parpol pendukung, maka mesin politik tidak jalan karena banyak tarik-menarik kepentingan.
Kecemasan itu, disampaikan HT usai lari pagi bersama Capres yang diusungnya bersama PDIP-PPP-Hanura, Ganjar Pranowo, di Car Free Day (CFD) sekitaran Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (24/9/2023).
Bila tak ada halangan, maka di Pilpres 2024, Ganjar akan berhadapan dengan 2 pesaingnya yang didukung oleh lebih banyak parpol di parlemen. Pertama, berhadapan dengan Prabowo yang didukung banyak parpol. Yakni 4 partai parlemen: Gerindra-Golkar-PAN-Demokrat serta parpol non parlemen ; PBB-Gelora-Garuda-PSI. Kedua, Ganjar akan berhadapan dengan Anies Baswedan yang diusung 3 parpol parlemen, yakni NasDem-PKB-PKS dan 1 partai baru: Partai Ummat.
Bos MNC Group itu menegaskan, koalisi gemuk bukan jaminan akan menang mudah di kontestasi politik 2024. Sebaliknya, banyaknya parpol yang mengusung Prabowo justru membuat konsolidasi politik tidak berjalan lancar. Akan ada keruwetan dalam koalisi tersebut dari segi pembagian tanggung jawab dan tugas-tugas politik.
"Koalisi gemuk menurut saya tidak menjamin. Malah ribet ya. Ribet dalam arti bagaimana mereka nanti dalam pembagian tanggung jawab dan tugas," kata HT.
Menurut politisi tajir ini, banyak dan sedikitnya parpol pendukung di dalam kontestasi Pilpres, tidak jaminan bakal menang dengan mudah. HT yakin, hal yang paling menentukan dalam Pilpres adalah figur Capres dan Cawapresnya itu sendiri.
Kenapa? Sebab, menurutnya, masyarakat ketika memberikan suaranya lebih cenderung melihat tokoh yang ikut berkontestasi. Tak heran, bila dalam beberapa kali pemilu, dukungan parpol kerap tak mampu memenangkan Capres yang diusungnya.
"Kalau saya melihatnya Pilpres itu lebih ke figur Capres-Cawapres. Menang atau kalah tergantung Capres-Cawapresnya," tegasnya.
Wakil Sekjen Partai Gerindra, Kawendra Lukistian tidak sepakat dengan HT. Menurutnya, semakin besar koalisi yang dibangun, justru makin bagus untuk percepatan pembangunan.
"Untuk Indonesia maju, semakin banyak kekuatan yang bergabung, tentu semakin baik. Kita butuh besarnya kebersamaan dan persatuan untuk memastikan Indonesia maju yang adil makmur sejahtera," singkatnya saat dikonfirmasi Rakyat Merdeka, semalam.
Juru Bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengaku, partainya tidak merasa ribet ketika masuk ke dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo. Ia justru menilai, gemuknya koalisi yang dimiliki Prabowo membuat anggota bisa bekerja lebih optimal demi kepentingan bangsa dan negara.
"Semua mengalahkan itu, karena itu fokus kita dan semua bisa didiskusikan dengan baik," ujarnya kepada Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Group) semalam.
Ia pun enggan menilai koalisi parpol lain. Alasannya, koalisi lain tentu punya sikap dan pertimbangan masing-masing dalam menentukan langkah politiknya demi meraih kemenangan dalam Pemilu 2024. "Kita harus saling menghormati karena partai lain punya perjuangan masing-masing, jadi sampai bertemu di Pilpres 2024," tandasnya.
Ketua DPP Partai Golkar, Dave Laksono juga berpandangan sama. Dia mengatakan, setiap orang pasti punya pendapat terkait partai politik yang membentuk poros menjelang Pemilu 2024. Ia pun menghargai pandangan HT tersebut, karena Indonesia adalah negara demokrasi yang membuat warganya bebas berpendapat.
"Itu kan pandangan dari luar yah, pendapat orang wajib kita harga dan terima sebagai masukan. Akan tetapi, sejauh ini kinerja kami dan komunikasi kami berjalan dengan baik," ujar Dave kepada Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Group), semalam.
Anggota Komisi I DPR, ini menjelaskan, di dalam internal KIM punya komunikasi yang baik untuk menentukan strategi dalam meraih kemenangan bagi Prabowo ataupun parpol pendukungnya. Sehingga, kurang tepat jika koalisi gemuk yang dimiliki Prabowo adalah sesuatu yang ribet.
"Yang utama itu pembagian tugas jelas dan merata, dan kita semua yakin akan pilihan kita sehingga bekerja dengan tulus," pungkasnya.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai koalisi yang dibangun parpol jelang Pemilu, tentu punya kompleksitas tersendiri. Baik itu yang gemuk, atau yang kurus.
"Jadi dalam konteks ribet atau nggak tergantung koalisi, karena koalisi itu sudah biasa dilakukan jelang Pemilu. Baik yang sifatnya kurus ataupun gemuk," jelas Ujang, semalam.
Sementara itu, pengamat dari lembaga Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai, harusnya makin banyak dukungan, Capres bisa lebih mudah menang. "Tapi satu hal banyaknya dukungan partai termasuk dukungan Demokrat ke Prabowo tidak jamin apapun terkait dengan kemenangan," ujar Adi.
Dalam sistem Pilpres secara langsung, kata dia, konsep one man on vote menentukan dalam kemenangan calon. Karena itu, besarnya dukungan partai tidak menentukan tanpa diikuti suara para pemilih ke TPS.
"Karena Pilpres itu bukan kuat-kuatan banyak dukungan partai, tapi kuat-kuatan sejauh mana meyakinkan orang per orang untuk datang ke TPS dan memilih," ujar Adi.
Adi mencontohkan koalisi besar di Pilpres 2014 lalu ketika Prabowo-Hatta didukung banyak partai, tetapi justru dimenangkan oleh Jokowi-JK. Hal sama terjadi saat Susilo Bambang Yudhoyono-JK memenangi Pilpres pada 2004.
"Karena yang paling menentukan dalam Pilpres itu adalah seberapa hebat dan seberapa kuat menyakinkan Pemilih datang ke TPS itu," ujar Adi.
Nasional | 18 jam yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 18 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Nasional | 18 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu