TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Jadi Fenomena Gunung Es

Kasus Kekerasan Anak Butuh Solusi Konkret!

Laporan: AY
Rabu, 15 November 2023 | 11:40 WIB
Mendikbudristek Nadiem Makarim. Foto : Ist
Mendikbudristek Nadiem Makarim. Foto : Ist

JAKARTA - Kasus kekerasan anak di berbagai daerah jumlahnya sangat banyak dan berulang. Kasus tersebut sudah seperti fenomena gunung es.

Menteri Pendidikan, Ke­budayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Ma­karim menyatakan, kekerasan pada anak sudah menjadi ma­salah besar.

Upaya dalam mencegah tindak kekerasan terutama di sekolah telah dibuat Permendikbud No­mor 46 Tahun 2023.

Regulasi itu berisi tentang Pencegahan Penanganan Pe­rundungan serta Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).

Kasus kekerasan anak yang tercatat jumlahnya bisa jadi tidak ada separuhnya jika dibanding­kan dengan yang tidak terlapor­kan di tengah masyarakat. Baik di sekolah maupun lingkungan lainnya.

Inspektur Jenderal Kemen­dikbudristek Chatarina Muliana mengatakan, guru dan orang tua atau siapapun yang menjaga anak di rumah memiliki peran penting untuk ikut mencegah kekerasan.

Saat ini, partisipasi mereka yang melindungi anak dalam memberi edukasi untuk dalam hal kekerasan ini masih belum optimal. Kanal pengaduan untuk korban juga bagi sebagian orang masih asing.

Rendahnya pemahaman dan keterlibatan dari para stakeholders kunci menjadi tantangan yang dihadapi dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan anak.

“Dalam konteks ini, perlu peningkatan pemahaman dan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Termasuk guru, orang tua dan masyarakat secara umum,” ujar Chatarina dalam Forum Merdeka Barat9 (FMB9) yang bertema ‘Negara Hadir Atasi Darurat Kekerasan Anak’, di Jakarta, Selasa (14/11/2023).

Dalam beberapa kasus, Cha­tarina menemukan banyak ke­kerasan kepada anak yang men­jadi viral di media sosial.

Karena itu, dibutuhkan lang­kah-langkah khusus sebagai solusi konkret. Terutama dalam mengatasi hambatan yang sering terjadi.

Yang dilakukan Kemendik­budristek, antara lain kampanye edukasi yang lebih intensif. Tidak hanya kalangan pendidik dan orang tua, tetapi juga ma­syarakat luas.

Dengan pengetahuan yang lebih baik, diharapkan masyara­kat dapat lebih proaktif dalam mencegah kekerasan anak. Serta, melaporkan setiap kasus yang ditemukan, yakni melalui call center SAPA 129 atau meng­hubungi 08111129129.

 Chatarina, guru se­bagai agen utama dalam mem­bentuk karakter anak-anak me­megang peran besar. Karena itu, pelatihan yang berkualitas tinggi perlu diberikan kepada para pendidik.

Menurutnya, yang terpenting adalah peran dari orang tua yang harus terus didorong untuk terlibat secara aktif dalam pe­mantauan keamanan anak-anak dan melaporkan setiap kejadian yang mencurigakan.

Sebelumnya, melalui Per­aturan Menteri Pendidikan, Ke­budayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 46 Ta­hun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekolah pada Agustus 2023, Pemerintah telah mendiri­kan satuan tugas (satgas) di daerah.

Langkah ini diikuti dengan pembentukan tim di setiap seko­lah, yang dibantu dengan berbagai bimbingan teknis (bimtek) untuk pelaksanaan yang lebih efektif.

Chatarina mengatakan, saat ini telah terbentuk tim satgas di 27 persen sekolah di seluruh Indo­nesia. Hanya saja, dia mengakui bahwa masih ada tantangan agar program ini dapat berjalan maksimal.

Terutama, pandangan atau stereotip di berbagai daerah bahwa kekerasan anak meru­pakan hal wajar bagian dari pendidikan.

Beberapa masih menganggap kekerasan sebagai bagian dari pendidikan anak, terutama me­lalui sanksi fisik yang dianggap sebagai metode disiplin,” ucap­nya.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menyebutkan sejumlah regulasi yang berkai­tan dengan perlindungan anak sebetulnya sudah cukup kom­prehensif.

Hal tersebut bisa untuk men­ciptakan ekosistem yang kon­dusif menekan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak.

Menurut Ai, setidaknya dalam 5 tahun terakhir, Pemerintah menerbitkan sejumlah aturan. Salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak.

“Namun, KPAI melihat ada gap, mulai upaya dalam regulasi dan aksesibilitasnya ini. Seperti lebih menguatkan sentra-sentra rehabilitasi. Mau tidak mau negara harus hadir,” jelasnya.

Data KPAI menunjukkan bahwa pengaduan kasus perlindungan anak sepanjang Januari sampai September 2023 menca­pai 1.800 kasus, terkait Pemenu­han Hak Anak (PHA) dan Per­lindungan Khusus Anak (PKA).

Adapun sepanjang 2022, pihaknya mencatat sebanyak 2.133 kasus kekerasan terhadap anak

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo