TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Sarjana Joki, Profesor Joki

Oleh: Baiturrahman
Sabtu, 27 April 2024 | 10:22 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Beberapa bulan yang lalu, seorang kawan membagikan sebuah postingan di salah satu grup WA. Postingan itu berisi tentang fatwa joki skripsi atau karya ilmiah dalam tinjauan hukum fiqih, yang diterbitkan di kanal nuonline. Dalam fatwa tersebut, berisi tentang tiga alasan mengapa praktik joki di lingkungan akademik itu “haram”.

Alasan pertama, karena praktik itu bagian dari pengkhianatan integritas akademik. Kedua, joki skripsi juga merupakan bagian dari tindakan penipuan. Ketiga, menurut fatwa tersebut, akad dalam antara mahasiswa dan joki skripsi tidak sah, karena  praktik joki tersebut menggunakan akad ijarah al-amal (mempekerjakan seseorang dengan upah tertentu), tetapi objek akad, praktik atau pekerjaan yang disepakati antara penyedia jasa (musta’jir) dan konsumen (mu’ajir), merupakan pekerjaan yang menyalahi hukum dan melanggar ketentuan akademik yaitu penipuan, kecurangan, dan pembohongan (nu.or.id).

Isu ini nampaknya menyeruak kembali ketika ada seorang profesor dari Universitas Nasional (UNAS) yang mampu menerbitkan karya ilmiah sebanyak 160 publikasi jurnal ilmiah dalam kurun waktu 3,5 bulan selama tahun 2024 ini. Bahkan, ada dugaan pencatutan nama dosen Universitas Malaysia Terangganu (UMT) dalam sejumlah artikel profesor tersebut.

Pada tahun 2023 yang lalu, Tim Investigasi Kompas juga pernah menemukan adanya indikasi praktik perjokian dalam pembuatan karya ilmiah untuk syarat kelulusan akademik hingga pengajuan guru besar di berbagai kampus di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Praktik ini melibatkan sejumlah pihak, mulai dari mahasiswa, dosen muda, hingga pembentukan percepatan guru besar.

Kompas juga memuat artikel Iswandi Syahputra, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, berjudul “Efek Kobra Publikasi Ilmiah”. Istilah “efek kobra” pertama kali dicetuskan oleh ekonom Horst Siebert berdasarkan peristiwa anecdotal yang terjadi di India pada masa pemerintahan Inggris. Pada saat itu, pemerintah Inggris menawarkan hadiah kepada siapa aja yang membawa ular kobra mati. Strategi ini awalnya sukses. Hingga pada akhirnya, justru masyarakat sekitar mulai membudidayakan ular kobra untuk mendapatkan penghasilan (Kompas/17/04/2024). Fakta menyedihkannya, Indonesia adalah negara kedua yang karya ilmiahnya banyak terjebak dalam jurnal predator selama tahun 2015-2017 (Quantitative Science Studies, 2022).

Jika melihat sisi materilnya, bisnis dari praktik perjokian skripsi, tesis, disertasi, hingga guru besar, memang cukup menggiurkan. Sejumlah kawan saya bercerita bahwa dirinya pernah ditawari untuk menjokikan makalah hingga tugas akhir dengan tarif yang bahkan mampu menutupi uang semesternya ke depan. Dalam praktiknya pun bermacam-macam, ada yang memang diminta bab per bab, jika itu skripsi atau tesis, ada pula yang dikerjakan hingga selesai.

Sebagian mereka, melakoni bisnis ini dengan berbagai motif. Ada karena motif ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai mahasiswa rantau selama menempuh pendidikan. Ada pula karena motif pendidikan, untuk sekedar memuaskan hasrat intelektualnya, karena bisa mempelajari prespektif dari berbagai disiplin ilmu. Cerita yang hampir serupa juga pernah saya dengar ketika masih menjadi mahasiswa S1. Seorang dosen yang dengan bangga bercerita bahwa dirinya pernah mencalokan karya ilmiah untuk seorang calon guru besar di luar daerah dengan imbalan hingga puluhan juta.

Integritas Akademik

Pada titik ini sebetulnya wajah perguruan tinggi kita di Indonesia tengah diuji. Gelar kesarjanaan yang dibanggakan oleh sebagian masyarakat kita, nampaknya menjadi barang murah yang tak ada nilainya. Integritas akademik yang kian lama kian memudar, kemudian berkelindan dengan kualitas para akademisi di kampus. Sehingga, kampus tidak lagi menjadi tempat di mana ide-ide dan gagasan-gagasan segar itu muncul secara organik dan ditempa dengan berbagai macam uji coba argumentasi.

Barang kali, kita perlu becermin kepada para sarjana-sarjana terdahulu yang karya-karyanya sangat berpengaruh dalam membangun peradaban. Di dunia Islam misalnya, kita pernah memiliki tokoh-tokoh seperti Imam al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Keduanya, dikenal sebagai filsuf muslim abad pertengahan. Tapi yang menarik dari kedua filsuf itu adalah karya mereka. Imam al-Ghazali pernah menulis “Tahafut al-Falasifah” (kerancuan para filsuf). Namun, satu abad setelah al-Ghazali wafat, karya itu kemudian mendapat kritik tajam oleh Ibnu Rusyd dengan karya “Tahafut at-Tahafut” (kerancuan dalam kerancuan).

Di luar itu, ada pula sarjana seperti Edward W. Said dengan karya materpiecenya berjudul “Orientalism”. Karya yang bahkan disebut-sebut menjadi mazhab Saidisme ini kemudian dihujam kritik dan ditelanjangi paragraf per paragraf –meminjam istilah Media Zainul Bahri-- oleh Ibnu Warraq dengan karyanya “Defending the West: A Critique of Edward Said’s Orientalism” –sayangnya, Said tidak sempat membalas kritikan itu karena meninggal pada tahun 2003. Kita juga perlu mengapresiasi sarjana-sarjana seperti Snouck Hurgronje, Robert W. Hafner, Martin van Bruinessen, yang karya-karyanya banyak menjadi rujukan bagi kesarjanaan di Tanah Air, terutama tentang ilmu-ilmu sosial dan keagamaan. Di Indonesia, sarjana seperti Azyumardi Azra patut menjadi contoh. Karya Azra berjudul “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” memantik para akademisi di Tanah Air untuk meneliti lebih dalam ulama-ulama di kepulauan Nusantara.

Respon negatif maupun positif dari karya-karya mereka mencerminkan kualitas dari sebuah produk intelektual. Kualitas itu, tentu saja lahir dari integritas akademik yang dibangun dalam kesadaran intelektual plus moral yang dijunjung tinggi.

Keteladanan

Sampai di sini, cukup logis dengan apa yang dialami sejumlah kawan saya (sebagai penjoki maupun yang dijokikan). Mereka adalah korban dari kurang sehatnya kultur pendidikan di perguruan tinggi kita. Gelar doktor maupun profesor, yang seharusnya menjadi gelar kehormatan akademik, ternodai karena praktik culas nan gelap dunia pendidikan. Hal ini juga sekaligus membuktikan bahwa, ternyata, mentalitas “instan” itu tidak hanya dimiliki kaum Milenial maupun Generasi Z yang kadang-kadang disalahkan karena arus perubahan politik, ekonomi, dan sosial, tapi juga para dosen yang berambisi mengejar gelar tertinggi di perguruan tinggi itu.

Barang kali, kurangnya keteladanan dalam kesarjanaan, membuat praktik-praktik imoralitas itu  semakin meluas. Oleh karena itu, fenomana maraknya joki karya ilmiah ini, harus menjadi “alarm pengingat” untuk meluruskan kembali fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional kita sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Komentar:
Berita Lainnya
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo