BBM Buah Simalakama
Tidak Naik Bikin APBN Jebol, Naik Rakyat Miskin Menjerit
JAKARTA - Menghadapi harga minyak dunia yang melonjak, Pemerintah seperti dihadapkan pada buah simalakama. Kalau harga BBM dinaikkan, maka rakyat miskin akan menjerit lantaran harga sembako pasti akan ikutan naik. Namun, kalau harga BBM tidak dinaikkan, APBN bisa jebol untuk membayar subsidi.
Biang kerok melonjaknya harga minyak dunia, tak lepas dari perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung berakhir. Sejak Februari lalu, harga minyak mentah naik turun di kisaran 100 dolar AS per barel. Angka ini jauh di atas target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu 63 dolar AS per barel.
Kenaikan ini, tentu saja bikin pemerintah kelimpungan. Meskipun harga minyak dunia naik, harga jual BBM di dalam negeri tetap sama. Akibatnya, subsidi yang harus dikeluarkan negara dari APBN terus membengkak. Untuk tahun ini saja, kocek negara yang dikeluarkan untuk menutupi subsidi BBM mencapai Rp 502 triliun.
Besarnya anggaran subsidi yang dikeluarkan negara ini, bikin Presiden Jokowi gusar. Berulang kali, eks Gubernur DKI Jakarta itu menyampaikan kegusarannya soal tingginya subsidi BBM. Pernyataan Jokowi itu kemudian dijadikan sinyal bahwa pemerintah berencana akan menaikkan harga BBM.
Sebenarnya, sejak April lalu, Pemerintah sudah memberi sinyal akan menaikkan harga BBM. Alasannya, kalau harga BBM tidak disesuaikan dengan harga keekonomiannya, APBN bisa jebol. Pertamina yang mendapat penugasan menyalurkan BBM bersubsidi pun bisa ambruk karena menanggung selisih harga yang sangat besar.
Saat ini, harga BBM jenis Pertalite sebesar Rp 14 ribu per liter. Sementara Pertamina menjual dengan harga hampir setengahnya. Kendati demikian, pemerintah belum berani juga menaikkan harga BBM.
Kini, setelah subsidi kian membengkak dan Jokowi menyatakan kegusaran, wacana kenaikan harga BBM kembali berhembus. Teranyar, disampaikan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Kata dia, harga minyak mentah saat ini di kisaran 99,6 dolar AS per barel. Bahlil mengingatkan, kalau harga minyak mentah naik misalnya ke Rp 105 dolar AS per barel, maka harus ada tambahan subsidi sampai Rp 600 triliun. Jika ini terjadi, APBN pun akan jebol.
"Jadi tolong teman-teman sampaikan juga kepada rakyat, rasa-rasanya sih untuk menahan terus harga BBM seperti sekarang, feeling saya (tidak kuat). Ini tidak sehat. Mohon pengertian baiknya. (Jadi) harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi," kata Bahlil, Jumat lalu.
Bagaimana tanggapan Pertamina? Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting menyatakan, pihaknya menyerahkan semuanya kepada Pemerintah.
"Untuk harga BBM Subsidi merupakan kewenangan dari Pemerintah. Kami sebagai operator akan melaksanakan apa yang menjadi penugasan dari Regulator," kata Irto, kemarin.
Ekonom senior Didik J Rachbini menilai pemerintah wajar kalau gamang. Karena Pemerintah menghadapi dilema atau buah simalakama. Didik mengatakan, perang Rusia-Ukraina ini membawa berkah dan musibah ke APBN.
Berkahnya, harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan minyak sawit meroket dan menggenjot penerimaan negara. Musibahnya, harga minyak mentah ikutan melambung. Pemerintah pun jadi pusing karena harus merogoh kocek dalam-dalam untuk subsidi.
BBM jenis Pertalite misalnya, di pasaran harganya sudah Rp 17 ribu-Rp 20 ribu per liter. Sementara Pertamina menjual kurang dari separuhnya. Artinya, APBN, pajak, dan PNBP diberikan kepada yang punya mobil.
"Jika subsidi Pemerintah yang Rp 500 triliun digunakan untuk membangun rumah rakyat, sekolah, dan lain-lain akan bermanfaat banyak. Ironisnya, yang menikmati subsidi itu juga para orang kaya," kata Didik, kemarin.
Rektor Universitas Paramadina ini mengatakan, di sisi lain kalau Pemerintah menaikkan harga BBM terutama Pertalite, harga-harga akan ikut terkerek, sehingga meningkatkan risiko kenaikan inflasi.
Lalu, apa yang harus dilakukan Pemerintah? Kata dia, kenaikan harga BBM memang bisa mengerek harga sembako. Namun, dia yakin, masa sulit itu bisa dilewati. Menurut dia, kenaikan harga BBM tak akan menyebabkan kerusuhan seperti yang terjadi di Sri Lanka atau Pakistan.
"Sebaliknya, jika kebijakan yang dilakukan pemerintah sembrono, APBN dibiarkan jebol, maka ekonomi Indonesia akan menghadapi masalah," ujarnya.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyampaikan, persoalan yang dihadapi Pemerintah memang pelik. Jadi, harus dipikirkan matang-matang dan cepat. Kata dia, kondisi APBN saat ini memang kritis lantaran upaya pembatasan konsumsi Pertalite tidak berhasil.
Mengutip laporan Pertamina, sampai Juli 2022, konsumsi bahan bakar minyak jenis Pertalite telah menembus angka 16,8 juta kiloliter atau setara dengan 73,04 persen dari total kuota yang ditetapkan tahun ini sebesar 23 juta kiloliter. Angka konsumsi yang tinggi itu membuat kuota Pertalite hanya tersisa 6,2 juta kiloliter.
Menurutnya, kalau upaya pembatasan konsumsi tidak berhasil, kuota BBM subsidi diproyeksikan jebol paling lama pada akhir Oktober 2022. Ini dilema bagi pemerintah. Karena jika kuota Pertalite ditambah beban APBN akan meningkat karena subsidi akan mencapai lebih dari Rp 600 triliun. Namun, jika kuota Pertalite tidak ditambah bisa memicu kelangkaan BBM di berbagai SPBU yang berpotensi menyulut keresahan sosial.
Lalu, bagaimana solusinya? Menurut dia, Pemerintah sebaiknya menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan maksimal selisih harga sebesar Rp 1.500 per liter.
"Kebijakan harga ini diharapkan akan mendorong konsumen Pertalite migrasi ke Pertamax secara suka rela," kata Fahmy, dalam keterangan tertulis, kemarin.
Di sisi lain, Pemerintah perlu menggencarkan komunikasi publik agar masyarakat beralih dari mengonsumsi Pertalite ke Pertamax.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyampaikan hal serupa. Kata dia, menaikkan harga BBM dapat membantu Pemerintah menghemat anggaran subsidi untuk dialokasikan ke proyek infrastruktur. Selain itu, kenaikan harga BBM akan memberikan ruang fiskal bagi Pemerintah dalam mengantisipasi penurunan pendapatan dari komoditas.
Namun, menaikkan harga BBM berisiko menekan kelompok masyarakat kelas bawah. Kata dia, kalau Pertalite dan gas elpiji naik, maka inflasi akan naik hingga 5 persen. Kalau sudah begini, daya beli masyarakat akan langsung anjlok.
Namun, kalau Pemerintah tak menaikkan harga BBM, inflasi akan tetap terjaga. Alhasil, risiko gejolak politik jelang pemilu bisa lebih minim. Daya beli masyarakat dan produktivitas industri bisa terjaga. (rm.id)
Lifestyle | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu