TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Gelombang Protes UKT Naik Berlangsung Di Sejumlah Wilayah Tanah Air

Oleh: Farhan
Jumat, 17 Mei 2024 | 09:06 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Gelombang protes kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) masih berlangsung di sejumlah wilayah di Tanah Air. Banyak masyarakat ingin kuliah dengan biaya terjangkau. Namun, Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan operasional perguruan tinggi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie merespons gelombang kritik terkait UKT di perguruan tinggi yang kian mahal. Menurut dia, biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan memenuhi standar mutu.
Tjitjik menerangkan, pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa digratiskan, seperti di se­jumlah, karena Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. Saat ini, pendidikan tinggi masih menjadi pendidikan tersier atau pilihan, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun.

“Pendidikan wajib di Indonesia hanya 12 tahun, yakni dari SD, SMP, hingga SMA. Artinya tidak seluruhnya lulusan SMA, wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengem­bangkan diri, masuk pergu­ruan tinggi,” ujarnya di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (16/5/2024).

Lebih lanjut, Tjitjik menjelas­kan, Pemerintah fokus mem­prioritaskan pendanaan pada pendidikan wajib 12 tahun. Namun begitu, Pemerintah tidak lepas tangan, tetap memberikan pendanaan melalui BOPTN.
“Besaran BOPTN tidak bisa menutup Biaya Kuliah Tunggal (BKT), sehingga setiap maha­siswa dibebankan lewat UKT. Dalam skema UKT, besaran biaya kuliah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi. Sebab itu, dalam UKT terdapat beberapa golongan,” imbuhnya.

Diketahui, Kemendikbudristek menetapkan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 ten­tang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dalam aturan itu, ke­lompok UKT 1 sebesar Rp 500 ribu dan UKT 2 sebesar Rp 1 juta, sebagai standar mini­mal yang harus dimiliki PTN. Selebihnya, besaran UKT di­tentukan oleh masing-masing perguruan tinggi.
Terpisah, Pengamat Pendidikan, Indra Charismiadji menyayangkan sikap Pemerintah yang menyatakan kuliah di perguruan tinggi bukan wajib bela­jar. Menurut dia, pernyataan itu menunjukkan Kemendikbudristek lepas tangan dari ketidakmam­puannya mengelola sistem pen­didikan dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Pemerintah memiliki kewajiban konstitusional mencerdaskan ke­hidupan bangsa. Saat ini, pendapa­tan per kapita masyarakat Indonesia hanya Rp 75 juta per tahun, se­hingga banyak yang kesulitan membayar Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal, yang mencapai Rp 75 juta ke atas, dan UKT yang di atas Rp 20 juta per semester,” jelasnya.

Indra menambahkan, meski ada KIP Kuliah untuk masyara­kat miskin, masyarakat ber­penghasilan menengah juga ke­sulitan membayar biaya kuliah anak-anaknya. Sementara di negara lain biaya kuliah menjadi terjangkau, karena 70 persen anggaran perguruan tinggi ber­asal dari dana riset, sisanya dari mahasiswa. Bahkan, di Jerman biaya kuliah bisa gratis.
“Di sini, dengan dorongan menjadikan PTN berstatus PTN Badan Hukum (BH), mereka semua diharapkan berbisnis dan cari profit setinggi-tingginya. Dengan begitu, subsidi pemer­intah di perguruan tinggi bisa berkurang,” keluhnya.

Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf menyatakan, Komisi X DPR bakal membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas masalah biaya UKT di pergu­ruan tinggi, yang mengalami kenaikan. Menurut dia, Panja akan menelusuri alasan biaya pendidikan kerap naik.

“DPR langsung membuat Panja biaya pendidikan. Sebab, kami ingin tahu tentang besaran biayaan pendidikan, dan kenapa harus naik,” katanya di Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Menurut Dede, Panja akan mengulas lengkap seluruh komponen biaya pendidikan. Karenanya, skema yang akan dibahas tak sebatas biaya kuliah, tapi hingga ke taraf sekolah dasar. Apalagi review terhadap komponen biaya pendidikan itu belum pernah dilakukan.
“Apakah biaya komponen pendidikan, seperti UKT, naik karena membayar gaji dosen, uang gedung, atau biaya riset, nanti kita bahas. Sejauh ini, kami belum mengetahi besaran po­koknya dan komponen apa yang mendorong adanya kenaikan,” jelas politisi Partai Demokrat ini.

Di media sosial X, netizen geram dengan pernyataan pendi­dikan tinggi adalah pilihan, dan tidak masuk skema wajib bela­jar. Pernyataan itu mengesankan kuliah di perguruan tinggi hany­alah buat orang berduit.

Akun @Ristha1367 me­nyatakan, jika perguruan tinggi biayanya mahal, yang menjadi korban adalah generasi penerus bangsa. “Kuliah dianggap pen­didikan tersier? Jadi, pendidikan tinggi nggak penting buat gen­erasi penerus bangsa? Indonesia negara kaya, kok pemerintahnya jadi begini,” sentilnya.
Akun @kijanginnovy juga mengaku geram dengan ma­halnya biaya kuliah. Namu, dia beruntung kuliahnya tinggal me­nyelesaikan skripsi, sementara banyak calon mahasiswa dan orang tuanya, yang kaget dengan mahalnya biaya kuliah.

“Melihat UKT naik ugal-uga­lan, dan ada pejabat bilang kala perguruan tinggi pendidikan tersier, gue sampai nangis saat ngerjain skripsi. Kepikiran adik-adik kelas gue nanti, bagaimana mereka mau bayar biaya kuliahnya,” tulisnya.
Akun @nak_negeri ber­pendapat, harusnya pemerintah mengakomodir dan mendo­rong agar semakin banyak anak Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Sebab, kata dia, pendidikan tinggi akan menjadi modal untuk memasuki era Indonesia Emas.

“Di negara manapun, ke­bijakannya selalu mengarah ke pendidikan gratis. Sebab, pendidikan itu hak asasi. Kalau perguruan tinggi dianggap pen­didikan tersier, kenapa rek­ruitmen tenaga kerja selalu mensyaratkan lulusan sarjana,” imbuhnya.

Senada, akun @terriblitez juga mengaku khawatir, jika pendi­dikan tinggi dinyatakan sebagai pilihan. Menurut dia, Indonesia kekurangan tenaga ahli yang terdidik. “Kalau Indonesia butuh tenaga ahli di bidang industri, pendidikan, ekonomi, teknologi, sosial budaya, dan sebagainya, nggak perlu pendidikan tinggi ya? Bisa hanya mengandalkan wajib belajar 12 tahun,” cuitnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo