TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Polemik Pernyataan Pejabat Kemendikbudristek, Seakan Orang Miskin Dilarang Kuliah?

Oleh: Farhan
Editor: admin
Minggu, 19 Mei 2024 | 11:10 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) ‘diserbu’ netizen. Pasalnya, kementerian yang dipimpin Nadiem Anwar Makarim itu dinilai menebalkan persepsi, seakan “orang miskin dilarang kuliah”, karena menyebut kuliah bagian dari kebutuhan tersier masyarakat.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah menyatakan, penilaian bahwa kuliah sebagai bagian kebutuhan tersier tak boleh dis­ampaikan Pemerintah. Sebab, Pemerintah bertugas menjalank­an amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bang­sa, memenuhi hak pendidikan seluruh warga negara.
“Sangat disesalkan. Tidak se­mestinya, Pemerintah menyam­paikan pernyataan seperti itu. Secara normatif, wajib belajar memang sampai tingkat sekolah menengah. Tapi, itu batas mini­mal pemenuhan tanggung jawab pemerintah, untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negara,” ujar Hetifah melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (18/5/2024).

Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie merespon gelom­bang kritik terkait UKT di per­guruan tinggi yang kian mahal. Menurut dia, biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan memenuhi standar mutu.

Tjitjik menerangkan, pen­didikan tinggi di Indonesia belum bisa digratiskan, sep­erti di sejumlah, karena Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan op­erasional. Saat ini, pendidikan tinggi masih menjadi pendidikan tersier atau pilihan, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun.
“Pendidikan wajib di Indonesia hanya 12 tahun, yakni dari SD, SMP, hingga SMA. Artinya tidak seluruhnya lulusan SMA, wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengem­bangkan diri, masuk perguruan tinggi,” ujarnya di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (16/5/2024).

Tjitjik menambahkan, pemerintah fokus memprioritaskan pendanaan pada pendidikan wajib 12 tahun. Namun begitu, pemerintah tidak lepas tangan, tetap memberikan pendanaan melalui BOPTN.
“Besaran BOPTN tidak bisa menutup Biaya Kuliah Tunggal (BKT), sehingga setiap maha­siswa dibebankan lewat UKT. Dalam skema UKT, besaran biaya kuliah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi. Sebab itu, dalam UKT terdapat beberapa golongan,” imbuhnya.

Melanjutkan keterangannya, Hetifah menegaskan, pihaknya tidak sependapat dengan pan­dangan pemerintah yang melihat pendidikan tinggi bersifat tersier. Menurut dia, pemerintah harus­nya responsif dalam menyambut tingginya keinginan masyarakat terhadap pendidikan.

Bila hasrat masyarakat mengembakan diri melalui pendi­dikan tinggi semakin meningkat, harusnya pemerintah merespon hal itu dengan program dan ke­bijakan. Pemerintah tidak boleh lepas tangan, bahkan menyatakan hal tersebut sebagai pilihan atau kebutuhan tersier,” cetusnya.

Senada, pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma mengakui, perguruan tinggi me­mang bukan termasuk program wajib belajar yang harus di­gratiskan. Namun begitu, bukan berarti pendidikan tinggi tak bisa digratiskan oleh pemerintah.
“Dahulu, pendidikan dasar di Indonesia juga belum digratis­kan, masih ada sistem SPP. Saat ini, kita bisa melakukannya secara gratis. Begitu juga dengan kuliah gratis, kita pasti bisa kalau mau berpikir lebih serius,” ujar Satria.
Menurutnya, penggratisan atau menurunkan biaya ku­liah hanya masalah political will atau komitmen para stake­holder dalam mengambil ke­bijakan. “Semakin mahalnya biaya kuliah, membuktikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud dan para mana­jemen kampus PTN, terjebak komersialisasi pendidikan dan malas berpikir untuk kemajuan bangsa,” imbuhnya.

DI media sosial X, pernyataan Kemendikbud Ristek yang me­nyebut kuliah sebagai bagian kebutuhan tersier, mendapat sorotan tajam netizen. Sebagian besar mengkritisi kebijakan itu, dan menilai Kemendikbud Ristek tak berpihak kepada rakyat.

“Artinya, rakyat miskin dila­rang kuliah. Atau kuliah khusus untuk orang kaya dan pejabat? Negeri ini mau kembali ke jaman kolonial? Selamat me­nikmati keberlanjutan. Ok gas ok gas ok gas,” tulis akun @widodo1966.
Akun @edyharyadi men­gaku beruntung, anaknya bisa berkuliah dengan beasiswa dari sebuah yayasan. Tapi, dia sangat menyesalkan adanya pernyataan pemerintah soal biaya perkualiahan.

“Untung anak saya sudah selesai kuliah. Dia dapat bea­siswa penuh dari Yayasan Putera Sampoerna. Tapi, saya sedih lihat pejabat Kemendikbud ini. Dana pusat ke PTN terus mero­sot. Di era Orba 81 persen biaya PTN ditanggung pemerintah. Kini cuma 30 persen. UKT naik gila-gilaan, sepertinya orang miskin dilarang kuliah,” cetusnya.
Senada, Akun @issadeve0rynight menegaskan, seluruh warga negara Indonesia me­miliki hak untuk mendapatkan pendidikan, dan negara wajib memfasilitasinya. Jangan sam­pai, pintanya, ada persepsi di tengah masyarakat, orang miskin dilarang kuliah.

“Pejabat yang satu itu, kok lantang menyuarakan orang miskin dilarang kuliah. Ini ber­tentangan dengan amanat UUD, untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Kalian yang ada di pemerintahan itu, alat untuk menjalankan amanat UUD. Ingat itu!” cuitnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit