TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Harga BBM Naik, Presiden Biden Puyeng, Bagaimana Indonesia ?

Oleh: Farhan
Jumat, 24 Mei 2024 | 09:20 WIB
Kilang minyak. Foto : Ist
Kilang minyak. Foto : Ist

AS - Amerika Serikat (AS) sedang dilanda masalah. Dalam beberapa bulan ini, harga BBM melonjak tajam. Presiden AS, Joe Biden sampai puyeng dengan kenaikan tersebut. Kalau negara super power seperti AS aja puyeng soal BBM, gimana kita?
Sejak awal tahun, harga BBM di AS melonjak drastis hingga 19 persen. Sejumlah faktor ditengarai menjadi biang keladinya. Di antaranya, pemangkasan produksi negara-negara pengekspor minyak atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), dan kekhawatiran dunia terhadap perang Israel vs Hamas yang mengganggu pasokan migas di Timur Tengah.
Kondisi saat ini ternyata membuat Biden puyeng. Bagaimana tidak? Harga BBM di sana naik hingga 3,59 dolar AS atau Rp 57.418 per galon. Adapun satu galon BBM di AS berisi sekitar 3,78 liter.

Menyiasati BBM yang naik gila-gilaan, Pemerintah AS bakal menggelontorkan 1 juta barel BBM cadangan minyak strategisnya (Strategic Petroleum Reserve/SPR) yang terletak di wilayah Timur Laut AS. Langkah ini ditempuh untuk mengurangi harga BBM menjelang momentum libur panjang seperti kemerdekaan AS 4 Juli.

Ratusan ribu barel BBM cadangan itu bakal dijual dari lokasi penyimpanan di New Jersey dan Maine yang merupakan bagian dari Northeast Gasoline Supply Reserve atau Cadangan Pasokan Bensin Timur Laut.
“Kami berupaya memastikan aliran pasokan di tiga negara bagian dan wilayah timur laut ketika masyarakat membutuhkannya,” kata Sekretaris Departemen Energi AS, Jennifer Granholm, menukil CNBC International, Kamis (22/5/2024).

Bagaimana dengan Indonesia? Hingga saat ini, Pemerintah masih menahan harga BBM, LPG, dan listrik subsidi hingga Juni. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku, sejauh ini belum ada pembahasan mengenai subsidi energi. Ia masih fokus menyusun pembahasan Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) sebagai pembahasan awal APBN 2025.
“Sejauh ini, belum ada perubahan. Kita sedang fokus membahas pelaksanaan APBN (2025) sekarang ini,” ungkap Sri Mul, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (22/5/2024).

Lagipula, volume dan anggaran subsidi sudah ditetapkan dalam APBN 2024. Namun, Sri Mul akan mengamini apapun yang akan dilakukan Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN dalam rangka penyediaan energi murah bersubsidi bagi masyarakat.

Langkah-langkah yang akan dilakukan, baik oleh Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Pertamina akan kita dukung, karena mereka dalam APBN juga kan sudah ditetapkan jumlah volume dan juga anggaran subsidinya itu yang perlu dijaga,” ucapnya.

Mengenai harga BBM, LPG, dan listrik setelah Juni, Sri Mul enggan berandai-andai. Ia belum mendapatkan kabar lebih lanjut soal hal tersebut. “Saya belum update mengenai itu,” aku mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memprediksi, apa yang terjadi di AS tidak akan menular ke Indonesia. Menurutnya, kenaikan harga BBM di AS dalam beberapa tahun terakhir ditengarai adanya empat musim.
Kata dia, kebiasan masyarakat di sana, ketika terjadi peralihan musim: dari musim dingin ke musim semi, dan dari musim semi musim panas mobilitas mereka meningkat, terutama yang menggunakan kendaraan pribadi.
“Artinya permintaan terhadap BBM itu juga meningkat, dan itu mempengaruhi harga,” urai Faisal, saat dihubungi, Kamis (23/5/2024) malam.

Hal lainnya, sambung Faisal, harga BBM di AS menyesuaikan harga pasar. Berbeda dengan di Indonesia, yang masih diatur Pemerintah. “Pertalite dan Solar kan masih disubsidi dan ditetapkan harganya. Jadi, itu perbedaannya,” terang Faisal.

Yang perlu digarisbawahi, tekan Faisal, kenaikan BBM di AS saat ini jauh lebih rendah ketimbang tahun 2022. Saat itu inflasi AS sangat tinggi.
“Kabar baiknya, jika dilihat dari harga internasional: global crude oil price sepeti WTI crude dan Brent Crude, stabil di 82. Memang sempat naik, ketika Iran menyerang Israel, tapi kemudian turun,” katanya.

Berdasarkan tren harga dunia, masih kata Faisal, tekanan terhadap harga BBM di dalam negeri juga berkurang. Sehingga, tidak ada alasan bagi Pemerintah mengevaluasi harga BBM, khususnya yang bersubsidi.
Faisal meminta Pemerintah tidak menaikkan harga BBM dengan alasan ekonomi domestik sedang dalam tekanan, khususnya dari konsumsi rumah tangga. Sehingga, kebijakan yang diambil harus lebih hati-hati.

“Jangan mengeluarkan kebijakan yang kontra produktif terhadap daya beli masyarakat. Kalau pun dibutuhkan, waktunya bukan sekarang, terutama untuk BBM yang disubsidi seperti Pertalite dan Solar,” pungkas Faisal.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo