TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Mahalnya Biaya Kuliah Di Indonesia

Jurusan Kedokteran Seharga Mobil Alphard

Laporan: AY
Kamis, 20 Juni 2024 | 09:57 WIB
Ilustrasi. Foto : Ist
Ilustrasi. Foto : Ist

JAKARTA - Mahalnya biaya kuliah di Indonesia membuat banyak calon mahasiswa terpaksa mengurungkan niat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Jurusan dengan biaya kuliah paling besar masih ditempati oleh kedokteran. Sementara, Indonesia sedang kekurangan tenaga kesehatan, khususnya dokter.

Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menyoroti biaya pendidikan kedokteran di Indonesia yang semakin mahal. Bahkan, biaya awal untuk memem­puh pendidikan di kedokteran1 setara dengan harga mobil kelas premium keluaran terbaru.

“Saya sudah dapat datanya. Masya Allah, itu biaya1 institusinya bisa beli Alphard satu, hanya untuk membayar biaya gedung. Itu belum Uang Kuliah Tunggal (UKT)-nya, mungkin ratusan juta,” ujar Dede dalam rapat dengan Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan bersama Kemendikbudristek dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Dia menegaskan, mahalnya biaya pendidikan di fakultas ke­dokteran merupakan persoalan penting yang harus diselesaikan.

Sebab, Menteri Kesehatan (Menkes) kerap mengatakan Indonesia kekurangan dokter, tapi biaya untuk menjadikan anak-anak bangsa sebagai dokter sangat mahal. “Ini dilematis,” cetusnya.1

Lebih lanjut, politisi Partai Demokrat ini menyatakan, mahalnya biaya pendidikan merupakan salah satu masalah yang tidak kunjung selesai. Bahkan, masyarakat terus mempertanyakan komitmen pemerintah agar 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikucurkan untuk sek­tor pendidikan.

“Kami meminta Kemendikbudristek membedah prioritas anggaran terkait masalah pembiayaan pendidikan tinggi. Kami berharap, biaya pendidikan tinggi tidak membebani peserta didik dan orang tuanya,” tandasnya.

Menanggapi itu, Pelaksana1 Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Abdul Haris mengatakan, pada 2025 kebutuhan pembiay­aan pendidikan oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) meningkat, dan ada kekurangan dana sebe­sar Rp 41 triliun.

Penyebabnya, anggaran Kemendikbudristek pada 2025 dikurangi, lalu di saat bersamaan, biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) batal dinai­kkan. Pagu indikatif Kementerian Pendidikan tahun depan ditetapkan sebesar Rp 83,2 triliun atau turun dibandingkan pagu berjalan 2024 sebesar Rp 101,3 triliun.

“Dengan penurunan anggaran dan kenaikan biaya, dana op­erasional PTN di APBN 2025 hanya sekitar 16 persen dari se­belumnya 31 persen. Jadi, kami mendorong PTN memberikan strategi (pembiayaan) yang ter­baik,” ujarnya.

Dia memaparkan, tahun ini bi­aya operasional yang dibutuhkan PTN secara keseluruhan sebesar Rp 37,3 triliun. Sementara angga­ran untuk PTN dari pagu indikatif APBN 2024 hanya Rp 6,6 triliun. Dana dari UKT, tution fee, dan pendapatan lain hanya 16,2 triliun, sehingga masih terdapat kekuran­gan Rp 21,1 triliun.

“Tahun depan, biaya opera­sional diperkirakan membeng­kak, dengan penambahan sekitar 2 juta mahasiswa, dibutuhkan dana Rp 56,7 triliun. Penerimaan dari UKT dan biaya lain tidak bertambah, sementara pagu dikurangi,” jelasnya.

Sebelumnya, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyebutkan, ada tiga masalah dalam penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) ke­sehatan di Indonesia, yaitu jumlah, distribusi dan kualitas.

“Rata-rata dunia, jumlah dok­ter per populasi 1,76 per seribu. Negara maju, ya itu di atas dua lah. Dua per seribu, tiga per seribu, ada yang empat per seribu,” katanya.

Budi mengatakan, di nega­ra-negara yang hampir miskin atau upper middle income coun­try, jumlah dokter per popu­lasi adalah satu banding seribu. Dengan demikian, rasio dokter di Indonesia perlu naik 0,5 persen untuk memenuhi angka tersebut.

“Bila populasi penduduk sebe­sar 280 juta, maka dibutuhkan 140 ribu dokter lagi dan jika setahun kita memproduksi 12 ribu dokter, maka butuh 10 tahun untuk men­capai rasio itu,” tuturnya.

Di media sosial X, netizen juga mengeluhkan mahalnya biaya kuliah kedokteran.

Akun @nisaswiftie135 men­gatakan, biaya kuliah kedokteran sangat mahal. Seolah jurusan itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang berduit.

“Kuliah untuk jadi dokter itu mahal, mau jadi nakes juga ng­gak murah. Kalau dari keluarga kaya masih mending. Kalau dari keluarga pas-pasan? Terus, nggak dikasih kerja layak setelah lulus? Lalu, harus kuliah profesi lagi se­belum umurnya ketuaan,” tulisnya.

Akun @Wortelbersynar me­nambahkan, selain biaya kuliah, mahasiswa kedokteran juga akan diribetkan dengan koas dan biaya pendidikan spesialis yang lebih tinggi lagi. “Tolonglah dipahami kuliah kedokteran tuh mahal, belum lagi koas dan ka­lau mau lanjut pendidikan perlu biaya ratusan juta lagi,” cuitnya.

Akun @Syeikhleebit menyatakan, selain jurusan kedokteran, jurusan lain di rumpun ilmu kes­ehatan, juga dibebani dengan bi­aya kuliah yang tinggi. Kemudian, setelah lulus sarjana, harus lanjut ke pendidikan profesi.

“Buat jadi perawat, sekarang alurnya dibikin sama kayak FK, kuliah wajib S1, dan lanjut pendi­dikan profesi buat dapet STR, agar bisa memperpanjang SIP. Apoteker juga sama, temenku yang lulusan farmasi, kehalang biaya kuliah, akhirnya mutusin nggak lanjut pendidikan profesi,” ujarnya.

Sementara, akun @ryukas­ma mengaku prihatin mahalnya biaya kuliah, hingga membuat banyak orang gagal ke perguru­an tinggi. “Di banyak keluarga, tidak semua anak bisa mengecap bangku kuliah karena keterba­tasan biaya. Jadinya, mereka buat sistem gotong royong, anak tertua dikuliahin, saat sudah kerja, dia biayain adik-adiknya. Terbentuk lagi generasi sand­wich baru,” keluhnya.

Akun @maulitaass memiliki pandangan berbeda. Dia me­nilai, mahalnya biaya kuliah merupakan bentuk lepas tangan pemerintah terhadap sektor pen­didikan.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo