Ada Kabar Baik, Ada Juga Kabar Buruk Dari Sri Mulyani
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan kondisi APBN edisi Mei 2024. Ada kabar baik, ada juga kabar buruk. Kabar baiknya, inflasi terkendali rendah, daya beli terjaga, dan ekonomi bisa tumbuh positif. Kabar buruknya, penerimaan negara seret, defisit mulai membengkak, kurs rupiah yang melemah bikin biaya subsidi bertambah.
Sri Mulyani memaparkan kondisi APBN tersebut dalam konferensi pers APBN Kita, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (27/6/2024). konferensi pers tersebut disiarkan secara streaming melalui akun YouTube Kementerian Keuangan.
Sri Mulyani memulai pemaparan dengan memberikan sejumlah kabar baik. Kata dia, pada Mei 2024, inflasi tetap terkendali. Hal tersebut didorong oleh rendahnya harga pangan yang sebelumnya sempat melonjak. Inflasi turun dari 3 persen menjadi 2,84 persen secara tahunan. "Ini perkembangan yang cukup positif,” ucapnya.
Sebelumnya, kata Sri Mulyani, harga pangan telah menggerus daya beli langsung masyarakat. Harga pangan tinggi membuat daya beli anjlok, terutama kelompok masyarakat menengah bawah.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini lalu memaparkan kondisi ekonomi. Kata dia, ekonomi tetap stabil dengan pertumbuhan positif sekitar 5 persen. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) stabil di 125,2, dan Mandiri Spending Index (MSI) berada di level 45.
Sri Mul mengakui, kondisi ini membuatnya semringah. Inflasi rendah dan pertumbuhan positif 5 persen.
"Ini baik. Karena jarang ada negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan bahkan di atas 3 persen," ucapnya.
Sri Mulyani melanjutkan paparan yang membuatnya bersemangat. indeks penjualan riil tumbuh 4,7 persen, PMI Indonesia berada di posisi ekspansif 52,1 persen, dan konsumsi listrik tumbuh (untuk bisnis tumbuh 8,6 persen dan untuk industri naik 1,8 persen). Konsumsi semen juga tumbuh 11,2 persen, yang mencerminkan peningkatan aktivitas konstruksi setelah Lebaran dan liburan.
"Ini hal positif dari kegiatan ekonomi," imbuhnya
Setelah itu, Sri Mulyani memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi APBN saat ini dan kabar buruk yang harus diterima Indonesia. Kata dia, ketidakpastian ekonomi global terus meningkat akibat eskalasi konflik dan friksi antarnegara. Konflik geopolitik seperti perang di Ukraina, krisis Timur Tengah, dan persaingan AS-China menambah ketegangan, berdampak pada kebijakan industri, perdagangan, dan investasi. Negara-negara seperti AS, Eropa, India, dan China telah mengambil langkah preventif untuk melindungi kepentingan nasional mereka.
Dampak ketegangan ini menyebabkan peningkatan sanksi dan restriksi dagang, yang kini mencapai 3.000 langkah, meningkat drastis dari 982 langkah pada 2019. Sri Mulyani mencatat, peranan institusi global melemah, karena negara-negara cenderung mengambil tindakan unilateral.
Dampak kondisi global itu terasa dalam APBN Mei yang mengalami defisit Rp 21,8 triliun (0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto/PDB), meski keseimbangan primer masih positif dengan surplus Rp 184,2 triliun.
Sampai Mei, belanja negara mencapai Rp 1.145,3 triliun (34,4 persen dari pagu). Sementara, pendapatan negara seret, dengan hanya Rp 1.123,5 triliun (40,1 persen dari target). Terjadi penurunan penerimaan negara sebesar 7,1 persen jika dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Kata Sri Mulyani, terjadi karena berakhirnya reli harga komoditas.
Dia lalu memaparkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada perdagangan Rabu (26/6/2024), rupiah terdepresiasi sebesar 0,18 persen ke level Rp 16.400 per dolar AS. Ini adalah posisi terendah sejak pandemi Covid-19.
Pelemahan nilai tukar rupiah ini berdampak ke mana-mana, seperti meningkatnya belanja subsidi. Pada Mei 2024, belanja subsidi mencapai Rp 77,8 triliun, naik 3,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Rinciannya, subsidi energi mencapai Rp 56,9 triliun, dan non-energi Rp 21 triliun.
Depresiasi rupiah terhadap dolar AS juga berdampak pada kebijakan pembiayaan utang pemerintah. Pemerintah lebih berhati-hati dalam pembiayaan anggaran melalui utang. Pada Mei 2024, pembiayaan anggaran melalui utang sebesar Rp 84,6 triliun, turun 28,7 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Untuk menutupi defisit, pemerintah memanfaatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dari tahun sebelumnya.
Melihat kondisi ini, ekonom senior Aviliani mengingatkan agar Pemerintah mengelola APBN dengan baik. Dia tidak ingin Indonesia jatuh ke jurang resesi seperti yang dialami Argentina saat ini, yang mengelola APBN asal-asalan.
Aviliani mengingatkan, saat ini nilai tukar rupiah melemah hingga melebihi Rp 16.400 per dolar AS. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan APBN harus betul-betul menjadi perhatian. Sebab, pelemahan rupiah akan mempengaruhi berbagai belanja negara yang berkaitan dengan subsidi.
Ia juga mengingatkan fenomeno pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih terjadi di dunia industri, seperti di sektor tekstil. Fenomena ini harus secepatnya dicarikan solusi. Pasalnya, hal tersebut dapat menambah sentimen negatif pada investor ke Indonesia.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 20 jam yang lalu