Relasi Hukum Pemerintahan
RELASI hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum (Ndraha, 2002). Setiap relasi dalam kaitan itu mengandung dua aspek utama, yaitu hak dan kewajiban. Artinya, hak bagi satu pihak, kewajiban bagi pihak yang lain. Sama halnya dalam hubungan pemerintahan, bila pemerintah berkewajiban maka yang diperintah berhak. Demikian sebaliknya.
Dalam realitasnya, kewajiban pemerintah cenderung terlihat pada negara ketimbang pada yang diperintah (rakyat). Kondisi ini mengkonstruksi hubungan antara kewajiban (pemerintah) dengan kekuasaan pada negara, bukan kewajiban dengan hak. Dalam artian yang terbentuk adalah hubungan kekuasaan, bukan hubungan hukum pemerintahan.
Relasi yang tak kunjung seimbang itu terkadang membentuk kekuasaan menjadi tak terbatas (unlimited). Apalagi jika pemerintah dengan sadar mengidentifikasikan diri atas nama negara. Seterusnya ia dengan mudah mengklaim bahwa semua sumber daya adalah properti sebagaimana raja-raja tempoe doeloe. Fakta ini melanggengkan relasi kekuasaan feodal yang lama terkubur (patron-client).
Pelanggengan relasi itu menjebak rakyat dalam posisi memenuhi kewajiban seumur hidup dengan terpaksa, ketimbang menerima hak-hak dasarnya. Rakyat wajib membayar pajak tanpa alasan guna melengkapi gaji, fasilitas hingga menanggung derita dan pengorbanan dari mereka yang memerintah. Sementara imbangan hak rakyat dari kewajiban yang dipenuhi tak selalu sepadan.
Dalam sistem sosial hubungan hukum pemerintahan berbeda dengan relasi ekonomi. Bila ekonomi mensyaratkan imbal-balik antara produsen dan konsumen, maka pemerintah mewajibkan pelayanan bagi fakir miskin dan anak terlantar meski ia tak membayar pajak sesenpun. Demikian pula kewajiban pada seorang bayi dalam hal pengakuan eksistensi sekalipun Ia tak dibebani secuil kewajiban oleh negara.
Kesadaran pemerintah terhadap kewajiban semacam itu kini langka ditemukan. Seorang gubernur di Jakarta membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi keluarga mantan pejuang kemerdekaan adalah sedikit contoh. Contoh di mana kewajiban dipenuhi atas sedikit hak yang dinanti warga tertentu. Ia tak hanya mengoleksi pajak sebagai kewajiban yang menghubungkan kuasa pada negara, juga pemenuhan hak pada warga dalam relasi hukum pemerintahan.
Jika dalam banyak kasus hak dasar warga negara tak sepenuhnya pemerintah penuhi, bermakna pula bahwa kealpaan menegakkan kewajiban mencerminkan pelanggaran atas konstitusi, hukum, dan etika pemerintahan. Pada sebaliknya, apatisme warga atas kewajiban mentaati semua ketentuan berarti pula pelanggaran atas hak dasar negara yang dipersonifikasi oleh pemerintah.
Kesulitan terbesar pemerintah adalah menegakkan hak dasar warga dibanding hak dasar negara. Bila hak dasar warga terlanggar Ia tak punya kekuatan pemaksa kecuali berjuang atas nama pribadi pada institusi peradilan yang tak selalu berpihak. Sebaliknya, pelanggaran atas hak konstitusional negara dengan mudah dapat diinisiasi oleh otoritas pemerintah sebagai kekuatan pemaksa. Di sini fungsi pemerintah diuji.
Ujian pertama berkenaan dengan kewajiban pemerintah memenuhi hak warga memperoleh peradilan yang layak. Tidak sampai di situ, lebih dari itu kesungguhan pemerintah berpihak pada yang lemah dari yang kuat, yang tak berpunya dari yang berpunya, atau yang rendahan dengan yang berpangkat. Di situ relasi hukum pemerintahan akan tampak, yaitu kewajiban pemerintah dipenuhi, hak warga diperoleh.
Ujian kedua berkenaan dengan keseriusan pemerintah dalam memenuhi hak negara. Menutup mata atas hak negara dari para penggelap pajak, atau membiarkan hak negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dirampok dan kabur ke luar negeri menunjukkan lemahnya otoritas hukum pemerintahan. Hak negara abai dilindungi oleh pemerintah sebagai personifikasinya.
Pembiaran hak warga dan hak negara terjadi karena hilangnya kesadaran pemerintah dalam relasi hukum pemerintahan. Perselingkuhan aktor pemerintah dengan kelompok oligarchi di waktu tertentu, atau berlindung di ketiak negara pada saat yang lain menunjukkan sifat-sifat oportunistik-pragmatisnya. Inilah fakta di mana relasi kuasa lebih subur dibanding relasi hukum pemerintahan yang meletakkan hak dan kewajiban secara proporsional.(*)
*) Penulis adalah analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Galeri | 8 jam yang lalu