Banyak Kasus Anak Cuci Darah Kian Memicu Keprihatinan
JAKARTA - Kabar adanya anak-anak yang menjalani cuci darah, ramai dibahas. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan, setidaknya 1 dari 5 anak Indonesia yang berusia 12-18 tahun, berpotensi mengalami kerusakan ginjal. “Penyebabnya adalah gaya hidup yang kurang sehat", ucapnya, dikutip dari Detik.
Sementara itu, pihak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menjelaskan, kabar yang menyebutkan, anak cuci darah membludak, tidak benar.
“Di rumah sakit tidak ada lonjakan, tapi kalau dilihat angkanya, pasien kami cukup banyak,” ujar dokter spesialisanak RSCM, Dr Eka Laksmi Hidayati, dalam video live Instagram, mengutip Kompas.com.
Eka menyebutkan, anak yang melakukan dialisis atau prosedur yang menggantikan beberapa fungsi ginjal ketika ginjal tidak lagi berfungsi normal, secara rutin di RSCM ada sekitar 60 pasien. Namun, tidak semuanya hemodialisis.
“Dialisis itu ada yang hemodialisis dengan mesin (sering disebut cuci darah). Ada juga yang dialisis dengan perut, jadi mereka tidak datang ke rumah sakit setiap minggu, tetapi hanya kontrol per bulan,” terangnya.
Eka menekankan, RSCM memiliki pasien cuci darah pada anak yang banyak karena rumah sakit ini adalah rumah sakit rujukan dan pengampu uronefrologi di Indonesia. “Banyak rujukan dari luar Jakarta, bahkan dari luar Pulau Jawa yang datang ke sini,” ucapnya.
Meskipun begitu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, hal ini menjadi peringatan bagi seluruh masyarakat dan Pemerintah. Bahwa, di tengah kemajuan industri makanan dan mudah mendapatkannya, banyak anak yang cuci darah.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati prihatin. Politisi Fraksi PKS ini menyarankan, Pemerintah membuat kebijakan komprehensif dalam menangani kasus cuci darah maupun diabetes pada anak.
Untuk membahas topik ini lebih lanjut, berikut pandangan Jasra Putra.
Bagaimana Anda melihat fenomena kasus cuci darah pada anak?
Hasil penelitian para dokter anak di seluruh Indonesia, menjadi peringatan keras untuk kita semua. Bahwa, industri makanan yang didukung perkembangan zat kimia dan olahan makanan, kemudian harga yang sangatmurah, dan industri kemasan yang kekinian, ternyata meninggalkan persoalan untuk anak-anak kita. Apalagi, anak-anak yang belum memahami komposisi gizi seimbang.
Upaya yang dapat dilakukan seperti apa?
Ini tantangan besar untuk lembaga pengawasan obat dan makanan kita. Bagaimana menghadirkan uji lab makanan di tengah masyarakat. Agar ada pengawasan. Kita juga berharap program makan gratis, tidak hanya bicara makanan.
Maksudnya bagaimana?
Harus ada mekanisme sistem yang bisa melindungi dan mengendalikan industri makanan kita. Melalui program makan gratis ke depan, sosialisasi gejala ginjal pada anak, bagaimana pengawasan makanan dan uji lab makanan, bisa hadir di tengah masyarakat.
Apa langkah pencegahan yang bisa diterapkan?
Sebagai pencegahan dan deteksi dini, penting segera ada sosialisasi gejala sebelum terganggu ginjalnya dan cuci darah, kemudian konsumsi air putih yang perlu diperhatikan, mengurangi konsumsi zat pembuat manis, garam dan lemak.
Kita juga perlu membudayakan olahraga di keluarga, sekolah dan masyarakat, di tengah kurang bergeraknya anak karena gawai. Kita perlu menggiatkan lagi olahraga dan budaya.
Apa penyebab anak harus cuci darah?
Saya kira kemasan makanan sekarang “jadi barang mewah”. Sehingga, menjadi industri viral dengan kemasan-kemasan yang luar biasa menarik untuk anak. Namun, apakah di sana ada uji lab dan pengawasan. Nah, ini PR kita semua untuk memastikannya. Bagaimana memastikan BPOM juga memiliki jejaring kerja pengawasan obat dan makanan di tengah masyarakat, di lingkungan sekolah, lingkungan bermain anak.
Apa dampak negatif mengonsumsi makanan mengandung gula, garam dan lemak berlebih?
Akan mempengaruhi suasana hati mereka, yang berujung mudah cemas dan reaktif. Sehingga, ujungnya bersikap agresif. Ini akan menyebabkan anak tidak memiliki kecerdasan emosi, reaktif, berujung rentan, dan mudah mendapat perlakuan salah
Selain itu?
Begitu juga tren tantangan makan pedas dengan level yang berisiko menganggu pencernaan, dan memicu makan lebih banyak.
Kita pun membayangkan aktivitas anak-anak yang lebih banyak di medsos, disrupsi informasi yang jarang bergerak. Dan, dipicu reaksi konsumsi makanan berlebihan akibat reaksi rasa, seperti level pedas, asam, manis, asin yang melebihi batas normal.
Penting untuk mengejar ketertinggalan pemenuhan hak kesehatan dalam rangka mempersiapkan modal kesehatan yang tinggi untuk masa depan anak-anak kita. Sehingga, ketegasan Pemerintah dalam pengawasan obat dan makanan perlu terus ditingkatkan.
TangselCity | 23 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 18 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 15 jam yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu