Mencegah Lahirnya Multi Radikalisme
JAKARTA - Satu bentuk radikalisme saja sudah merepotkan kita semua. Apalagi dengan lahirnya multi radikalisme di masyarakat.
Di masyarakat, ada fenomena yang perlu dicermati secara serius, yaitu kecenderungan akan lahirnya multi radikalisme, berupa radikalisme berbasis agama, pasar bebas, dan politik.
Radikalisme berbasis agama ditandai dengan menguatnya ideologi aliran keagamaan, seperti maraknya aksi-aksi gerakan-gerakan yang mengarah kepada pergantian ideologi bangsa dengan memunculkan konsep-konsep ideologi lain.
Seperti baru-baru ini, sekelompok masyarakat yang didominasi anak-anak muda berpawai dengan membawa bendera Khilafah Islamiyah.
Beberapa waktu lalu juga telah marak simbol-simbol khilafah di kalangan mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi.
Radikalisme berbasis agama rawan ditumpangi oleh kelompok-kelompok radikal lain, karena emosi radikalisme yang paling dahsyat ialah radikalisme berbasis agama karena.
Sementara radikalisme pasar bebas sebetulnya tidak kalah bahayanya untuk masa depan bangsa.
Radikalisme berbasis agama sepertinya lebih dahsyat karena korbannya langsung terlihat berdarah dan mematikan, namun radikalisme pasar bebas tidak kalah bahayanya, karena korbannya bisa lebih banyak dari pada radikalisme agama.
Tak terhitung jumlah korban meninggal karena faktor kemiskinan, yang antara lain disebabkan oleh sistem pasar bebas yang memberi peluang lebih besar kepada sekelompok masyarakat, untuk mengakses pangsa pasar dan menguasai sumber-seumber produksi; sementara kelompok masyarakat mayoritas hanya bisa berebutan di sektor informal yang semakin mengecil.
Akibatnya, mereka yang tidak memiliki kekuatan dan daya saing terlempar ke pinggiran menunggu saat-saat kehancurannya.
Jika Pemerintah tidak melakukan kepemihakan, maka pasca Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tentu akan lebih parah lagi.
Kemudian, radikalisme politik dengan berlindung di bawah panji-panji demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), juga tidak kalah serunya. Dalam era reformasi dewasa ini, bukan rahasia lagi, atas nama demokrasi, keadaban publik disingkirkan.
Atas nama HAM, keunikan nilai-nilai warisan lokal dan nilai-nilai universal keagamaan dipaksa menyesuaikan diri dengan nilai-nilai HAM tafsiran negara-negara adidaya.
Atas nama kebebasan beragama, sinkretisme dan khurafat dilegalkan. Atas nama keterbukaan, aib orang lain dibongkar seenaknya.
Atas nama otonomi daerah, para WNI pendatang dari daerah lain disingkirkan. Untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), lingkungan alam dieksploitasi melampaui ambang batasnya.
Pariwisata seksual dilegalkan. Untuk merebut kursi jabatan, maka uang, dukun, preman, dan berbagai konsesi dijalankan. Banyak lagi fenomena akibat radikalisme politik.
Tentu saja satu di antaranya ialah maraknya korupsi. Karena mereka harus membayar utang politik para penguasa, maka pundi-pundi dipasang di mana-mana.
Ketiga bentuk radikalisme di atas betul-betul mengganggu kehidupan dan ketenangan kita sebagai umat dan sebagai warga bangsa.
Untuk keluar dari ketiga bentuk radikalisme di atas, tidak ada cara lain, kecuali kita kembali memperbaharui komitmen kebangsaan kita, yakni memperkuat pilar-pilar kebangsaan kita, seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Terhadap radikalisme berbasis agama, diharapkan para ulama dan tokoh-tokoh agama lebih proaktif lagi membina umat, agar tidak jatuh di bawah kelompok garis keras.
Untuk radikalisme pasar bebas, kita perlu menegaskan ideologi perekonomian bangsa, sebagaimana tercantum dalam batang tubuh UUD 1945.
Untuk radikalisme politik, diharapkan para elite politik menjunjung tinggi fair play dalam menjalankan peran politiknya.
Di atas segala-galanya, kita perlu terus menggalakkan rasa nasionalisme keindonesiaan yang mencintai negeri, berikut dengan seluruh komponen bangsa yang ada di dalamnya.
Setiap kali menjelang pemilu, suhu politik biasanya memanas. Apa saja bisa ditunggangi untuk menggolkan berbagai kepentingan subyektif.
Jika kita lengah, maka ketiga potensi radikalisme tersebut di atas bisa dimanfaatkan sedemikian rupa oleh kelompok-kelompok tertentu, untuk mewujudkan cita-cita tertentu dari kelompok itu, dengan memompakan semangat patriotik, yang sesungguhnya isinya tidak lain untuk mempromosikan sosok figur atau sebuah aliran ideologi tertentu, yang mungkin tidak sejalan dengan perinsip-perinsip ideologi bangsa yang diakumulasikan dalam sebuah istilah NKRI. (rm.id)
TangselCity | 18 jam yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 22 jam yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 15 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 19 jam yang lalu
Ekonomi Bisnis | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu