TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Berantas Kasus Kekerasan Di Pesantren, Evaluasi Sistem Pendidikan

Oleh: Farhan
Minggu, 06 Oktober 2024 | 12:37 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Tindak kekerasan tidak boleh terjadi di semua jenjang dan bentuk pendidikan. Selain sekolah umum, pesantren juga kerap jadi tempat terjadinya tidak kekerasan terhadap para siswa. Hal ini mendesak dibenahi.

Koordinator Nasional Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), Kiai Yoyon Syukron Amin menyatakan, pesantren harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan sumber daya manusia berakhlak mulia, tanpa menggunakan metode kekerasan. Menurutnya, penegasan itu merupakan komitmen pihaknya dalam menanggulangi segala bentuk kekerasan di dunia pesantren.

“Kami prihatin dan menge­cam segala bentuk kekerasan di lingkungan pesantren. Pesantren harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak, tempat untuk belajar, bukan tempat mereka menjadi korban kekerasan,” ujar Kiai Yoyon dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/10/2024).

Pihaknya pun mengusulkan adanya evaluasi tentang sistem pendidikan yang ada di pesantren. Dengan begitu, harap dia, tindak kekerasan terhadap santri seperti yang terjadi di Aceh Barat tidak terulang, seka­ligus menghilangkan citra buruk pesantren.

“Kami mendesak para pe­mangku kebijakan, baik di tingkat pesantren maupun pemerintah, untuk segera melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang ada. Pendidikan harus mengedepankan pendeka­tan humanis dan dialogis, sesuai prinsip Islam yang mengajarkan rahmat bagi semesta alam,” tuturnya.

JPPRA, sambung Kiai Yoyon, menghormati hak-hak anak sesuai Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, yang menegaskan, setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan salah, eksploitasi, serta kekerasan fisik dan mental.

Pihaknya juga mendukung proses hukum yang adil atas tindakan kekerasan yang di­lakukan oleh oknum di area kawasan pesantren manapun. “Kami mendukung seluruh upaya aparat penegak hukum, dalam menangani kasus ke­kerasan di pesantren, secara adil dan transparan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Kiai Yoyon mengajak seluruh pesantren di Indonesia, memperkuat komitmen untuk menciptakan lingkungan yang ramah anak. Menurutnya, pendidikan ber­basis kasih sayang dan dia­log, menjadi prioritas utama dalam membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berkualitas.

Kami berharap, ini menjadi momentum untuk memper­baiki sistem pendidikan di pesantren, serta menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif bagi para santri,” tandasnya.

Terpisah, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Anggi Afriansyah menegaskan, huku­man fisik bukan bagian dari pendidikan. Tindakan itu tidak sesuai dengan kebutuhan kegiatan belajar mengajar di institusi pendidikan.

“Hukuman fisik tidak mendidik, dan membuat siswa atau santri belajar dari hukumannya. Esensi hukuman bagi pelajar, memberi penyadaran kepada mereka, tindakan yang mereka lakukan di luar jalur pendidi­kan,” terangnya.

Lebih lanjut, Anggi menutur­kan, hukuman kepada peserta didik harus memiliki unsur men­didik, seperti diminta bersih-bersih lingkungan, membantu masyarakat, atau tindakan lain, yang dapat membuat anak me­nyadari adanya hal bermanfaat yang bisa mereka lakukan.

“Pendidikan merupakan komitmen antara pendidik den­gan yang peserta didik. Sebab itu, perlu ada aturan yang disepakati oleh kedua belah pihak, untuk menghormati proses pendidikan,” imbuhnya.

Jika peserta didik melakukan tindakan di luar batas kesepakatan, sambung Anggi, kesepakatan terhadap hukuman yang diberikan harus melibatkan orang tua. Misalnya, ketika ada perundungan, pelaku kekerasan, tawuran, narkoba, kekerasan seksual dan lain sebagainya.

Dalam konteks itu, sekolah tidak dapat mendiamkan pelaku dan membiarkan mereka tidak mendapatkan hukuman. Namun, hukuman yang diberikan, harus sesuai kesepakatan yang disepakati diawal,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah mengatakan, tingginya laporan kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat. Tahun ini, ungkap dia, pihaknya menerima sebanyak 18 ribu laporan dari se­luruh daerah dan akumulasi data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).

“Data tersebut menunjukkan, kesadaran masyarakat untuk melaporkan semakin tinggi. Ini harus kita lihat sebagai sentimen positif, sekaligus menjadi perha­tian serius semua pihak karena angka kekerasan terhadap anak sangat besar,” ucap Ai.

Di media sosial X, netizen prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah maupun pesantren. Pasalnya, para orang tua mengantarkan anaknya ke tempat pendidikan, agar anak mereka mendapat pengetahuan dan akhlak yang baik.

Akun @ajinawawi menyatakan, kekerasan di pesantren dan institusi pendidikan berbasiskan agama, merupakan suatu yang tidak wajar. “Kenapa orang lebih meributkan perlakuan kekerasan yang terjadi di pesantren? Sebab, pesantren dianggap sebagai tem­pat suci, tempat yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Jadi, itu tidak boleh terjadi di pesantren,” tulisnya.

“Kekerasan terhadap anak di institusi agama merupakan sebuah anomali. Itu tidak hanya terjadi di lingkungan pesantren, bisa juga terjadi di sekolah agama lain. Tapi, belum semua terungkap. Makanya, perlu pem­benahan menyeluruh, utamanya di lingkungan pendidikan yabg mengedepankan ajaran agama,” timpal akun @aer_es_es.

Sementara itu, akun @mulee­www mengungkapkan, hukuman di pesantren memgara pada upaya mendisiplinkan santri, ketimbang melakukan kekerasan.

“Pas di pesantren dulu, aku sering kena hukuman gara-gara ketiduran. Paling berat, disuruh ngebersihin toilet selama seminggu, atau piket kelas gitu. Aku nggak pernah dapat hukuman kekerasan fisik, perpeloncoan, atau hukuman yang aneh-aneh,” ungkapnya.

Akun @erilia_zee me­nyarankan, setiap lembaga pen­didikan yang terbukti melakukan atau membiarkan terjadinya kekerasan perlu dihukum juga. “Kalau ada pesantren yang membiarkan terjadi kekerasan, itu nggak bener, nggak mencer­minkan nilai agama. Agama nggak ngajarin didik anak pakai kekerasan, apalagi sampai trau­ma, cedera, bahkan meninggal,” cetusnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo