TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Fenomena Childfree Makin Tumbuh Subur Di Indonesia

Oleh: Farhan
Kamis, 14 November 2024 | 09:47 WIB
Ilustrasi. Foto : Ist
Ilustrasi. Foto : Ist

JAKARTA - Kajian Badan Pusat Statistik (BPS) bertema “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia” mengungkap fenomena childfree alias keputusan tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun adopsi, mengalami tren kenaikan. Pegiat dunia maya juga ramai membahas soal ini.

Berdasarkan hasil Sur­vei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2022, persen­tase perempuan childfree di Indonesia sebanyak 8,2 persen atau setara dengan 71 ribu orang.

Penulis kajian BPS tentang childfree Satria Bagus Panun­tun menyatakan, persentase perempuan childfree sebesar 8,2 persen tahun 2022 mengalami kenaikan 1,7 persen dibanding tahun sebelumnya.

Menurutnya, prevalensi perempuan childfree dalam kajian itu dihitung dari perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah kawin, tapi belum pernah mela­hirkan anak dan tidak mengguna­kan KB (Keluarga Berencana).

“Adanya tren kenaikan child­free berkontribusi signifikan ter­hadap penurunan Total Fertility Rate (TFR) atau jumlah anak yang dilahirkan di Indonesia,” ujar Satria melalui keterangan tertulisnya, Rabu (13/11/2024).

Lebih lanjut, Satria menjelas­kan, perempuan yang mengejar pendidikan lebih tinggi lebih sering menunda, bahkan tidak berkeinginan memiliki anak. Khususnya mereka yang men­empuh pendidikan S2 atau S3.

“Meningkatnya persentase perempuan childfree lulusan perguruan tinggi di Indonesia, mengindikasikan adanya aso­siasi yang kuat antara level pen­didikan dengan paradigma baru kepemilikan anak,” imbuhnya.

Penulis kajian BPS Yuniarti menambahkan, berdasarkan ka­jian yang dilakukan pihaknya, Pulau Jawa merupakan pusat berkembangnya paradigma child­free di Indonesia. Tahun 2022, persentase perempuan yang tidak ingin memiliki anak di Pulau Jawa hampir mencapai 9 persen.

“Sebagian besar dari mereka berdomisili di Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Para perem­puan childfree ini lebih banyak hidup di perkotaan dan sangat terbuka terhadap modernisasi pola pikir,” jelasnya.

Temuan menarik lainnya, sebut Yuniarti, pandemi Co­vid-19 juga memberi andil pada keputusan childfree masyarakat. Saat dan pasca pandemi, neraca ekonomi rumah tangga goyang, sehingga childfree dianggap sebagai salah satu usaha menor­malkan keuangan.

“Banyak perempuan memilih childfree agar tidak memperbu­ruk perekonomian keluarga,” imbuhnya.

Dalam jangka pendek, lanjut Yuniarti, perempuan childfree bisa meringankan beban ang­garan Pemerintah, karena sub­sidi pendidikan dan kesehatan untuk anak berkurang.

Namun, dalam jangka pan­jang, perempuan childfree akan menua tanpa keluarga, sehingga berpotensi menjadi tanggung jawab negara.

“Pertanyaannya, apakah Peme­rintah cukup siap memberikan jaminan sosial untuk mereka,” cetusnya.

Terpisah, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Isyana Bagoes Oka menyatakan, selain mengatasi masalah stunting, pihaknya akan beru­saha menjaga angka kelahiran atau TFR agar tidak mengalami penu­runan maupun peningkatan drastis.

“Kita harus tetap berada pada angka ideal 2,1. Kalau TFR ter­lalu drop, bisa jadi aging society, seperti di Jepang, Korea Selatan dan negara-negara maju lainnya. Tentunya kami akan berkolab­orasi, melihat bagaimana cara yang paling tepat,” ucapnya.

Di media sosial X, fenomena childfree juga banyak diperbin­cangkan, bahkan kerap melahir­kan perdebatan.

Akun @iimfahima menyesal­kan, titik fokus BPS pada fenome­na childfree ada pada perempuan. Menurutnya, keputusan childfree disebabkan berbagai faktor lain.

Childfree tinggi disebabkan oleh: Rumah mahal, sekolah ma­hal, makanan sehat mahal, lapang­an kerja sempit, kebijakan nggak berpihak pada perempuan bekerja, dan lain sebagainya. Ini semua isu struktural, tanggung jawab Peme­rintah. Ini belum membahas isu budaya, dimana laki-laki patriarkis nggak mau berbagi peran dalam rumah tangga, masih banyak...! Tapi yang disalahkan atas isu besar ini: PEREMPUAN,” protesnya.

“Inilah alasanku nggak pernah nge-judge orang yang nggak mau nikah atau nggak mau pu­nya anak. Soalnya, masalahnya sangat kompleks kak,” timpal akun @sailorusagiii.

Akun @emye82 berpendapat, keputusan seseorang atau pasang­an untuk childfree, pasti dilakukan dengan pertimbangan matang. Hal itu bersifat pribadi sehingga tidak etis menggunjing orang-orang memutuskan childfree.

“Daripada judge childfree/ti­dak, lebih baik kita paham: 1) Ada yang punya kondisi medis. 2) Ada yang belum siap mental/finansial. 3) Ada yang mau fokus goals lain dulu. Yang penting: hormati pilihan orang lain dan jangn lupa anak itu amanah, bukan ‘achieve­ment’ sosial. Let’s be kind to each other,” tuturnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo