Fenomena Childfree Makin Tumbuh Subur Di Indonesia
JAKARTA - Kajian Badan Pusat Statistik (BPS) bertema “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia” mengungkap fenomena childfree alias keputusan tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun adopsi, mengalami tren kenaikan. Pegiat dunia maya juga ramai membahas soal ini.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2022, persentase perempuan childfree di Indonesia sebanyak 8,2 persen atau setara dengan 71 ribu orang.
Penulis kajian BPS tentang childfree Satria Bagus Panuntun menyatakan, persentase perempuan childfree sebesar 8,2 persen tahun 2022 mengalami kenaikan 1,7 persen dibanding tahun sebelumnya.
Menurutnya, prevalensi perempuan childfree dalam kajian itu dihitung dari perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah kawin, tapi belum pernah melahirkan anak dan tidak menggunakan KB (Keluarga Berencana).
“Adanya tren kenaikan childfree berkontribusi signifikan terhadap penurunan Total Fertility Rate (TFR) atau jumlah anak yang dilahirkan di Indonesia,” ujar Satria melalui keterangan tertulisnya, Rabu (13/11/2024).
Lebih lanjut, Satria menjelaskan, perempuan yang mengejar pendidikan lebih tinggi lebih sering menunda, bahkan tidak berkeinginan memiliki anak. Khususnya mereka yang menempuh pendidikan S2 atau S3.
“Meningkatnya persentase perempuan childfree lulusan perguruan tinggi di Indonesia, mengindikasikan adanya asosiasi yang kuat antara level pendidikan dengan paradigma baru kepemilikan anak,” imbuhnya.
Penulis kajian BPS Yuniarti menambahkan, berdasarkan kajian yang dilakukan pihaknya, Pulau Jawa merupakan pusat berkembangnya paradigma childfree di Indonesia. Tahun 2022, persentase perempuan yang tidak ingin memiliki anak di Pulau Jawa hampir mencapai 9 persen.
“Sebagian besar dari mereka berdomisili di Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Para perempuan childfree ini lebih banyak hidup di perkotaan dan sangat terbuka terhadap modernisasi pola pikir,” jelasnya.
Temuan menarik lainnya, sebut Yuniarti, pandemi Covid-19 juga memberi andil pada keputusan childfree masyarakat. Saat dan pasca pandemi, neraca ekonomi rumah tangga goyang, sehingga childfree dianggap sebagai salah satu usaha menormalkan keuangan.
“Banyak perempuan memilih childfree agar tidak memperburuk perekonomian keluarga,” imbuhnya.
Dalam jangka pendek, lanjut Yuniarti, perempuan childfree bisa meringankan beban anggaran Pemerintah, karena subsidi pendidikan dan kesehatan untuk anak berkurang.
Namun, dalam jangka panjang, perempuan childfree akan menua tanpa keluarga, sehingga berpotensi menjadi tanggung jawab negara.
“Pertanyaannya, apakah Pemerintah cukup siap memberikan jaminan sosial untuk mereka,” cetusnya.
Terpisah, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Isyana Bagoes Oka menyatakan, selain mengatasi masalah stunting, pihaknya akan berusaha menjaga angka kelahiran atau TFR agar tidak mengalami penurunan maupun peningkatan drastis.
“Kita harus tetap berada pada angka ideal 2,1. Kalau TFR terlalu drop, bisa jadi aging society, seperti di Jepang, Korea Selatan dan negara-negara maju lainnya. Tentunya kami akan berkolaborasi, melihat bagaimana cara yang paling tepat,” ucapnya.
Di media sosial X, fenomena childfree juga banyak diperbincangkan, bahkan kerap melahirkan perdebatan.
Akun @iimfahima menyesalkan, titik fokus BPS pada fenomena childfree ada pada perempuan. Menurutnya, keputusan childfree disebabkan berbagai faktor lain.
Childfree tinggi disebabkan oleh: Rumah mahal, sekolah mahal, makanan sehat mahal, lapangan kerja sempit, kebijakan nggak berpihak pada perempuan bekerja, dan lain sebagainya. Ini semua isu struktural, tanggung jawab Pemerintah. Ini belum membahas isu budaya, dimana laki-laki patriarkis nggak mau berbagi peran dalam rumah tangga, masih banyak...! Tapi yang disalahkan atas isu besar ini: PEREMPUAN,” protesnya.
“Inilah alasanku nggak pernah nge-judge orang yang nggak mau nikah atau nggak mau punya anak. Soalnya, masalahnya sangat kompleks kak,” timpal akun @sailorusagiii.
Akun @emye82 berpendapat, keputusan seseorang atau pasangan untuk childfree, pasti dilakukan dengan pertimbangan matang. Hal itu bersifat pribadi sehingga tidak etis menggunjing orang-orang memutuskan childfree.
“Daripada judge childfree/tidak, lebih baik kita paham: 1) Ada yang punya kondisi medis. 2) Ada yang belum siap mental/finansial. 3) Ada yang mau fokus goals lain dulu. Yang penting: hormati pilihan orang lain dan jangn lupa anak itu amanah, bukan ‘achievement’ sosial. Let’s be kind to each other,” tuturnya.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu