TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Tahun Depan Tidak Ada Kenaikan Cukai Rokok

Oleh: Farhan
Editor: Redaksi
Minggu, 22 Desember 2024 | 09:44 WIB
Ilustrasi. Foto : Ist
Ilustrasi. Foto : Ist

JAKARTA - Sejumlah kalangam meminta Pemerintah mengevaluasi keputusan tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok di 2025. Sebab, tanpa kenaikan tarif cukai, upaya menurunkan prevalensi perokok sulit dicapai.

Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Aryana Satrya menyatakan, penerapan cukai hasil tembakau akan menurunkan prevalensi perokok, terutama pada anak-anak. Kerenanya, dia menyesalkan, Pemerintah memutuskan tak menaikan tarif cukai rokok di tahun 2025.

“Di Indonesia, prevalensi perokok anak masih belum terkendali. Selain itu, berbagai studi membuktikan, harga rokok di Indonesia masih murah, dan pengeluaran rumah tangga untuk rokok menempati posisi kedua setelah bahan makanan,” ujar Aryana, dikutip Sabtu (21/12/2024).

Menurut dia, kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) yang disebut-sebut akan menekan keterjangkauan masyarakat terhadap harga rokok, belum signifikan. Aryana menilai, kenaikan HJE terhadap semua jenis rokok masih sangat murah, bahkan harga tertinggi masih di bawah 50 ribu rupiah per bungkus atau sekitar Rp 2.500 per batang.

“Itu masih sangat terjangkau oleh kelompok rentan, anak-anak, dan keluarga miskin. Padahal, hasil penelitian Nurhasanah dan kawan-kawan pada 2022 menunjukkan, para perokok baru akan berhenti merokok, jika harga rokok mencapai Rp 75.000 per bungkus atau Rp 3.500 per batang,” tuturnya.

Diketahui, Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 dan 97 Tahun 2024, Harga Jual Eceran (HJE) rokok konvensional naik rata-rata 10 persen untuk tahun 2025, atau terendah sejak 2023, yang berkisar diangka 13 persen. Sementara, HJE rokok elektrik naik rata-rata 11 persen, lebih tinggi daripada kenaikan tahun 2024.

Terpisah, Founder yang juga CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih mengaku belum melihat adanya upaya signifikan, untuk mendekatkan jarak tarif cukai dan harga jual rokok eceran. Menurut dia, kenaikan harga eceran sebesar 10 persen dan tidak adanya kenaikan tarif cukai tidak, berdampak terhadap masyarakat prasejahtera dan kelompok rentan.

“Sebab, rumah tangga perokok masih mengalokasikan anggaran belanja signifikan untuk rokok,” imbuhnya.

Diah mengungkapkan, beban ekonomi akibat konsumsi rokok sangat jauh dibandingkan pemasukan CHT. “Realisasi CHT hanya Rp 172,3 triliun, sementara beban ekonomi untuk kesehatan dan non kesehatan mencapai Rp 410,8 triliun, apalagi tahun 2025 Pemerintah tidak menaikkan tarif CHT,” keluhnya.

Program Manager di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Annisya Aulia Lestari menambahkan, keterjangkauan harga rokok membuat anak muda tertarik untuk merokok. Menurut dia, banyaknya anak muda terpapar rokok elektronik, karena harganya masih terjangkau, dengan harga Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu.

“Akses untuk membeli pun mudah, tidak ada validasi apakah konsumen sudah berumur di atas 21 tahun, bahkan bisa dibeli secara bebas di e-commerce,” katanya.

Selain itu, pihaknya juga menyoroti masih maraknya sponsor dan iklan produk tembakau di sosial media dan website, yang menarik perhatian remaja. “Ini perlu diatur oleh Pemerintah. Apalagi dengan tidak naiknya cukai rokok untuk tahun depan,” tegas Annisya.

Sementara itu, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi dari Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi mengingatkan Pmerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat. Utamanya, kelompok rentan dan anak-anak, yang sedang terancam akibat prevalensi perokok yang sangat tinggi dan belum terkendali.

“Sebanyak 70 juta penduduk Indonesia adalah perokok aktif. Ini juga meningkatkan prevalensi penyakit tidak menular sangat tinggi, seperti jantung, stroke, dan kanker yang disebabkan konsumsi rokok,” ucapnya.

Situasi ini, lanjut dia, juga berimplikasi pada defisit di Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebab, peningkatan penyakit katastropik dipicu konsumsi tidak sehat, salah satunya rokok.

“Program makan bergizi gratis itu positif, kalau tidak diiringi penurunan prevalensi perokok semua bisa jadi mubazir,” kata Tulus.

Ditrktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), Muhammad Aflah Farobi menyampaikan, kebijakan CHT 2025 sudah disusun dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional. “CHT yang tidak naik juga untuk memitigasi fenomena peralihan konsumsi ke rokok dengan harga lebih murah yang makin marak,” dalihnya.

Di media sosial X, netizen juga menilai kenaikan harga rokok dan tarif CHT belum tentu mampu menurunkan prevalensi merokok di masyarakat. Sebab, banyak yang memaksakan diri untuk membeli rokok meski sedang kesulitan ekonomi.

Akun @jawlove mendukung agar harga rokok dinaikkan, agar tidak terjangkau oleh kalangan bawah. “Sebagai mantan perokok, saya setuju harga rokok harus selalu naik. Kalau bisa, sampai harganya nggak masuk akal. Jadi, yang lagi kere dan bokek nggak kepikiran buat beli merokok,” katanya.

“Belum pernah nemu orang berhenti ngerokok gegara harga rokok mahal. Ini kayak nggak akan pernah terjadi, yang ada malah nyari cara buat tetap bisa merokok,” cuit akun @Satetongseng99. “Pengalaman di warung nenek saya. Ada orang yang buat kebutuhan sehari-hari susah. Istrinya bon sayur di warung nenek, suami bon rokok. Harga rokok naik, si suami tetap aja ngebon, kasihan anak istrinya,” timpal akun @yongmaryong.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit