TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Jadwal imsak
Dewan Pers

Media Sosial Bisa Picu Bunuh Diri

Reporter & Editor : AY
Selasa, 18 Maret 2025 | 11:03 WIB
Foto : Istimewa
Foto : Istimewa

JAKARTA - Senayan menyoroti pentingnya memperkuat kesehatan mental anak di tengah derasnya pengaruh media sosial saat ini. Jangan sampai mental anak terganggu, gelisah, bahkan ada kecenderungan bunuh diri hanya karena rendahnya literasi digital anak.

 

Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa mengatakan, media sosial sering membuat masyarakat melupakan persoalan penting, yaitu mental health atau kesehatan mental anak. Saat ini, mental health anak-anak sangat dipengaruhi oleh sosial media seperti TikTok, Instagram, Facebook, hingga WhatsApp Line.

 

Kita perlu lebih mencermati apa yang terjadi. Salah satu tanda-tanda yang sudah dimunculkan adalah anak galau hanya gara-gara temannya tidak follow dia,” kata Ledia Hanifa, dalam diskusi bertajuk ‘Menjaga Dunia Pendidikan Dari Pengaruh Negatif Media Sosial’, di Jakarta, Senin (17/3/2025).

 

Problemnya, kata Ledia, orang dewasa cenderung memandang kegelisahan anak karena persoalan media sosial ini sebagai hal sepele. Situasi ini dianggap biasa karena anaknya juga berteman di kelas. Namun, persoalan nggak follow di media sosial ini malah membuat anak menjadi gelisah dan sedih.

 

Kan anak-anak kalau kesel unfollow, tinggalin, blok aja gitu kan. Ada hal-hal yang akhirnya anak-anak kita not tough enough menghadapi dunia. Karena kita orang dewasa terlalu permisif membiarkan anak-anak kita berinteraksi dengan dunia digital tanpa memberikan bekal,” terangnya.

 

Politisi senior Fraksi PKS ini melanjutkan, literasi digital masyarakat memang sangat rendah. Literasi ini sering terabaikan, apalagi posisinya ada pada tahapan keenam dari kemampuan literasi pada manusia.

 

Tahap pertama adalah literasi baca tulis, yang ternyata kondisinya juga sedang tidak baik-baik saja. “Literasi numerasi dan literasi finansial kita juga tidak bagus. Literasi kebudayaan kewarganegaraan kita jelek. Literasi teknologi kita jelek. Terus kita dipaksa langsung memahami literasi digital itu adalah sesuatu hal yang mustahil,” ujarnya.

 

Karena itu, Ledia berpandangan, memperkuat literasi digital anak tidak bisa serta merta dilakukan. Untuk literasi baca tulis saja, seharusnya didesain oleh Pemerintah mulai kelas 2 SD, dengan menguasai beberapa ribu kosakata sampai kelas 6 SD, SMP, dan SMA. Anak-anak harus mampu memahami arti kata-kata dan juga persoalan-persoalan yang mungkin muncul dari hal-hal yang sifatnya tertulis. “Karena komunikasi tertulis dengan komunikasi lisan itu sangat berbeda. Nah ini PR yang belum terselesaika,” ujarnya.

 

Ledia menilai, perlu juga melihat sejauh mana pendampingan terhadap perkembangan literasi anak ini. Memang sudah ada assesment nasional yang mengukur literasi baca dan literasi numerik. Tetapi, hasil evaluasi dan follow up-nya terkadang tidak ditindaklanjuti. Bahkan ada kecenderungan orang tua melepaskan hasil evaluasi literasi baca dan numerik ini. Sehingga, ketika teknologi berubah, terjadi gap yang luar biasa besar antara pemahaman literasi baca tulis dan literasi digital.

 

Anak-anak punya keterbatasan dalam pengetahuan kemampuan. Perkembangan kognisinya juga terbatas. Tiba-tiba dia harus berhadapan dengan hal-hal yang betul-betul di luar di luar kendali dia. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja tidak akan sanggup mengatasi itu,” sebutnya.

 

Oleh karena itu, Ledia mendorong agar kesehatan mental anak benar-benar diperhatikan. Apalagi saat ini, tidak ada yang dapat mengukur seberapa kuat kesehatan mental anak ketika menghadapi hal-hal yang diakibatkan rendahnya literasi digital.

 

Karena mental health tidak terukur, kita mengkhawatirkan terjadi kasus-kasus bunuh diri. Bukan karena kejahatan seksual, bukan karena perundungan digital, tapi justru cuma gara-gara ada yang unfollow,” ujarnya.

 

Oleh karena itu, ketahanan keluarga harus sangat diperhatikan. “Jadi, orang tua nggak bisa melepas anak begitu saja berinteraksi dengan media sosial,” tambahnya.

Komentar:
Perpus
Purpus
Perpus
Perpus
Perpus
Pwrpus
Perpus
Perpus
ePaper Edisi 19 Maret 2025
Berita Populer
01
Jalur Kereta Api Rangkasbitung-Labuan Jadi PSN

Pos Banten | 18 jam yang lalu

02
Marc Marquez Makin Perkasa

Olahraga | 18 jam yang lalu

03
Tarif Mudik Lebaran Tak Ada Kenaikan

Pos Banten | 1 hari yang lalu

05
09
Bupati Dewi Sentil ASN

Pos Banten | 18 jam yang lalu

10
Polisi: Laporkan Oknum Ormas Maksa Minta THR

TangselCity | 1 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit