Dari Marbot di BSD, Ngak Menyangka Bisa Ke Naik Haji

MADINAH - Hasanuddin (80 tahun) tak pernah menyangka bisa naik haji. Sebab, dirinya hanya seorang marbot masjid di Bumi Serpong Damai (BSD), Kota Tangerang Selatan (Tangsel), dengan ekonomi yang sangat pas-pasan.
Kakek Hasan tergabung dalam Kelompok Terbang 8 Embarkasi Jakarta-Pondok Gede (JKG-8). Sebenarnya, dia bukan orang Tangsel asli. Kakek Hasan berasal dari sebuah kampung di sebuah lereng gunung di Banjarnegara, Jawa Tengah. Setelah istrinya meninggal, dia merantau ke Tangsel, dan menjadi marbot masjid.
"Saya hanya tukang sapu dan bersih-bersih di Masjid Baitul Hikmah, BSD," tuturnya, dengan haru, saat ditemui Media Center Haji (MCH), di selasar Hotel Mirage Tower, sisi selatan Masjid Nabawi.
Di samping menjadi marbot, Kakek Hasan nyambi kerja di biro tiket perjalanan. Kerjaannya mengantar tiket pesanan. Hal ini dilakukan hanya untuk menambah penghasilan.
Dari penghasilan ini, dia bisa mengkuliahkan anak-anaknya, yang sekarang sudah menjadi guru. Saat mengkuliahkan anak, Kakek Hasan banyak dibantu teman-temannya di kantor biro tiket perjalanan.
Teman-teman kantor tanya, apa benar punya anak kuliah? Saya jawab benar. Mereka kasih uang untuk biaya anak," tuturnya.
Di Masjid Baitul Hikmah, Hasan kemudian bertemu dengan Sani (67 tahun), yang sekarang menjadi istrinya. Saat itu, Nenek Sani seorang janda yang ditinggal wafat suaminya. Almarhum suami Nenek Sani kebetulan juga berprofesi sebagai marbot masjid.
"Saya bertemu dengan Kakek Hasan juga di Masjid Baitul Hikmah, tempat saya biasa ikut majelis taklim di sana," ujar Nenek Sani.
Nenek Sani, yang asli orang Jakarta, memiliki warisan dari orang tuanya dan punya warung kuliner cukup laris. Nenek Sani juga memiliki tujuh petak kamar yang dikontrakkan. Hidupnya secara materi lumayan baik.
Semasa suaminya masih hidup, Nenek Sani telah berniat untuk berangkat haji bareng. Namun, belum sempat mendaftar, suami pertamanya dipanggil wafat. "Karena telah wafat, lalu saya menikah lagi. Maka, suami ini yang saya hajikan," tuturnya, menunjuk ke Kakek Hasan.
Nenek Sani dan Kakek Hasan mendaftar haji pada tahun 2012. Nenek Sani sempat berumrah sendiri pada 2019. "Sewaktu umrah saya ajak Kakek Hasan, tapi nggak mau. Katanya karena sudah daftar haji. Ya saya berangkat sendiri," ujarnya.
Kisah haru lainnya datang dari Subaini (73 tahun), seorang petani kecil asal Desa Jatidowo, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Kakek Subaini harus menjual total empat ekor sapi agar bisa berangkat haji bersama istri tercinta, Sulikah.
Kakek Subaini sehari-hari berprofesi sebagai petani kecil. Selain bertani, dia juga mengabdikan diri sebagai guru ngaji di kampung.
Pada 2012, dengan kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan, Kakek Subaini membulatkan tekad untuk mendaftar haji. Dia lalu menjual satu ekor sapi untuk biaya pendaftar haji. "Saya tekad daftar haji, itu pun dengan jual sapi," tuturnya, dengan mata berkaca-kaca.
Awalnya, dia daftar hanya sendiri. Selang lima tahun mendaftar, dia mendapat cerita dari tetangganya yang baru pulang haji, bahwa istrinya bisa didaftarkan juga sebagai pendamping. Tanpa berpikir panjang, lalu mengeluarkan semua isi tabungan yang dikumpulkan dari hasil bertani untuk mendaftarkan sang istri.
Kalau saya naik haji sendiri, rasanya kok kurang lengkap. Saya ingin bisa ibadah bersama istri,” tuturnya.
Untuk keberangkatan ini, dia Kembali menjual sapi. Kali ini tiga ekor. Dari hasil penjualan itu, ia mendapatkan uang Rp 56 juta. “Sebagian untuk pelunasan, sisanya buat bekal,” imbuhnya.
Kakek Subaini pun sangat bahagia, perjuangannya yang dimulai dari menjual sapi, menabung dari hasil tani, hingga mengalahkan penyakit stroke akan berakhir indah beribadah haji dengan istri tercinta.
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Selebritis | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 14 jam yang lalu