Pemerintah Dinilai Gagal Tangani Ormas dan Premanisme

JAKARTA - Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Badan Riset dan Inovasi Mathla'ul Anwar (BRIMA), Universitas Mathla'ul Anwar dan Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) menggelar webinar melalui zoom meeting yang bertajuk “Menyoal Efektivitas Satgas Anti Premanisme dan Ormas Bermasalah,” Jumat (27/6/2025).
Acara yang dipandu Peneliti BRIMA, Ratnasari ini menghadirkan Budi Arwan (Direktur Organisasi Kemasyarakatan, Ditjen Polpum Kemendagri) sebagai pembicara kunci dan Andi Syafrani (Presiden LIRA), Muhamad Isnur (Ketua YLBHI), Dr. Ali Nurdin (Wakil Rektor I Universitas Mathla’ul Anwar), serta Asep Rohmatullah (Direktur BRIMA) sebagai narasumber. Para narasumber tampil menonjol dengan gagasan kritisnya.
Dekonstruksi Premanisme, Rehabilitasi Peran Ormas
Dalam pemaparannya, Andi Syafrani menyerukan agar negara berhenti menyamakan premanisme dengan identitas organisasi kemasyarakatan (ormas).
Menurutnya, premanisme adalah tindakan menyimpang yang bisa dilakukan siapa saja, bukan label yang disematkan ke seluruh ormas.
“Premanisme adalah tindakan, bukan identitas. Tidak semua kekerasan lahir dari ormas dan tidak semua ormas menyemai kekerasan,” tegasnya.
Ia menyesalkan, cara pandang negara yang sering kali menstigma seluruh ormas secara seragam, padahal banyak ormas seperti Mathla’ul Anwar dan LIRA yang telah berkontribusi nyata dalam pembangunan sosial, pendidikan, dan advokasi publik.
Andi mempertanyakan kehadiran Satgas Anti Premanisme yang dinilainya belum memiliki indikator keberhasilan yang terukur.
Ia mengingatkan, agar pembentukan satgas tidak hanya menjadi respons reaktif terhadap peristiwa, tanpa peta jalan dan mekanisme evaluasi yang jelas.
“Apakah semua ormas harus terdaftar agar diakui negara? Apa fungsi konkret satgas ini di tengah menjamurnya satgas-satgas lain? Bagaimana publik mengukur akuntabilitas mereka?,” tanyanya kritis.
Ia juga menekankan pentingnya sistem hukum yang adil, serta mekanisme pengaduan publik yang terbuka dan aman.
“Negara harus menjamin keadilan, bukan wasit yang berat sebelah,” ujarnya tegas.
Menyoal Stigma dan Dualisme Ormas
Andi Syafrani menyoroti bahwa dari sekitar 617.000 ormas terdaftar di Indonesia, banyak yang mengalami tumpang tindih kelembagaan, seperti kasus dualisme PERADI atau KNPI. Menurutnya, struktur yang tidak jelas ini memperburuk tata kelola dan memicu konflik horizontal yang kerap tidak diselesaikan secara adil.
“Kita sering terjebak dalam pluralisme kelembagaan tanpa arah yang jelas. Ini bukan soal jumlah, tapi soal arah dan standar pembinaan,” ujarnya.
Ia mengkritik sistem hukum yang diskriminatif. Beberapa ormas mendapat ruang politik, perlindungan, bahkan akses pendanaan, sementara yang lain distigmatisasi dan dicurigai tanpa alasan yang adil.
“Keadilan tidak mengenal kasta ormas. Yang berkontribusi harus diapresiasi, bukan disingkirkan,” tambahnya.
Refleksi Kritis dari Para Narasumber
Narasumber lain turut memperkuat wacana kritis ini. Asep Rohmatullah menyoroti perlunya indikator keberhasilan yang konkret untuk menilai efektivitas Satgas Anti Premanisme.
“Jangan sampai Satgas hanya jadi lip service, ramai di awal, senyap di akhir,” sindirnya.
Budi Arwan dari Kemendagri menguraikan landasan konstitusional dan hukum yang mengatur ormas, serta peran lintas sektor dalam pembinaan, termasuk Kemenag dan pemda.
Ia menegaskan bahwa satgas bukan hanya alat kontrol, melainkan katalis bagi ormas yang sehat dan produktif.
Muhammad Isnur dari YLBHI membawa perspektif HAM dan demokrasi dengan mengkritisi premanisme sebagai relasi kekuasaan informal yang kerap diabaikan negara. Ia mendorong agar istilah “badan hukum” dalam regulasi ormas diganti menjadi “terdaftar”, demi memudahkan proses legalitas dan pengawasan.
Sementara itu, Ali Nurdin menegaskan bahwa premanisme telah mengakar dalam sejarah kekuasaan, bahkan sejak era kerajaan. Ia mengusulkan solusi rehabilitatif, seperti Kolombia yang memberdayakan pelaku kekerasan melalui pelatihan dan akses ekonomi.
Menuju Tata Kelola Ormas yang Berkeadilan
Webinar ini menyimpulkan bahwa efektivitas Satgas Anti Premanisme harus ditopang oleh indikator keberhasilan yang terukur, bukan sekadar gebrakan jangka pendek. Premanisme perlu dipandang sebagai gejala sosial, bukan semata kriminalitas dan penanganannya harus menyasar akar kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Regulasi ormas pun perlu disederhanakan agar lebih inklusif dan bebas diskriminasi. Pembinaannya harus melibatkan kementerian dan lembaga lintas sektor, serta membuka ruang partisipasi masyarakat.
Sebagai penutup, Andi Syafrani menegaskan bahwa ormas adalah bagian dari demokrasi, bukan ancaman.
“Negara demokrasi harus menjamin kebebasan berserikat dengan adil, dan memastikan bahwa ormas yang berkontribusi dirangkul, bukan justru distigma. Satgas yang efektif adalah yang memberi rasa aman, bukan rasa diawasi,” pungkasnya.
Pernyataan itu menegaskan bahwa di tengah dinamika masyarakat sipil yang kompleks, negara dituntut lebih arif, adil, dan reflektif dalam menata ulang relasinya dengan ormas. Dengan pendekatan yang adil dan transparan, ormas akan menjadi mitra pembangunan, bukan sumber kegaduhan.(*)
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 12 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu