Belum Terbitkan Surat DPO, Kejagung Berharap Raja Minyak MRC Bersikap Kooperatif

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) belum menerbitkan surat daftar pencarian orang (DPO) terhadap MRC, tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak. Korps Adhyaksa masih berharap saudagar minyak tersebut bersikap kooperatif dan menghadiri pemanggilan penyidik.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menjelaskan, sebelum memasukkan MRC ke dalam DPO maupun mengajukan red notice ke Interpol, penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) akan lebih dulu memanggilnya sebagai tersangka. Proses pemanggilan ini penting sebagai dasar hukum untuk langkah selanjutnya.
“Kami dari kejaksaan akan melakukannya sesuai prosedur, terutama terkait dengan pemanggilan MRC ini. Rencana penyidik adalah melakukan pemanggilan sebagai tersangka terhadap yang bersangkutan pekan ini,” kata Anang di Jakarta, Sabtu (19/7/2025).
MRC merupakan salah satu dari 18 tersangka dalam kasus dugaan korupsi minyak yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 285 triliun sepanjang 2018 hingga 2023.
Anang menuturkan, keberadaan MRC saat ini terdeteksi berada di Malaysia, setelah sebelumnya sempat dilaporkan berada di Singapura. Meski titik pastinya belum bisa dipastikan, Kejagung mengklaim telah mengantongi informasi akurat dari otoritas keimigrasian.
“Kami sedang berusaha agar yang bersangkutan datang ke penyidikan untuk diperiksa sebagai tersangka,” ujar Anang.
Selain itu, Kejagung juga sudah menelusuri status kewarganegaraan MRC. Hasilnya, belum ditemukan bukti bahwa beneficial owner PT NK dan PT OTM itu, telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia.
Dengan status tersebut, Kejagung menilai semua opsi hukum masih terbuka untuk membawa MRC kembali ke Tanah Air dan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. “Jadi, kita tunggu pemanggilan terhadap yang bersangkutan sebagai tersangka dalam pekan ini,” tutup Anang.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Mahfud MD menegaskan bahwa MRC tetap bisa diproses secara hukum meski berada di luar negeri, termasuk di Singapura. Menurutnya, Indonesia memiliki jalur resmi untuk meminta ekstradisi tanpa perlu khawatir soal isu kewarganegaraan ganda yang belakangan ramai dibicarakan.
Kalau betul MRC itu ada di Singapura, tinggal Kejaksaan Agung meminta kepada Menteri Hukum agar mengirim surat ke Singapura. Minta agar orang ini diproses karena sudah menjadi tersangka, ini bukti-buktinya. Itu harus dilakukan,” ujar Mahfud dalam podcast Terus Terang Mahfud MD, dikutip Minggu (20/7/2025).
Mantan Menko Polhukam itu menerangkan bahwa secara hukum internasional, memang ada prinsip bahwa setiap negara wajib melindungi warganya. Namun, hal tersebut bukan alasan untuk tidak mengupayakan ekstradisi, apalagi jika negara tersebut telah memiliki perjanjian dengan Indonesia.
Indonesia dan Singapura sudah membuat perjanjian ekstradisi yang ditandatangani di Bintan pada 2022 lalu,” tegas Mahfud.
Mahfud mengakui bahwa dalam praktiknya, negara tujuan sering menolak ekstradisi bila pelaku adalah warganya sendiri. Namun untuk Singapura, perjanjian tersebut memuat klausul khusus yang memperbolehkan ekstradisi untuk kejahatan berat.
“Apa saja kejahatannya? Satu, pencucian uang. Dua, korupsi. Tiga, perdagangan orang. Empat, narkoba. Ada lima atau enam jenis,” papar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Karena itu, Mahfud menilai, kendala dalam kasus ini bukan pada aspek hukum, melainkan pada kemauan diplomasi Indonesia. Ia menyebut langkah Kejagung sejauh ini sudah tepat, dengan asumsi MRC masih berada di dalam negeri dan baru akan dimintakan ekstradisi jika benar berada di luar wilayah Indonesia.
Mahfud bahkan menduga bahwa penetapan tersangka terhadap MRC telah mendapat restu langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Sebab, dalam praktik politik di Indonesia, sosok sekelas MRC dinilai tidak mungkin ditetapkan sebagai tersangka tanpa sinyal kuat dari kepala negara.
Sebelumnya, Pemerintah Singapura di bawah Perdana Menteri Lawrence Wong menegaskan bahwa MRC tidak berada di negaranya. Jika diperlukan, pihaknya siap memberikan bantuan kepada Pemerintah Indonesia sesuai dengan hukum dan kewajiban internasional.
Catatan imigrasi kami menunjukkan bahwa MRC tidak berada di Singapura dan sudah lama tidak memasuki Singapura,” demikian bunyi rilis Kementerian Luar Negeri Singapura pekan ini.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menyebut bahwa bos minyak tersebut telah meninggalkan wilayah Indonesia sejak awal Februari 2025, jauh sebelum status pencekalan terhadap MRC diterbitkan atas permohonan Kejagung pada 10 Juli 2025.
“Memang yang bersangkutan meninggalkan wilayah Indonesia sebelum adanya permohonan pencegahan ke luar negeri oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia,” ujar Plt Dirjen Imigrasi Yuldi Yusman, dikutip Minggu (20/7/2025).
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 23 jam yang lalu
TangselCity | 19 jam yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu