TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Soal Pemisahan Pemilu Nasional Dan Lokal, Putusan MK Kembali Digugat

Titi Anggraini: Kecil Kemungkinan MK Ubah Pendirian Hukum

Reporter: AY
Editor: AY selected
Kamis, 07 Agustus 2025 | 11:01 WIB
Suasaba sidang di MK. Foto : Ist
Suasaba sidang di MK. Foto : Ist

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu tingkat nasional dan daerah kembali digugat ke MK. 

 

Berdasarkan laman resmi MK, gugatan pertama diajukan tiga orang bernama Brahma Aryana, Aruna Sa'yin Afifa, dan Muhammad Adam Arrofiu Arfah. Gugatan mereka terdaftar dengan nomor perkara 124/PUU-XXIII/2025.

 

Gugatan lain diajukan oleh Bahrul Ilmi Yakup, Iwan Kurniawan, dan Yuseva yang teregistrasi dengan nomor perkara 126/PUU-XXIII/2025.

 

Mereka meminta MK membatalkan putusannya. Adapun dalil yang diajukan ke MK menganggap putusan MK yang memisahkan pemilu tingkat nasional, yakni pileg DPR, pileg DPD, dan pilpres, dengan pemilu tingkat daerah, yakni pileg DPRD dan pilkada malah melemahkan akuntabilitas demokrasi. Mereka juga menilai putusan itu menimbulkan krisis legitimasi institusi daerah.

 

Pemohon menilai pemisahan pemilu nasional dan daerah dengan jarak 2-2,5 tahun tak relevan dengan siklus pemilu 5 tahunan.

 

"Menyatakan putusan perkara nomor 135/PUU-XXI/2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ujar pemohon.

 

Pemohon mengatakan putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah itu berpotensi membuat kevakuman anggota DPRD selama 2,5 tahun. Pemohon menyebut hal itu malah melumpuhkan pemerintahan daerah.

 

Gugatan kembali ke MK tentunya menjadi perbincangan dikalangan politisi dan masyarakat. Anggota Komisi II DPR, Ujang Bey menganggap wajar jika ada masyarakat yang menggugat ke MK, karena merasa tidak puas dengan keputusan tersebut. “Semua punya hak untuk menggugat kembali,” kata Ujang.

 

Sementara, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meyakini jika hakim MK akan menolak gugatan tersebut. “Argumentasi hukumnya lemah,” ujar Titi Anggraini.

Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana pandangan Titi Anggraini terkait gugatan kembali terhadap putusan mengenai pemisahan pemilu lokal dan nasional. Berikut wawancaranya.

 

 

Putusan 135 digugat kembali ke MK. Apa pandangan Anda?

 

Pengujian kembali pasal yang sama di MK bukan sesuatu yang baru, ya. Disejumlah perkara juga dilakukan hal yang sama. Contoh yang paling mutakhir itu tentang persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden.

 

Menurut Anda, apakah argumen penggugat ke MK cukup kuat?

 

Tentunya, pemohon yang menguji kembali MK harus membuktikan argumentasi hukum yang bisa meyakinkan MK untuk mengubah pendirian hukumnya. 

 

Apakah gugatan bakal diterima?

 

Kalau kita lihat, Mahkamah dalam perjalanan pengujian model keserentakan pemilu tidak pernah berubah pikiran dalam hitungan satu atau dua tahun. MK butuh setidaknya satu periode pemilu untuk mengevaluasi pendirian hukumnya yang terdahulu.

 

Saya meyakini kecil kemungkinan pengujian kembali akan mengubah pendirian hukum MK.

 

Kenapa Anda begitu yakin jika hakim MK tidak akan berubah keputusannya?Apakah gugatan bakal diterima?

 

Kalau kita lihat, Mahkamah dalam perjalanan pengujian model keserentakan pemilu tidak pernah berubah pikiran dalam hitungan satu atau dua tahun. MK butuh setidaknya satu periode pemilu untuk mengevaluasi pendirian hukumnya yang terdahulu.

 

Saya meyakini kecil kemungkinan pengujian kembali akan mengubah pendirian hukum MK.

 

Kenapa Anda begitu yakin jika hakim MK tidak akan berubah keputusannya?

 

Sebab, putusan MK Nomor 135 ini 100 persen hakim absolut dalam putusannya. Tidak ada disenting opinion di putusan 135. Berbeda dengan putusan di tahun 2009, lalu juga di putusan 2014. Bahkan, di 2009 ada tiga hakim yang disenting opinion, yang menolak pemisahan pemilu.

 

Secara objektif, saya meyakini kecil kemungkinan MK mengubah pendirian hukumnya. 

 

Nah yang terakhir, argumentasi hukumnya pun menurut saya tidak terlalu kokoh untuk menggoyah pendirian hukum Mahkamah. Misalnya pelemahan partai politik, lalu akan menimbulkan potensi politik uang yang jauh lebih masif, termasuk juga argumentasi bahwa pasal 22E ayat 1 mengatakan pemilu itu harga mati harus 5 tahun sekali. Nah itu kan sebenarnya sudah terjawab semua. Saya juga tidak melihat ada yang baru dalam substansi gugatan.

 

Maksud Anda dalam gugatan itu belum ada bukti baru?

 

Saya melihat di permohonan yang masuk itu belum ada argumentasi hukum baru yang bisa mengubah pendirian hukum Mahkamah.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit