TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Refleksi Kepemimpinan Pati yang Antipati

Oleh: Prof. Dr. Muhadam Labolo
Editor: Ari Supriadi
Kamis, 14 Agustus 2025 | 14:04 WIB
Prof. Dr. Muhadam Labolo, Guru Besar IPDN.(Istimewa)
Prof. Dr. Muhadam Labolo, Guru Besar IPDN.(Istimewa)

RESISTENSI rakyat Pati terhadap kepala daerahnya kini berubah menjadi antipati. Sebabnya, sejak Sudewo menaikkan Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2) sebesar 250 persen dan menantang 50.000 pemegang daulat yang pernah mengamanahkan kuasa sebagai pemimpinnya. Pemimpin pemerintahan di daerah yang secara historis punya perkara pajak sejak 1500-an.

 

Kata Pamudji (1992), kepemimpinan pemerintahan mengemban dua hal utama, yaitu organisasi birokrasi dan organisasi sosial. Kita sebut saja organisasi formal dan non formal. Sebagai manajer dan sebagai pemimpin sosial. Sebagai teknokrat dan politisi.

 

Sebagai pemimpin ia membawa visi. Sesuatu yang berjangkauan luas dan jauh ke depan. Menjanjikan rakyatnya sampai ke tujuan ideal, kesejahteraan. Sebagai manajer, ia dituntut mampu mendetailkan visi menjadi potongan program dan kegiatan agar realistik.

 

Kepala daerah cerdas biasanya memfungsikan dirinya sebagai pemimpin yang merawat visi. Sementara detailing kegiatan dipercayakan pada sekda selaku manajer. Itu semua untuk mengurangi beban agar apa yang diidealkan dapat direalisasikan secara bertahap.

 

Fungsi kepemimpinan manajerial menerjemahkan visi menjadi teknis. Sekda punya kemampuan rasional untuk menaksir seberapa banyak input yang dibutuhkan untuk menghasilkan output, outcomes, impact dan benefit. Visi harus mendarat. Bila tidak, menjadi bangkai yang gagal dieksekusi.

 

Kepemimpinan butuh connecting terus-menerus dengan basis pemilih. Tujuannya menyerap dan merasakan denyut nadi kebutuhan rakyat. Dari situ dioperasikan ke level manajerial agar konkret. Bukan sekedar lips service, PHP, apalagi omon-omon. Inilah janji (promised).

 

Janji butuh realisasi. Janji adalah jembatan penghubung dengan rakyatnya. Untuk mengurus janji, Sekda mengaransemen organisasi pemerintah daerah agar meraih visi menurut pakem manajemen. Direncanakan, diorganisasikan, diaktualisasikan, dan dikontrol agar rencana sesuai visi.

 

Faktanya, kepala daerah seringkali kehilangan visi. Ia lebih tampak menjadi manajer ketimbang merawat visi. Mengganti posisi manajerial Sekda dan karenanya menjadi sangat teknis ketimbang mendengar urat nadi arus bawah untuk disalin jadi harapan. Ia mengurus projek sekaligus mengatur siapa yang duduk di posisi.

 

Eksesnya, minimnya pengalaman manajerial melahirkan perencanaan tuna asa, kecuali tukar guling dengan pemodal pilkada. Rendahnya pengetahuan sumber daya melahirkan kepala dinas tak bermutu. Meritokrasi mati yang tersisa hanya tim sukses, bukan kepala OPD berprestasi.

 

Perencanaan hampa, organisasi mandek, aktualisasi kering, serta kontrol lemah mencipta bibit arogansi. Kepala daerah tiba-tiba menjadi pemimpin sekaligus manajer tangguh di lingkungan birokrasi. Perasaan semacam itu kadang menjelma menjadi penguasa tunggal alias I am the King.

 

Sikap itu mengubah para pemimpin menjadi semacam Tuhan. Titahnya pantang dilawan. Bila Tuhan tak pernah salah, maka personifikasinya pun tak mungkin salah. Jangankan ribuan, puluhan ribu pun tak dapat meruntuhkan perintah Tuhan. Padahal daulat mereka sesungguhnya bukan dari Tuhan tapi dari rakyat.

 

Dalam demokrasi daulat datang dari rakyat. Dalam teokrasi daulat memang titisan Tuhan. Perbedaan itu semestinya menyadarkan kita bahwa daulat para kepala daerah itu bukan dari langit, faktanya dari rakyat. Karenanya sangat mustahil mereka adalah Tuhan. Mereka hanya rakyat biasa yang disepakati menjadi pemimpin sementara.

 

Andai insting kepemimpinan aktif, kepala daerah tak mudah menaikkan tarif pajak. Meski ia pun tersandera oleh kepentingan yang lebih besar. Dalam relasi kepemimpinan birokrasi tentu Ia kesulitan menolak perintah yang kadang tak make sense. Di situ Ia diuji, keberanian berdiri di posisi sebagai representasi rakyat atau sekedar mandor pajak.

 

Insiden Pati patut menjadi renungan moral tentang kepemimpinan pemerintahan. Supaya tak merembes ke mana-mana, ada baiknya para kepala daerah perlu menyadari tanggung jawab moralnya sebagai manusia agar tak autis. Tanggung jawab moralnya pada rakyat agar tak apatis. Bahkan tanggung jawab spiritualnya pada Tuhan agar tak ateis.(*)

 

*) Penulis merupakan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit