Pramono Sudah 25 Tahun Jadi Pejabat, Jadi Gubernur Cukup 1 Periode

JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo merasa, satu periode di DKI sudah cukup. Alasannya, Pramono mengaku sudah lama menjadi pejabat.
Pramono sudah merasakan banyak jabatan, baik di eksekutif maupun legislatif. Di legislatif, dia menjadi anggota DPR dari 1999 hingga 2015. Puncaknya, dia menjabat sebagai Wakil Ketua DPR pada periode 2009-2014. Pada 12 Agustus 2015, Pramono diangkat menjadi Sekretaris Kabinet oleh Presiden ke-7 RI Jokowi. Pramono menduduki posisi itu hingga 20 September 2024, saat mengikuti Pilkada DKI Jakarta.
Dengan berbagai posisi strategis yang pernah diduduki, Pramono merasa sudah cukup. Menjadi Gubernur DKI adalah penutup karier panjangnya di panggung publik.
“Target saya pengin jadi gubernur satu periode. Saya memutuskan dan benar-benar satu periode, dan berhenti,” kata mantan Sekjen PDIP ini, di Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Pramono menganggap, waktunya untuk beristirahat segera tiba. Setelah 25 tahun tanpa jeda menjadi pejabat publik, ditambah lima tahun sebagai gubernur, Pramono merasa tidak lagi memiliki ambisi politik yang perlu dikejar.
Pramono bahkan sempat berencana pensiun, sebelum akhirnya diminta Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk maju sebagai Gubernur DKI Jakarta. Amanah itu ia terima, meski saat itu peluang elektoralnya nyaris nol.
Saya sebenarnya orang yang tidak pernah ingin muncul di publik, tapi ketika ditunjuk, saya terima, meski surveinya nol persen,” ungkapnya.
Keputusan itu, kata Pramono, dilandasi rasa tanggung jawab serta keinginan menuntaskan berbagai persoalan klasik di Jakarta, mulai dari tata kota hingga kesejahteraan warga. Dia ingin pemerintahannya dikenal karena kerja nyata, bukan karena perhitungan politik.
“Saya sudah jadi pejabat lama banget. Selama 25 tahun nggak pernah putus. Tambah lima tahun jadi gubernur, sudah 30 tahun. Sudahlah,” ujarnya, sambil tersenyum.
Di tengah hiruk-pikuk politik Jakarta, Pramono berusaha menjaga jarak dari kepentingan elektoral. Dia ingin fokus bekerja tanpa tekanan politik, agar setiap kebijakan bisa diambil dengan lebih objektif dan berpihak pada warga.
Tanpa beban politik, Pramono mengaku lebih leluasa menjalankan program prioritas, terutama menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum tuntas dari masa lalu. Dia menaruh perhatian besar pada persoalan perumahan rakyat dan penataan kawasan kumuh yang masih membayangi sejumlah wilayah ibu kota.
“Saya sebagai gubernur ingin menyelesaikan persoalan-persoalan gubernur sebelumnya yang tidak selesai, termasuk Kampung Bayam, karena saya nggak punya beban,” tegasnya.
Pramono berjanji menuntaskan masa baktinya dengan penuh tanggung jawab. Dia ingin meninggalkan warisan kepemimpinan yang kuat dalam birokrasi dan tata kelola pemerintahan di Jakarta.
Baginya, keberhasilan pemimpin bukan ditentukan dari lamanya menjabat, melainkan dari seberapa besar perubahan yang dirasakan masyarakat. Satu periode, menurutnya, sudah cukup jika digunakan secara efektif untuk membawa perubahan nyata.
Dia juga menekankan pentingnya kepemimpinan yang terbuka dan kolaboratif. Selama memimpin, Pramono tidak membawa satu pun aparatur dari luar untuk menempati posisi strategis di Pemprov DKI. Hal ini demi menjaga soliditas dan kepercayaan antarpegawai.
Kebijakan itu, lanjutnya, membuat lingkungan kerja di Balai Kota lebih tenang dan kompak. Dia juga menanamkan disiplin waktu sebagai bagian dari budaya kerja baru di lingkungan birokrasi ibu kota.
“Saya memang orang yang selalu datang lima menit sebelum acara. Karena itulah yang mengubah culture kita. Percuma kita berteori kalau tidak bisa mendisiplinkan waktu,” ujarnya.
Selain pembenahan birokrasi, Pramono juga fokus mempersempit kesenjangan sosial melalui program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU). Menurutnya, pendidikan menjadi kunci pemerataan kesempatan bagi warga Jakarta.
Saya ingin anak-anak dari keluarga tidak mampu punya kesempatan yang sama untuk bermimpi besar,” katanya
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai, yang dikatakan Pramono menjadi pesan positif yang patut diapresiasi. “Pemimpin memang harus tahu batas: kapan bertahan dan harus mundur,” ucapnya.
Sementara. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memandang, sejauh ini Pramono berhasil menjadi pejabat normatif. Kebijakan yang diambil selalu sesuai koridor.
Mengenai peta politik ke depan, Dedi menyarankan Pramono tidak buru-buru mengambil sikap. "Seharusnya ia tetap melanjutkan karier kekuasaannya. Karena sebenarnya hasrat berpolitik itu tidak selalu keinginan personal, bisa saja keinginan publik juga," pungkasnya.
Olahraga | 11 jam yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu