Pemangkasan TKD: Pusat Irit, Daerah Terjepit

JAKARTA - Pemerintah Pusat kini sedang menekan rem anggaran. Di balik istilah manis “efisiensi belanja negara”, tersembunyi satu kenyataan pahit: Transfer ke Daerah (TKD) dipangkas cukup dalam.
Kementerian Keuangan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2025 dan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.29 Tahun 2025 menegaskan arah baru kebijakan fiskal: Pusat berhemat, Daerah menyesuaikan diri.
Mengacu Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2020-2024 dan RAPBN 2025, pagu awal TKD ditetapkan sebesar Rp 919,9 triliun. Namun realisasinya, diperkirakan hanya mencapai Rp 864 triliun.
Tahun berikutnya, TKD turun lagi menjadi Rp 693 triliun atau berkurang Rp 171 triliun. Angka ini setara total belanja empat provinsi terbesar di Pulau Jawa: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sepintas, angka-angka ini hanya terlihat teknis. Tapi di bawahnya, berdenyut realitas sosial-ekonomi yang berat.
Bagi banyak provinsi, seperti Lampung misalnya, sebanyak 84-87 persen pendapatan daerah masih bergantung pada TKD. Sehingga, satu persen penurunan angka TKD, berpotensi membuat ruang fiskal di provinsi tersebut susut hingga Rp 200-250 miliar.
Dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang baru mencapai sekitar 13-16 persen, pemangkasan TKD terasa seperti menarik pasokan oksigen dari paru-paru daerah.
Tekanan serupa bahkan lebih terasa di daerah yang memiliki kemandirian fiskal rendah. Terutama, di kawasan Indonesia Timur.
Di beberapa provinsi seperti Nusa Tenggara Timur, (NTT), Maluku, dan Papua Barat, rasio kemandirian fiskal masih berada di bawah angka 10 persen. Hampir seluruh belanja publik di provinsi tersebut, bergantung pada TKD.
Dalam jangka panjang, ketimpangan antarwilayah berisiko melebar kembali. Hanya daerah yang memiliki PAD kuat, yang masih bisa bertahan. Sementara daerah dengan PAD kecil, cuma bisa pasrah menunggu aliran dana yang makin terbatas.
Proyek Vital Ditunda
Pemangkasan TKD memang tak sekadar koreksi anggaran. Sebab, berkurangnya dana transfer Pusat dapat memicu berbagai tekanan nyata di lapangan. Seperti terganggunya program prioritas daerah, sebagai imbas pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik. Akibatnya, banyak proyek vital seperti pembangunan jalan strategis hingga renovasi sekolah rusak, terpaksa ditunda.
Pembangunan memang tidak berhenti, tapi melambat. Secara ekonomi, keterlambatan berarti kehilangan momentum.
Masalah akan makin terasa kompleks, ketika belanja wajib terus menekan ruang fiskal. Di saat anggaran menyusut, belanja rutin malah membengkak. Gaji Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tenaga kesehatan, dan berbagai layanan dasar tetap harus dibayar. Sehingga, ruang fiskal untuk pembangunan produktif menjadi kian sempit.
Inilah paradoks daerah: kewajiban makin banyak, kemampuan makin sedikit. Kondisi ini membuat ketergantungan fiskal menjadi semakin dalam.
Dengan ruang fiskal yang sempit, daerah cenderung hanya fokus pada belanja wajib. Investasi jangka panjang macam riset, inovasi, dan pengembangan teknologi jadi dikorbankan.
Desentralisasi menjadi seolah kehilangan makna. Meski otonomi di atas kertas, ketergantungan tetap melekat. Sehingga menimbulkan kontraksi ekonomi lokal. Penundaan proyek pembangunan memukul sektor konstruksi dan jasa lokal. Daya beli masyarakat turun, pasar sepi, dan ekonomi riil tersendat.
Di titik ini, pemangkasan TKD tak lagi soal neraca keuangan, tetapi soal daya hidup ekonomi rakyat.
Peluang di Balik Krisis
Meski pemangkasan tak bisa dihindari, kita bisa memilih cara menyikapinya. Tekanan fiskal mestinya bisa menjadi cambuk perubahan. Di tengah kondisi ini, banyak daerah terpaksa menata ulang prioritas. Berhemat bukan lagi karena instruksi, tetapi memang sebuah keharusan.
Dari situ, terlihat ada tiga peluang besar. Pertama, dorongan disiplin dan efisiensi. Pemangkasan memaksa daerah memutus kebiasaan business as usual. Belanja seremonial, perjalanan dinas, dan proyek-proyek kosmetik mulai dipangkas. Reformasi anggaran tak lagi hanya sekadar wacana, tetapi menjadi semacam naluri bertahan.
Kedua, akselerasi penggalian PAD baru. Lampung memiliki potensi besar di sektor pertanian, perkebunan, dan pariwisata bahari. Saat transfer dari pusat menyusut, harta karun fiskal bisa digali dari sektor ini. Digitalisasi pajak, penertiban retribusi, dan kebijakan pro-investasi menjadi cara baru menyalakan mesin PAD.
Ketiga, peluang insentif fiskal dari Pusat. Pemerintah Pusat menyediakan Insentif Fiskal (IF) bagi daerah yang mampu menjaga kinerja APBD, mengendalikan inflasi, dan memperbaiki layanan dasar.
Artinya, meski TKD berkurang, daerah yang tangguh dan disiplin justru bisa memperoleh tambahan dana sebagai hadiah atas kinerja baik. Tekanan fiskal memang menyakitkan, tapi dari sanalah kedewasaan fiskal daerah dilahirkan.
Harus Berani Injak Gas
Untuk bertahan, daerah tidak cukup hanya berhemat. Daerah harus mulai menyalakan mesin baru pertumbuhan. Langkah pertamanya adalah optimalisasi PAD. Potensi lokal dan basis pajak daerah harus terus dikembangkan lewat digitalisasi dan inovasi sektor unggulan.
Efisiensi belanja perlu dijadikan budaya. Beragam pengeluaran yang tidak penting seperti kegiatan seremonial, sangat bisa dipangkas. Aset yang sudah ada, harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Selanjutnya, sinergi dengan swasta perlu diperkuat melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Kolaborasi ini membuka peluang agar proyek infrastruktur dapat tetap berjalan, tanpa sepenuhnya bergantung pada DAK.
Selain itu, fokus belanja harus bergeser ke program yang berdampak langsung bagi rakyat. Seperti peningkatan gizi anak, pendidikan dasar, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pemangkasan TKD adalah rem pada belanja negara dan semua daerah merasakannya. Supaya rem ini tidak berujung pada stagnasi, Pemerintah Daerah harus berani menginjak gas, mendorong investasi, dan memperkuat PAD sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru.
Rekomendasi
Pemerintah Pusat harus dapat memberikan transparansi soal kriteria pemangkasan. Serta memperbesar insentif fiskal bagi daerah berprestasi. Ini penting, agar semangat kemandirian tak otomatis padam di tengah keterbatasan.
Sementara Pemerintah Daerah, harus bisa melakukan refocusing total. Efisiensi berkelanjutan dan digitalisasi pajak daerah harus terus digalakkan. Krisis fiskal harus bisa menjadi ruang untuk menata ulang mesin ekonomi lokal, dari birokrasi yang konsumtif menjadi birokrasi yang produktif.
Pemangkasan TKD memang menjadi tantangan berat bagi APBD, tetapi juga momentum penting untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah. Kemandirian kini tak lagi diukur dari besarnya transfer. Kemandirian sejatinya terlihat dari kemampuan daerah membiayai aneka kebutuhannya sendiri.
Kemandirian fiskal mestinya tak cuma sekadar angka belaka, tapi lebih kepada tumbuhnya harga diri daerah untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Dr. Saring Suhendro SE M.Si Akt CA adalah Pengamat Keuangan Publik Universitas Lampung (Unila), Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Lampung Periode 2025-2028.
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu