TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

Indeks

Dewan Pers

Waspada Penyakit Kekuasaan

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Editor: Redaksi selected
Jumat, 31 Oktober 2025 | 11:09 WIB
Budi Rahman Hakim, Ph.D. Guru Besar Tasawuf Sosial, Warga Tangsel
Budi Rahman Hakim, Ph.D. Guru Besar Tasawuf Sosial, Warga Tangsel

SERPONG - Kekuasaan adalah anugerah yang disertai ujian. Ia bisa menjadi kendaraan menuju keberkahan, tetapi juga bisa berubah menjadi racun yang mematikan jiwa. Dalam wilayah pemerintahan dan birokrasi, kekuasaan sering kali datang perlahan—melalui rutinitas, prestasi, atau jabatan—lalu menguat dengan pujian, fasilitas, dan kekebalan simbolik. Namun di titik inilah kita perlu waspada: karena justru ketika kekuasaan terasa nyaman, ia mulai menyesatkan.

 

Sebagai kota yang terus tumbuh dan bersaing, Tangerang Selatan tentu memerlukan kepemimpinan yang kuat dan birokrasi yang gesit. Tetapi kekuatan itu tidak boleh berubah menjadi arogansi. Banyak aparatur dan pemimpin lokal terjebak dalam tiga penyakit kekuasaan klasik: merasa paling tahu, anti kritik, dan haus popularitas. Ketiganya adalah racun ruhani yang menggerogoti makna pelayanan.

 

Dalam al-Hikam, Ibn ‘Ataillah as-Sakandari mengingatkan bahwa ujian terbesar bukan pada kemiskinan, tetapi pada kemapanan. “Barang siapa bersandar pada kekuasaan, ia akan terjerembab dalam ilusi kendali.” Orang yang berkuasa tanpa muhasabah akan dengan mudah terperosok ke dalam perangkap ego. Ia mulai sulit mendengar, mudah tersinggung, dan menutup ruang tafakur.

 

Al-Muhasibi, salah satu tokoh awal tasawuf dan pendiri mazhab introspeksi batin, menyarankan agar orang yang diberi kekuasaan wajib memiliki waktu rutin untuk muhasabah—menghitung, menimbang, dan mengevaluasi diri di hadapan Allah. Jabatan bukan hadiah untuk disyukuri secara pasif, melainkan amanah yang harus terus dipertanyakan: “Apakah aku telah adil hari ini? Apakah keputusanku menyakiti yang lemah? Apakah aku sedang mencintai kekuasaan atau mencintai kebenaran?”

 

Sayangnya, budaya birokrasi kita sering menjauh dari praktik ini. Rapat-rapat padat, seremoni ramai, pidato berulang, tetapi ruang hening untuk mendengar nyaris tak ada. Para pejabat lebih sibuk berbicara daripada mendengar. Ini yang dalam istilah sufistik disebut sebagai ghaflah—lupa. Lupa bahwa lidah bisa menipu, dan hanya hati yang sunyi mampu memberi cahaya petunjuk.

 

Malik bin Dinar pernah berkata: “Orang yang diberi kekuasaan, tetapi tidak melakukan muhasabah, pasti akan binasa.” Binasa bukan selalu dalam bentuk kegagalan administratif, tapi bisa dalam bentuk kehilangan kepekaan. Tak lagi peka terhadap air mata warga, terhadap ketimpangan yang diabaikan, terhadap kritik yang jujur. Kekuasaan tanpa muhasabah membuat seseorang melihat semua kritik sebagai serangan, dan semua pujian sebagai kebenaran.

 

Sudah saatnya birokrasi Tangsel membangun tradisi puasa wacana—sebuah istilah yang merujuk pada menahan diri untuk tidak selalu merasa harus bicara, menjelaskan, atau membela diri. Dalam puasa wacana, seorang pemimpin belajar untuk mendengar lebih banyak, merenung lebih dalam, dan menanggapi dengan kesabaran. Ini adalah laku spiritual yang amat penting dalam era kebisingan narasi.

 

Kita tidak anti terhadap pencapaian atau target pembangunan. Namun di atas semua itu, para pemangku kebijakan harus rutin kembali ke ruang batin, mengevaluasi motivasi dan arah kebijakan. Apakah keputusan ini karena cinta kepada rakyat, atau demi kepentingan jangka pendek? Apakah program ini lahir dari empati, atau dari persaingan pencitraan?

 

Menutup bulan Oktober ini, mari kita jadikan peringatan ini sebagai ajakan bersama: bahwa kekuasaan, sekecil apa pun, harus dijaga dengan kerendahan hati dan muhasabah yang jujur. Hanya dengan begitu, kekuasaan akan menjadi sarana pengabdian, bukan sumber kebinasaan.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit